Rabu, 17 Januari 2018

Setelah Kehilangan, Bagaimana Kabarmu?

"Aku tak bisa melupakanmu meski kau sudah berlalu. Sudah setahun kepalaku selalu disesaki kenangan lalu," jawabnya dengan napas tersengal sambil memaksakan dirinya duduk tenang di ruang tamu berukuran mini itu.
"Bersabarlah. Hatimu lebih luas dari yang kau sangka. Sudah saatnya untuk bangkit dan berdiri lebih tegak lagi. Lebih tegak dalam memandang apa yang kau miliki saat ini. Kepergian jangan sampai membuatmu kehilangan diri sendiri, itulah yang seharusnya kau pertahankan hingga sekarang, aku piker kau mampu untuk itu."
"Aku sudah mencoba, tapi tak bisa, bagaimana caranya?"
"Entahlah, hatiku telah mati semenjak ia melangkah pergi," ia berkata dengan senyum yang dipaksakan, sarat akan kegetiran.
Setelah kejadian itu berlalu…
Selamat pagi, nona.
Mungkin alis manismu bertautan saat membaca tulisanku ini. Seorang yang tak pernah bertegur sapa tiba-tiba mengirimkan surat kepadamu. Entah ada angin apa, aku begitu saja ingin bercerita kepadamu. Meski tidak semua dapat aku ungkapkan disini. Ah, tak butuh angin kan untuk sekadar merasakan ingin? Sebenarnya aku malu menuliskan ini, tapi hati begitu kuat memaksa akal, tangan, dan pikiran untuk menyampaikan segala kecamuk yang ada di dalam dada.
Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka memandang langit malam, mencari bintang neptunus yang dulu pernah ditunjukkan Ayahmu? pindah dari satu sudut langit ke sudut langit yang lain demi mendapatkan apa yang kau mau. Menutup sedikit matamu yang bulat memesona untuk menerka, apakah yang di sana adalah bintang neptunus yang kau cari atau bukan. Lalu dengan jemarimu yang lentik, kau menggaruk kepala yang tak gatal, hanya karena kebingungan untuk menjawabnya.
Atau justru kau sudah bosan? Sebab beberapa minggu terakhir langit begitu setia memuntahkan hujan. Jangankan gemintang, tukang nasi goreng yang biasanya lewat di depan kosanmu, lalu kau memesan nasi goreng tanpa acar pun, tak nampak batang hidungnya. Kau tahu kenapa? Itu sudah jauh dari pandangan mata seperti yang biasa kau lakukan, ia menghindar untuk saat ini…
Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka membaca? Melafalkan paragraf-paragraf buku dengan mulutmu yang mungil tanpa suara. Membaca setiap alinea dengan alis bertautan lalu tersenyum setelah mendapat makna. Apa aku perlu bercerita tentang senyummu? Satu lengkung yang mampu meluruskan banyak hal dari hidupku. Mungkin kau baru tahu sekarang, bahwa aku adalah pengidola senyummu yang nomor satu. Bahkan aku punya selembar fotomu saat kau tertawa begitu cerianya. Memamerkan gigi putih berseri dengan bibir mungil berwarna merah delima yang menggantung cantik di wajahmu yang menarik. Maaf sudah mencetak fotomu tanpa izin, semoga kau berkenan. Jika kau tidak mengizinkan, akan aku kembalikan, tidak masalah untukku…
Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa aku bisa begitu tahu keseharianmu. Tenang saja, aku tidak membuntuti. Hanya saja, orang yang mengagumi selalu punya cara untuk mengetahui segala hal tentang orang yang dikaguminya. Entah dari media sosial, teman-temanmu, atau sesuatu yang kusimpulkan sendiri berdasarkan hal yang kulihat dari jauh. Tak perlu merasa terancam, aku tak akan berbuat yang tidak-tidak. Kau cukuplah jalani kegiatanmu seperti biasa, dan aku akan tetap memerhatikanmu dari jauh. Tak peduli perasaanku akan berbalas ataupun tidak.
Sebenarnya kita pernah bertemu tatap beberapa kali. Hanya saja lidahku selalu lebih dulu tercekat untuk sekadar menyuarakan sapa. Maka biasanya, aku hanya memalingkan wajah, lalu diam tanpa kata. Seperti itu saja. Berkali-kali, berlama-lama. Maka, izinkan aku memperkenalkan diri saat ini. Aku adalah Seseorang yang mengagumi pesonamu dari jauh. Jika kau tidak berkenan membalas kejujuran perkenalan singkatku barusan, lupakan saja!
Ini tentang malam yang terlalu dingin untuk dibicarakan. Tentang kesepian yang tak pernah bosan memeluk kesendirian. Tentang gigil gemelutuk yang memeluk kala bekunya setiap debar perasaan yang datang. Kalimat ini tercipta dari kesedihan yang terlalu dalam. Tentang kecemasan dan haru yang mengukung. Tentang perkara hati yang membuat wajah selalu memasang seringai murung ketika menjalani hariku. Rima ini tergagas dari lirih tangis yang tersengal. Emosi yang meluap saat kau memutuskan untuk tanggal. Pergi meninggalkan.
Kesedihan begitu mudah mencipta dendam. Seberapa hebat pun cinta membuat bahagia, pada akhirnya cinta pula yang paling bengis dalam mengajarkan luka.
Ini tentang kamu yang menjauh. Tentang jejakmu tak lagi berpijak di tempat yang sama. Tentang langkah kaki yang berlalu memunggungi puncak yang akan didaki. Tentang genggam tangan yang terlepas untuk melambaikan salam perpisahan. Tentang senyum getir yang menyuruhku untuk tulus melepaskan. Tentang isak tangis tertahan yang pelan-pelan menyuruhmu untuk tetap tinggal dan bertahan. Tentang gelengan kepala yang secara tegas berkata tidak!
Kehilangan begitu fasih mengajarkan kebencian. Seberapa kuat pun berusaha menahan, pada akhirnya kesepian tak pernah kehabisan cara dalam memaksa untuk melepaskan kebersamaan.

Ini tentang kesedihan yang tertinggal. Tentang bulir tangis yang tak lagi kuat terbendung di kedua pelupuk mata. Tentang rintihan hati yang ringkih saat melepasmu pergi. Tentang kesepian yang memeluk hari-hari. Tentang sendu yang tak lagi tahu bagaimana mengajari wajah agar bisa memasang senyum. Tentang kegetiran yang menyayat saat aku mengenangmu. Tentang doa-doa mengangkasa dengan lafal semoga kau berbahagia, di sana. Tulus kehilangan, rela ditinggalkan..

1 komentar:

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...