Minggu, 28 Januari 2018

Tentang Ikhlas dan Merelakan dari Jauh

Saya pernah baca tulisan Tere Liye yang berbunyi:
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, ia biarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan dan mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup adalah menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pemahaman, dan pengertian itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.”
Tulisan tersebut menggambarkan apa yang saya rasakan selama di sini khususnya semester ini saat duduk mengajar anak semester 1 dan 3 Prodi HI Untan. Jika yang bayangkan adalah nilai yang ideal itu gampang, hanya lewat goresan di siakad kemudian selesai. Tapi saya tidak akan pernah ikhlas jika kalian melalui proses yang tidak baik, tidak jujur, dan membohongi diri kalian sendiri. Rasanya saya memang tidak berambisi jadi dosen teladan, yang disukai semua mahasiswa. No. saya juga tidak berharap semua senang dengan gaya saya mengajar. Tidak. Saya hanya ingin masing-masing kalian sadar bahwa berproses tidak perlu menghalalkan segala cara agar terlihat pintar dan menjadi yang terbaik. Buat apa dapat IPK paling tinggi kalau hasil contekan. Buat apa anak beasiswa suka ngata-ngatain dosennya? Penting banget ya?
Tapi semua itu terserah dan kembali kepada kalian. Toh, saya juga sudah memilih beberapa mahasiswa yang akan saya bimbing dan saya damping selama saya di sini. Kadang saya lelah dengan tingkah laku mahasiswa yang sok oke keliatan wow tapi aslinya ternyata tidak ilmiah. Mending yang tulisannya busuk tidak berbentuk tapi tidak copy paste. Haaa, sudah, saya pun sudah ikhlas. Bahkan males kadang-kadang ngomongin hal beginian yang selalu menyita perhatian. Jika tidak dikerasin, mahasiswa tidak paham jika itu tidak baik. Masak masih mahasiswa udah belajar jadi koruptor. Perihal kebiasaan buruk yang kalau tidak telat, ya nyontek, ya copas, ya bohong buat malsuin tanda tangan. Begitu aja terus diulang-ulang.

Saya pun bersyukur kepada Tuhan dikirimkan orang-orang baik seperti Bang Ireng, Bang Adit, dan Kak Dewi. Yang terus bisa menjadi contoh baik buat saya ketika saya salah dan selalu memberikan nasehat ketika saya kehilangan arah. Tidak ada seorang dosen yang ingin mahasiswanya jadi bodoh, tidak bisa, dan lama lulus. Kami semua pengen ngeliat kalian jadi orang sukses, makanya kami kasih tau. In case ternyata pada prosesnya yang terjadi adalah arahnya beda dan bertubrukan, silakan dilanjutkan. Kami sudah ikhlas, mengajar seadanya, dan menjadi pendamping sekuat yang kami bisa. Ikhlaskanlah, sebentar lagi semuanya akan terlihat yang mana yang salah yang mana yang benar. Semesta tidak pernah diam dan Tuhan tidak pernah salah timbangan. Semoga semakin menjadi mahasiswa yang berkarakter dimana tidak hanya suaranya yang nyaring, tetapi juga berisi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...