Kamis, 17 Maret 2016

Pesona Cinta Muslim Traveller

Siang yang begitu terik, panasnya sinar matahari membakar kulit, jalanan macet parah. Kami hanya bisa maju perlahan karena sesaknya jalanan yang dipadati kendaraan. Terdengar raungan klakson mobil saling bersahutan. Para pengemudi tidak sabar untuk bisa lepas dari jebakan antrian motor dan mobil yang begitu panjang. Beberapa pejalan kaki terlihat melemparkan senyum ramah saat melewati kawanan becak yang juga terdampar dalam sengitnya macet di pusat kota siang itu. Entah sudah berapa kali lampu hijau menyala, tapi mereka belum bisa menghindar. Ada yang setia menunggu untuk melaju, tidak sedikit juga yang berbalik arah mencari jalan lain untuk bisa selamat dari ancaman kemacetan. Begitu juga dengan kami, aku dan Chandra yang saat itu merupakan bagian dari manusia-manusia yang harus sabar menanti ruang jalan sepi untuk bisa sampai di rumah Ayu, tempat berkumpulnya kami para muslim traveler. Kami akan berlibur bersama lima dara jelita selain Ayu, ada Mila, Titan, Yunis, Anis, dan juga Zora. Mereka berenam adalah saudara, Ayu, Anis, dan Zora adalah mahasiswa MIPA yang terkenal dengan aksi olah data dan bahasa ilmiah yang kuliah di kampus unggulan. Mila, ia adalah lulusan fakultas ekonomi dari Negeri Jiran. Sementara Titan dan Yunis adalah mahasiswa manajemen yang menempuh studi di perguruan tinggi ternama di kotaku. Sementara aku dan Chandra adalah duo perjaka yang menghabiskan usia untuk belajar ilmu sosial dan sains. Dua puluh menit menunggu, akhirnya kami selamat dari kepungan macet yang sangat menyita tenaga. Keringat bercucuran, kami terus mencari celah untuk meneruskan perjalanan.
“Hai Ayu, gimana sudah siap berangkat?” Mila memastikan rekan sepupunya itu sudah bersiap saat kami baru saja memasuki rumah mewah berukuran mini yang tertata rapi itu.
“Belum, ini masih bersih-bersih rumah, yang lain sudah siap?”
“Kami sudah siap meluncur menghabiskan sisa waktu liburan. Ini cuma nungguin kamu aja,” ujar Mila yang menatap ke arah televisi sambil menodong makanan yang tersedia dalam beberapa toples di lantai.
“Anis sama Zora mana, kok belum keliatan?”
“Nah, itu dia, mereka masih ada rapat paripurna di kampus. Setelah selesai mereka akan langsung menyusul kita kesini,” Yunis angkat suara sambil mengecek list barang dan memastikan tidak ada yang tertinggal.
“Baiklah, aku berkemas dulu, sebentar.”
“Buruan, kami juga masih mau ngabisin makanan ini dulu,” teriak Mila diikuti gelak tawa anak-anak. Mila memang rajanya makan, selalu saja ia mendapatkan waktu untuk bisa menikmati cemilan yang tersedia. Baginya, diet akan selalu dimulai esok hari. Yunis melempar tawa, Titan menatapnya tak percaya. Para wanita itu memang akan berlaku konyol jika sudah berkumpul. Selalu saja tidak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan dan berakhir dengan tertawa lebar diantara mereka.
Tidak lama berselang, semua anggota sudah lengkap. Setelah mengecek semua perlengkapan, kami pun berangkat menyusuri keramaian jalanan kota dan berbelok arah menuju pantai Drini. Mobil yang kami kendarai memang terbilang kecil tapi bisa menampung delapan manusia super konyol. Di depan ada aku yang menemani Chandra sang driver. Di barisan kedua ada Mila, Yunis, dan Ayu. Sementara Titan, Anis, dan Zora duduk di bagian belakang. Sama seperti sebelumnya, Mila akan selalu memulai canda, bahkan kali ini sepanjang perjalanan jurusnya begitu ampuh memancing pecahnya tawa dari kami semua. Titan, Anis, dan Zora cenderung lebih diam, mereka bisa berubah menjadi insan pendengar yang baik. Aku bisa menebak, ada dua kemungkinan mengapa mereka terdiam, karena mereka lebih junior atau karena ketiganya mulai diserang angin jahat yang mengundang rasa kantuk dan mabuk yang tak berkesudahan. Sesekali terdengar suara Anis yang memberikan petunjuk jalan yang akan kami tempuh menuju pantai. Ia sudah sangat hapal akan kondisi medan yang akan kami lalui, sebab ia sering melakukan perjalanan menyisir pantai untuk keperluan praktikum Biologi.
Hampir dua jam menikmati hijaunya pemandangan menuju pantai, mata kami seolah tak bosan menyaksikan kebesaran Tuhan. Betapa luar biasa nikmat yang telah Tuhan berikan dengan kehadiran alam yang memanjakan sepasang mata yang lelah dengan kehidupan perkuliahan. Bila kantuk mulai tiba, aba-aba sang pengemudi mobil dan penunjuk arah akan membangunkan kami. Mereka akan memberitahun bahwa sebentar lagi kami akan tiba di pantai yang indah, eksotik, dan juga tawaran tampilan sunset yang sangat dinanti-nanti oleh banyak manusia. Saat mobil belum terparkir sempurna, kami sudah berhamburan keluar, memandangi kawanan manusia yang melewati area pantai dan para juru parkir yang dengan telaten terus menata kendaraan yang memasuki daerah pantai.
“Kita mau mendirikan tenda dimana teman-teman,” Anis mencoba menarik perhatian kami yang masih sibuk dengan perlengkapan masing-masing.
“Ngikut aja deh, dimana yang bagus.” Teriak anak-anak kompak.
“Gimana kalau di atas sana aja, ada bukit yang bagus dan hijau,” aku menawarkan tempat sambil menunjuk kea rah perbukitan yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri saat itu.
Semua dara itu mengangguk. Aku membiarkan mereka menikmati pasir dan menanti sunset di pinggiran pantai. Sementara aku dan Chandra terus berjalan menaiki bukit melihat keadaan dan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Tidak lebih dari hitungan sepuluh menit, kami sepakat akan mendirikan tenda di sekitar bukit yang dekat dengan bibir pantai. Meski terletak agak jauh dari pusat keramaian, namun hal tersebut akan memberikan suasana yang berbeda. Sementara keenam dara itu asyik menikmati sunset yang begitu menawan mata, duo perjaka pun terus mendirikan tenda. Sebelum sunset berlalu sempurna, kami pun berkesempatan mengabadikan momen dalam balutan sinar mentari yang akan pergi menghilang. Cahayanya indah tak terkira saat terbalut dengan hijaunya pepohonan dan deburan ombak yang memang megah dipandang mata. Waktu maghrib tiba, tenda sudah berdiri, kami pun bergegas untuk menunaikan kewajiban dengan bergegas turun dari area bukit yang sudah semakin gelap karena ditinggal oleh sang surya. Hari berubah menjadi begitu sendu, saat bacaan fatihah menusuk kalbu, hening dalam balutan pengharapan. Titah Tuhan memang selalu menenangkan. Malam itu indah.
Tidak hanya berhenti sampai disitu. Keindahan malam kembali berlanjut saat kami berdelapan berbagi cerita sambil menanti hidangan santap makan malam tiba. Tidak ada kata malu unntuk mengeluarkan candaan dan diikuti oleh senyum dan tawa ramah. Kadang saling tatap karena sudah saling mengerti satu sama lain. Bahkan tidak ada kecanggungan untuk saling hina diikuti dengan pujian. Bak lagu Tulus, memuji teman tapi selalu diawali dengan hinaan. Karena bagi kami, saling puji itu biasa, bisa menghina tapi tak merasa direndahkan dan membuat orang lain bahagia adalah sebuah keharusan. Malam semakin gelap, dunia sudah tertutup sempurna dengan pekatnya malam tanpa cahaya. Bulan seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya, malam itu tiada bintang, karena kami berdelapan adalah bintang. Saat hari akan berlalu, tepat jam dua belas malam, mata kami dimanjakan aksi saling lempar kembang api. Tanda bahwa liburan kali ini menjadi awal yang indah untuk memulai aktivitas dan menatap masa depan. Sulit membendung gelak tawa saat itu, semua kata seolah terlempar dengan sempurna tepat mengenai sasaran. Kami saling berucap tentang profesi dan pengalaman untuk melanjutkan sisa catatan mimpi yang masih kami simpan. Kami bahagia memandang langit malam yang sepi tanpa pantulan cahaya rembulan. Binar-binar sayatan kilau kembang api masih menjadi tampilan terindah langit malam itu. Pantai Drini yang sepi berubah menjadi lautan mercon dan cahaya api mungil yang saling bersahutan satu sama lain. Tak berhenti kami mengucap syukur untuk setiap keindahan yang kami rasakan. Saat malam berlalu sempurna, setiap pasang mata sudah terlelap dengan alunan lagu merdu dari alam dan pantai yang tak bisa diam dengan deburan ombak yang meniupkan rasa dingin dan menuntut mata untuk terlelap lebih lama. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan kami dustakan, malam itu berlalu.

“Tolong fotoin kami dong, di sebelah sini, menghadap kesana,” terdengar suara para dara jelita yang sudah berjalan menyusuri pantai meski rintik hujan masih setia melaju menemani pagi tanpa sinar mentari itu berlalu.  Aku menyaksikan jiwa-jiwa itu bersinar bahagia melewati menit demi menit sebelum kami berbalik arah kembali menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa. Beberapa kali Chandra mengabadikan momen terbaik, ia memang photographer yang handal. Ditambah lagi dengan enam bidadari cantik yang siap menjadi model terbaik yang akan diabadikan dibalik kanvas hitam dalam catatan singkat sebuah perjalanan. Aku mengakui mereka memang sosok yang luar biasa, anggun dalam balutan rok dan naungan jilbab yang menjadikan mereka cocok diberi julukan muslim traveler. Mereka memberikan banyak warna, banyak cerita, dan juga banyak pelajaran dalam perjalanan ini. Kebahagiaan adalah saat bisa mengenal dan melihat mereka tertawa lepas. Saat keenam dara itu merasa lelah, kami berkemas, liburan singkat telah usai, kami berbalik arah, kembali!

Bayang Kelabu Mengharu Biru

Menepis bayang-bayang kelabu yang pernah mengharu biru…
Untuk apa?
Demi apa kehidupan menawarkan segalanya…
Sepasang kapas putih, teman keabadian…
Kesepian yang menganga, siapa yang kuasa berteman dibalik kain putih?
Merongrong sendiri, tak ada titah keramaian…
Bertemankan hewan dan penjagaan Tuhan, sudikah malaikat berbaik hati?
Amal. Amal, amal
Hanya amalanlah penolong terbaik…
Bukan teman, bukan saudara, bukan juga keluarga
Amalan kebaikan, penerang jalan pulang.
Jika kau berteriak, suaramu sudah tak didengar…
Jika kau menangis, tangismu sudah tak dihitung Tuhan…
Jika kau merintih, pedihmu takkan terasih…
Tak perlu kau berontak, tak usah kau berteriak…
Catatan amalmu yang akan berkata jujur tentang tingkah lakumu…
Harta, tahta, dan segala kemegahan akan menjadi hiasan dunia semata..
Penerang jalanmu kembali hanya kebaikan…
Penerang jalanmu pulang adalah kebajikan…
Duhai, sudahkah siap untuk segala kepastian Tuhan…
Tak bisa kau bersembunyi, Tuhanlah tempatmu kembali…
Berbenahlah, berbenah dengan segala perbaikan…
Karena hidup akan berakhir…

Penerang jalanmu kembali adalah kebajikan!

Menangis Dalam Diam

Gerimis turun menemani pagiku, menjelajahi satu persatu ruang yang masih gelap tanpa terpaan cahaya. Rumah masih sepi, aku duduk terdiam dalam lamunan. Tubuhku masih lelah, tak terhitung sudah berapa kali aku rebahkan di atas ranjang. Sepertinya aku memang butuh istirahat. Pagi ini tiada suara kicauan burung, kokok ayam pun sepi karena mentari belum juga terbit. Yang tersisa hanya suara reruntuhan rintik hujan yang membuat mata merasa sangat dimanjakan. Entah kepada siapa hujan ini menceritakan pilu, mendera satu jiwa yang susah untuk ditebak, gumpalan kabut asap masih setia menghinggapi atap rumah. Cuaca dingin membuatku malas keluar rumah untuk beraktivitas.
Hidup memang penuh misteri, rasanya baru kemarin bercengkrama bersama, hari ini aku sudah merasa sepi karena jiwa yang masih dirundung kegelisahan mendalam. Rona bahagia yang membuat hati selalu merasa senang, bisa begitu saja berubah menjadi lamunan panjang dan menyisakan keraguan, apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk bisa merasakan ketenangan hidup? Rahasia alam sungguh penuh kejutan, tanpa terpikirkan manusia bisa saja tersenyum penuh rona bahagia, namun dalam waktu singkat, itu semua bisa berubah menjadi nestapa. Aku masih ingat jelas, beberapa waktu lalu, ketika Dila mengajakkku ke rumah temannya, tak lama waktu bersela, aku menemukan kebahagiaan baru disana. Menunduk sambil mangut-mangut tersipu bahagia hingga tersadar saat Difa menepuk pundakku.
Pada suatu siang yang tak terasa terik, saat matahari masih bersembunyi dan terlihat malu-malu untuk menampakkan diri, masih dengan ditemani laju rindu dan asa ingin bertemu, aku termangu duduk tak bersila dengan setia menunggu hadirmu. Meski sesekali aku merasa terbata-bata mengharap kau hadir, namun batinku masih setia. Yakinku bahwa lelah itu akan mempertemukan kita. Dalam dekap sederhana, tak lelah aku menengadahkan kedua tanganku dan terus berharap bahwa kau akan hadir didepanku. Berharap setelah melihat wajahmu, akan menjadi memori indah penuh rona dalam hatiku. Aku rindu tutur sapamu, aku rindu tatapan matamu, hingga aku benar-benar rindu untuk bisa sekedar bertemu denganmu, meski hanya untuk melepas rindu. Aku rindu dengan semua cerita-cerita yang pernah kau beberkan saat kita bertemu, hingga aku benar-benar merindu untuk bisa menyandarkan semua bebanku di pundak gagahmu, Rangga.
Apakah aku terlalu berani merindukan sosok sepertimu, yang mungkin tak pernah terlintas dalam benakmu dan memikirkan hal yang sama seperti apa yang masih kupikirkan hingga saat ini. Apakah hanya aku yang berharap akhir kisah yang indah? Masihkah kau mengingat bayangan angan yang bersama kita hias dan kita sematkan dalam hati kita, aku semakin tak kuasa menahan tangisku. Memikirkanmu, berujar tentang seorang pendamping hidup yang hingga saat ini tak memberiku kabar, jauh hilang dibawa segudang kesibukan. Aku cemas dengan pikiran yang terkadang begitu rumit, mencari-cari alasan hingga kutemukan alasan untuk bertahan menantimu, menanti jawabanmu atas goresan noktak-noktah hitam yang akan menjadi hiasan masa depan kita. Meski sering kurasakan letih tak berkesudahan, namun bayanganmu tak bisa aku hapuskan, aku masih percaya kau akan menjawab semua mimpi-mimpi kita. Kadang hati kecilku merasa terendam terabaikan olehmu, namun aku tak bisa berbohong, jika aku masih saja setia menantimu datang kembali dengan jawaban yang sama, dengan takdir hidup yang bahagia. Jiwaku sungguh penuh lara, namun seketika ia hilang karena kau telah melukiskan noktah rasa indah yang menari-nari didalamnya. Sebahagia dan serumit inikah perasaan cinta?
“Sudahlah Anin, jangan kau aduk bahagia dan sedihmu, tidak baik. Biarkan saja dia berlalu, atau kau akan lebih menderita jika terus berharap padanya.” Suara Dila mengagetkanku saat masih duduk diam termangu tanpa ekspresi di ruang tamu. Entah sudah berapa jam aku melamun, mengingat lambaian kenangan masa lalu. Seperti tak cukup usia jika aku membayangkan itu semua.
“Salahkah jika aku berharap?” aku mencoba memberikan pembelaan diri.
“Tidak Anin, tidak ada yang salah.”
“Lalu, kenapa berkata demikian?”
“Aku ingin kau lebih dewasa dan terbuka dalam bersikap Anin. Tidak perlu kau rangkai kata-kata manis untuk menunjukkan kau sedang bahagia, bahagiamu jelas terlihat. Namun, kau harus lebih membuka matamu, lihat siapa yang kau harapkan. Bersandarlah pada pilihan yang realistis, ini bukan dunia dongeng Anin, bangun!”
“Maksudmu?!”
“Kau hanya perlu membaca setiap kemungkinan yang terjadi, jangan berharap lebih pada yang tak pasti. Itu justru akan melukai hatimu.”
“Tapi, aku berharap dia yang terbaik Dil, apa tidak boleh?”
“Mengharapkan yang terbaik akan selalu diikuti dengan usaha perbaikan diri, bukan melamun, tersenyum sendiri sepanjang hari. Apa kau sudi waktumu berlalu percuma?”
“Aku ingin dia akan menjadi pendamping yang baik, lantas mengapa itu terlalu diragukan. Salahkah jika tautan cinta ini dilanjutkan?”
“Haaah, harus berapa kali lagi aku bersaksi dihadapanmu Nin, jika ia memang milikmu, ia akan datang memberimu kabar baik, atau justru kau yang akan terluka dan terus menangisinya dalam diammu. Jangan terlalu berharap atas jawaban iya, karena takdir Tuhan, tak satu pun makhluk bisa menebaknya Nin.”
Nyessss, kalimat yang baru diutarakan Dila menghancurkan benteng pertahananku. Ia bisa menebak apa yang aku rasakan. Aku merasa tak kuat jika harus menunggu lebih lama. Sementara, kau masih saja terdiam, tak ada kabar yang kau berikan. Ornamen lampu indah dalam ruangan itu seolah jatuh berserakan saat mendengarkan apa yang diucapkan Dila. Beberapa kursi saling berlarian menyembunyikan diri dari keheningan. Semua yang ada disana diam, hanya aku yang masih setia dengan penantian dan sesekali berlirih hening dengan cucuran air mata tanpa suara. Harapan indah yang aku lukis dalam kanvas masa depan seolah hancur. Dekapan balutan rindu yang ingin kusampaikan padanya saat bersua mati secara tiba-tiba. Sayup-sayup rindang pohon dengan tiupan nakal membunuh satu persatu kerinduan yang aku simpan.
Sebulan sudah percakapanku dengan Dila berlalu, ternyata benar, tidak ada kabar baik yang aku tunggu. Kau justru menghilang tanpa bayangan. Semua harapanku sirna saat aku sadar jika penantian panjang yang kutempuh adalah sebuah kesalahan. Memikirkanku adalah sebuah luka yang akan terus menyiksa hingga nanti aku benar-benar bisa melupakanmu. Sering aku berpikir untuk menghapus semua anganku, namun hati ini tak bisa berbohong jika kau memang sosok yang masih aku harapkan. Dila, mungkin ia adalah sahabat yang sudah bosan mengingatku, tapi masih tetap pada pendirianku yang tak berasalan. Ia memintaku untuk membuka mata, aku justru tak menghiraukan permintaannya. Kini aku sadar, semakin aku jauh berharap, akan semakin sakit jika itu hanya sebuah keinginan yang tak mungkin terwujudkan.
Langit biru menutup mata, kabut tebal masih saja menjadi hiasan keabadian hari itu. Bumi tak lagi bersikap mesra, saat aku merasakan kehilangan dan sakit yang mendera waktuku berlalu. Namun, aku masih saja berujar dengan alasan sederhana, menghantui kehidupan seorang lelaki yang aku kira ia mencintaiku sepenuh hatinya. Semerbak harum mawar merah yang ia berikan seketika jatuh begitu saja. Janji-janjinya kini berguguran dan menyisakan sedikit rasa sakit dan pedihnya kecewa. Ah, misteri langit yang sulit kutebak dan kubahasakan dengan rangkaian kata memang selalu menusukku. Hingga, aku lupa bagaimana rasanya bahagia jika ia benar-benar datang memenuhi semua petuah hidupnya. Aku memang merasa sulit untuk melabuhkan cinta dengan sederhana, hingga tangisan tak bisa lagi kulerai. Meski terus berusaha menanti, namun aku sadar yang aku tunggu tak kunjung tiba. Sisa tawa itu kini berlalu, memberikan jejak baru berupa rasa sakit yang tak lagi kuhiraukan. Aku sudah terbiasa tergores luka dan tersadar bahwa pertemuan dengannya adalah sebuah ilusi belaka. Hasrat masa lalu yang begitu hangat dan memikat kini menyisakan air mata dalam catatan hidupku. Aku menghela nafas panjang. Aku sudah ikhlas dengan takdir Tuhan, meski harus melanjutkan kesedihan, meski harus tetap menangis dalam diam.


Cerita Senja di Bumi Rafflesia

Setiap momen pasti memberikan kesan tersendiri untuk para penikmatnya, seberapa jauh berjalan, sejauh itu pula pengalaman akan bercerita tentang kehidupan yang hingga saat ini masih memberikanku kesempatan untuk bernafas. Menikmati indahnya dunia dan karunia Ilahi yang sangat sulit untuk aku definisikan dengan kumpulan kata dalam kalimat. Bagian terindah dari sebuah hari yang terus berputar ditemani mesin waktu adalah senja. Meski malam menawarkan kerlipan bintang dengan sinar rembulan, namun senja selalu bisa membuaiku menjadi insan yang merasa begitu bahagia saat itu menyapa. Senja berbeda, ia tidak seperti titik yang mengakhiri tanpa seruan dan tanya. Bagian terbaik dari hadirnya adalah ketika aku sadar warna jingga itu beradu sempurna dengan bayangan burung berkicau yang akan kembali ke peraduannya. Ditemani rayuan pohon kelapa yang rindang dengan asmara memuncak, sayup berlalu membahagiakan siapapun yang menyaksikannya.
Aku tak pernah takut kehilangan dia, karena kau tahu ia akan kembali, selalu hadir saat matahari bergegas meminta diri untuk pergi. Andai bisa kubeli label senja, akan kuhadiahkan ia untuk semua orang terbaik dalam hidup yang aku punya. Hingga mereka bisa merasakan kedamaian yang tak berujung dan tak pula bertepi, hadirnya abadi. Jika malam memintaku untuk mundur karena lelah yang tak teratur, senja selalu memanjakanku dengan indahnya sayap-sayap semesta. Tak butuh waktu banyak  untuk mencarinya, ia akan hadir tanpa harus kupanggil. Mengenalnya adalah sebuah keindahan yang takkan kuhapus dalam catatan utuh suatu fase kehidupan. Ia adalah senja, ciptaan Tuhan yang amat teristimewa untukku, untuk kita.
Aku bergerak mendekati suatu danau yang mungil dengan tatanan hijau muda dedaunan yang melengkapi indahnya. Danau itu sepi. Hanya ada beberapa remaja kecil yang mondar-mandir sibuk mengabadikan momen di bibir depan tak jauh dari pintu masuk. Sesekali kicau burung bersorak riuh tak teracuh mencoba menanam kenangan indah di hati para pengunjung danau yang mendengarnya. Laksana berujar untuk tenang dalam bersikap dan menikmati kedamaian hidup di desa. Melupakan setiap goresan luka masa lalu yang tak bersumbu namun kini patah karena senja yang begitu menggoda. Kehidupan di tanah Rafflesia ini memang tidak memberikan kemewahan, jauh dari kata kesempurnaan, tapi ia menawarkan kedamaian abadi. Jika seuntai kata saja kelak akan dipertanyakan Tuhan saat kita kembali, lalu bagaimana dengan kata rindu dan cinta yang sudah menganak sungai tak terbendung. Pose nakal sepasang kekasih di danau itu merenggut ketenangan sejauh mata memandang. Mereka begitu hanyut dalam keindahan alam yang tak mungkin bisa aku duakan. Bukan seperti cinta, danau itu berbisik manja. Memberikanku kenangan manis akan ketenangan dan kenangan. Aku seperti hanyut dalam khilaf yang tak pernah kuperbuat. Mendiamkan diri jatuh dalam ilusi kebodohan dan tak tau bagaimana harus bangun untuk bergegas menemui kesadaran. Nadiku berdenyut tak seperti biasa, ia berdetak lebih cepat bak ingin lepas dari sarangnya. Sekuat mungkin aku duduk dan tak melihat. Aku menjaga setiap apa yang kupunya, tak ingin ia pergi walau sesaat. Karena aku tak tahu bagaimana bentuk keabadian yang Tuhan tentukan.  
Kala itu, jarak antara aku dan senja yang aku banggakan terpaut begitu dekat. Kilauan kuning cahaya yang ia bentangkan telah merenggut sisa kesedihan yang aku rasakan. Senja mendekatiku dan ingin memastikan jika hadirnya tak lagi melihat luka menganga. Sapaan angin disana seperti mengetuk pintu langit dan berdoa untuk menghapuskan air mata penyesalan yang pernah hadir dan menyiksa. Senja di bumi Rafflesia memintaku untuk membuka mata melihat segala kebaikan dengan hati yang jernih, mendengarkan petuah alam agar hidupku menjadi jernih, dan menawarkanku kekuatan iman yang takkan lagi aku lupakan.
“Permisi, ada yang bisa aku bantu,” ungkap pelayan yang sedari tadi sepertinya sudah berdiri dan memperhatikan gerak-gerikku. Ia hadir dengan pakaian dinasnya yang khas dan senyum lebar seperti sudah saling kenal. Tubuhnya tinggi, wajahnya putih bersinar, pada bagian wajah itu terlihat hidung yang mancung serta kumis tipis yang tertata rapi.
“Terima kasih. Jika kau berkenan, bolehkah kau abadikan beberapa sudut danau ini untukku?” aku memastikan ia bersedia untuk mengambilkanku beberapa gambar dari danau mungil yang sejak tadi aku jelaskan.
“Dengan senang hati, mari.” Ia berjalan dengan tangan lembut yang mempersilahkanku untuk mengikutinya dari belakang.
“Sudah berapa lama berada di bumi Rafflesia ini?”
“Dua hari yang lalu aku tiba, aku akan berlibur selama seminggu disini,” jawabku tenang sambil terus mengikuti jejaknya menuju tengah danau yang dilengkapi dengan hiasan jembatan seperti yang ada di Eropa.
“Sendirian saja?”
“Ya, aku datang sendiri. Sudah sejak lama aku berniat untuk mengunjungi danau ini. Aku dengar senja disini begitu memanjakan mata, indah!”
“Kau benar, kau tidak salah dalam berujar. Senja di Danau Nibung Bumi Rafflesia ini memang menakjubkan.”
Aku bergumam dalam hati. Pelayan itu adalah salah satu orang terbaik yang dimiliki bumi Rafflesia ini. Tidak sempat aku bertanya daerah asalnya, mataku sudah dihipnotis dengan indahnya pesona senja saat kami tiba di tengah danau. Pemandangan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, seperti sedang berada di Australia, dan juga salah satu Negara terbaik di dunia, Jerman.  Ukiran jembatan itu sangat membuai mata untuk terus memandang. Menjadikan naluriku terasa sempurna ketika hiasan lampu pelangi yang tak begitu terang seperti sedang membawa terbang berada di bawah terpaan langit biru. Kejadian itu seperti nyata. Belum selesai aku berujar keindahan, tenangnya air danau yang berubah warna menjadi emas, membuatku sangat sulit untuk menjelaskan. Senja itu berubah, ia menjadikan danau itu berwujud sempurna. Setiap mata pengunjung penuh takjub memandangnya, bak ingin tertawa dalam buaian mimpi, tersenyum dalam hiasan, tapi ternyata keindahan itu nyata. senja penuh bahagia merubah cara pandangku terhadap dunia, takkan pernah berhenti aku mencari pengalaman berharga, sama seperti dunia yang tak pernah berhenti untuk mengajariku banyak kata. Senja di danau itu berhasil menghipnotisku. Senja di bumi Rafflesia memang penuh noktah indah yang berujar tentang kedamaian. Tempat kecil penuh memori dan kenangan baik yang takkan pernah terlupakan dalam pencarian jati diri demi menghadapi kehidupan.


Blog Inspiratif

“Sesuatu yang terjadi dalam sehari atau dalam beberapa hari kadang atau bahkan bisa merubah keseluruhan jalan hidup seseorang”
Untuk beberapa kisah dalam hidup yang pernah kita lalui memang selalu memberikan pelajaran baik itu sedikit atau juga banyak. Blog yang kau tulis, memberikan banyak motivasi untuk terus berbenah diri. Tuhan, aku tau diri ini memang kotor, jauh dari kata baik, bahkan sering sekali aku melupakanmu saat bertemu dengan bayangan dunia. Tapi, sungguh aku juga ingin menjadi orang yang baik Tuhan, bisa membuat orang bahagia, merasa nyaman saat berada dalam kedekatan denganMu juga dengan tanda-tanda kekuasaaanMu. Banyak sekali jiwa yang kukenal dulu begitu biasa jika manusia menilainya, tapi saat ini kadar imannya justru melabung tinggi jauh dari atas rata-rata. Pegangan hidupnya sederhana, ia hanya ingin semua yang ia kerjakan karena Allah dan yang penting Engkau ridha, begitu ucapnya. Jiwa mana yang tidak luluh dan hancur jika membaca dan mendengarkan ucapan yang begitu menunjukkan bahwa Engkau memang layak kami nomor satukan. Tidak dalam sehari, tapi kadang jiwa ini merasa iri dengan mereka yang bisa terus istiqamah untuk menulis dan berbagi bersama yang lain. Aku mengaku kalah Yaa Rabb, sudah berapa hampir sebulan aku tidak merangkai kata di blog pribadiku. Alasanku memang sederhana, aku tidak punya banyak kemauan untuk melakukan itu semua alias MALAS!
Aku memang tak mengenalnya secara dekat, bahkan hanya membaca beberapa tulisannya yang terdapat di akun blognya, aku merasa terinspirasi dengan rangkaian kata hingga kalimat dan paragraph itu membentuk menjadi sederet cerita kecil pengalaman hidupnya. Maka, saat membaca tulisan itu, aku merasa begitu kecil, begitu tak berguna, dan merasa begitu kotor. Ia yang harus berjuang demi menyelesaikan sekolahnya saja harus melakukan banyak hal bisa terus bernilai dan menginspirasi orang lain. Sedikit banyak ia mengajarkan bagaimana harus menjadi generasi yang terus positif thinking karena berpikiran negatif hanya akan menguras pikiran yang baik dan menjadikan kita menyesal jika sudah mengetahui apa yang terjadi. Meski berjuang sendiri, ia terlihat begitu tegar, kuat, dan mampu menjalaninya hingga masa yang belum Tuhan tentukan kesakitan itu akan berakhir kapan. Ia mengakui bahwa dirinya memang tidak baik, bahkan jiwa yang berjalan dengannya juga tidak baik, tapi hatinya yakin bahwa ia akan menjadi lebih baik dengan hidayah yang Engkau berikan padanya Rabb. Aku jatuh cinta, namun aku kadang lupa, bahwa aku punya Engkau, Tuhan yang harus terus aku perhatikan agar Engkau tidak cemburu jika aku begitu dekat dengan makhlukmu. Ya, Engkau memang sejatinya dijadikan cinta pertama, melebihi kadar cinta dari makhluk.
Tidak ada yang salah dengan masa lalu, yang ada adalah bahwa kita harus terus berbenah dengan banyaknya kesalahan yang sudah kita lakukan di masa lalu. Hal yang harus kuyakini sekarang adalah meski sedikit pengalaman, namun harus terus belajar agar kesalahan tersebut dapat menjadi pencerah dalam hidup. Jika memang dalam hati ini banyak noktah hitam yang sudah bertebaran, aku meminta ampun atas segala kelalaianku di masa silam Tuhan, aku yakin Engkau pasti masih memberikan kesempatan kepada hambaMu untuk terus memperbaiki diri. Beratus kali kami mengerjakan maksiat dan dosa, beribu kali Engkau hadir dengan pengampunan. Maha benar Engkau Yaa Rabb, dengan segala firman-firmanMu.
Inspirasi kedua dari kejadian semalam adalah saat mimpi bertemu kak Ainun, orang yang sudah sangat baik menemani perjalanan akademik hingga kini ia telah menjadi seorang Ibu. Ah, aku rindu petuah dan nasehat yang kau ucapkan saat kami dulu merasa bosan dengan aktivitas kehidupan akademik kami kak. Entah kapan lagi bisa bersua, mendengar cerita versi masing-masing yang pasti akan sudah sangat berbeda dengan masa dulu saat kita duduk di bangku kuliah. Rindu dengan omongan Mandarinmu kak, yang kadang aku juga bingung kakak lagi bicarain apa, but you are the best sister ever. Gak pernah berhenti jadi penolong dan menjadi sosok yang peduli dalam menyikapi perjalanan hidup yang kadang manis but sometimes it is so hard and also hurt to say. Senang bisa mengenal kakak, orang yang selalu menjadi ibu dan motivator saat kami sedang BT abis, atau jangan-jangan karena memang usia kakak lebih tua dari kami, makanya kakak bisa begitu dewasa? Ups, jangan marah ya kalau baca tulisan ini, kak Ainun baik super the best lah!
Pernah gak kamu memikirkan masa depan, seperti menerka-nerka apa yang akan terjadi dan ternyata kamu belum siap untuk menghadapinya? Jika pernah, mungkin kita sama, lebih kepada sebuah rasa cemas yang hadir sebenarnya, bukan karena takut untuk tidak menghadapinya, tetapi memerlukan amunisi yang tepat untuk menjalani itu semua. Seberapa sering kita meminta kepada Tuhan agar dikuatkan, sesering itu pula Tuhan hadir dan memberikan kita bimbingan. Tidak lagi tentang kegelisahan hati menebak masa depan, tapi persiapan matang memang dibutuhkan agar bisa menjadi insan terbaik dan generasi pilihan. Itu semua bergantung pada usaha kita, doa kita, dan seberapa kuat kita berusaha untuk terus bertahan. Sering menggalaukan bukan? Haha, nikmati saja!

Sampai disini dulu tulisannya, next time dilanjut lagi, intinya aku bersyukur banget bisa bertemu banyak orang baik, penulis pribadi di blog yang menginspirasi, dan juga sosok-sosok tangguh yang tak kenal lelah untuk memperbaiki diri, semoga kita semua bisa husnul khatimah dengan usaha untuk terus bisa bermuhasabah ya guys, terima kasih untuk inspirasi semalam, terima kasih untuk mimpi bertemu kak Ainun Yaa Allah. Hai jum’at, aku memujamu. 

Atas Restu dan Cinta Mereka

Dulu, saat masih duduk di bangku SD, aku pernah bercerita bersama Alm. Bapak, bahwa ia memintaku untuk sekolah yang tinggi. Mungkin itu adalah percakapan terindah yang pernah aku lalui bersama beliau. Sebab, Bapakku adalah seseorang yang dingin, ia jarang sekali memuji anaknya, tapi soal pendidikan, ia tidak pernah main-main. Saat itu aku berjanji bahwa aku akan menjadi seorang sarjana dan akan melanjutkan kuliah hingga S2. Kembali lagi kuingatkan bahwa Bapak tidak pernah main-main dengan pendidikan anaknya, aku pernah dikunci di gudang karena tidak belajar, aku juga pernah dimarahi saat kelas 4 SD karena mendapatkan rangking 2. Bapak selalu ingin aku menjadi yang terbaik, aku tahu itu. Ketika duduk di bangku MTS, beliau berulang kali memastikan bahwa aku selalu menjadi siswa nomor satu di kelas. Seingatku, semasa MTS hingga Aliyah, dua kali aku mendapatkan juara umum tingkat sekolah dan ia diminta untuk maju ke depan menerima penghargaan di depan banyak orang, tapi ekspresinya biasa saja. Begitulah Bapak, kalau aku gak dapat rangking pertama, pasti dia merasa kecewa, tapi ketika aku menjadi yang terbaik, ia bersikap dingin. Aku sampai hapal betul, setiap kali dapat peringkat dibelikan hadiah sama kakak, tapi Bapak diam saja. Ketika kuliah juga demikian, berulang kali ikut lomba dan mendapatkan juara, tapi Bapak kecewa saat aku menjadi juara kedua atau ketiga, ia selalu berharap aku menjadi yang terbaik. Ada yang berbeda tiap kali aku menerima telpon darinya dan bertutur bahwa aku bukan yang terbaik. Didikan tidak main-main dengan pendidikan itulah membuatku terus berusaha memberikan yang terbaik, aku takut ia kecewa. Tapi, Tuhan berkata lain, sejak aku duduk di semester 4 jenjang sarjana, ia sudah berkali-kali berkata bahwa tubuhnya sudah lelah, ia ingin aku segera pulang. Berkali-kali juga ia bertanya kapan aku akan diwisuda. Hiruk-pikuk kehidupan kampus dan sibuknya berorganisasi serta pekerjaan membuatku lupa bahwa perkataan Bapak ternyata adalah sebuah tanda bahwa ia akan pergi ke alam berikutnya. Setelah mendaftarkan diri untuk mengikuti kegiatan KKN, Bapak kembali bertanya, “Kapan kamu diwisuda Nak, Bapak sudah lelah, cepat pulang.” Aku yang tidak paham tanda dan kode hanya berkata bahwa kurang lebih setahun lagi aku akan diwisuda. Di pertengahan KKN berlangsung, setelah sholat shubuh aku menerima telpon dari rumah bahwa Bapak sudah tiada, Bapak telah pergi. Padahal baru sehari sebelumnya beliau mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Yang ada hanyalah penyesalan, perasaan sedih, sayapku sudah tak sepasang lagi, satu sayap itu telah patah dan berlalu lebih awal. Hari dan bulan berlalu, 31 Mei 2014 saat prosesi wisuda, terasa sekali saat Bapak tak lagi bisa menyaksikanku dikukuhkan menjadi sarjana. Ia memang telah pergi jauh, tapi aku yakin ia menyaksikan anaknya yang sudah sampai di garis finish pertama, anaknya sudah menjadi sarjana. Dan setelah melewati proses panjang, Ibu akhirnya merestui anaknya ini untuk melanjutkan studi S2. Tepat di tanggal 20 Februari 2016, prosesi wisuda pun berlangsung, akhirnya janjiku untuk Alm. Bapak sudah aku tunaikan. Semua karena restu dan cinta keduanya, terutama Ibu. Di antara berbagai kebahagiaan dan rasa haru yang ada, bayangan Bapak dan Ibu yang selalu hadir dalam mimpi dan perjalanan panjang untuk merampungkan studiku. Betapa aku tak mungkin sampai di momen dan fase ini jika tanpa cinta dan restu keduanya. Betapa do’a Ibu selalu mengiringi langkah-langkah ini. Ibu memang hanya gadis kampung yang pendidikan formalnya tidak tinggi, tapi do’a dan cintanya untuk anaknya begitu mulia. Ia bahkan kadang nyaris lupa berdo’a untuk dirinya demi mendoakan anak-anaknya. Bagiku, Ibu adalah sosok inspiratif yang selalu ada dan menjadi pendukung paling setia untuk anaknya ini. Sosoknya adalah bintang paling terang di hati ini, hingga tak terhitung berapa kali air matanya jatuh saat menuturkan bahwa ia masih terus merestuiku untuk melangkah. Jika ada pujian dan penghargaan serta ucapan selamat untuk apa yang sudah aku raih selama ini, maka ucapan itu layak diberikan kepada kedua pahlawanku, Alm. Bapak dan Ibu.  

Selasa, 01 Maret 2016

Pamit

Sudah coba berbagai cara agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini hanya kau takutku hilang,
jangan paksakan genggamanmu
ijinkan aku pergi dulu
yang berubah hanya, tak lagi kumilikmu,
kau masih bisa melihatku,
kau harus percaya bahwa aku tetap teman baikmu,

Entah, sampai kapan?
Sampai nanti, sampai kita sama-sama pergi menghilang dan menjauh...
Lupakan, lepaskan, biasakan!
Kau bisa jika kau mau berusaha...

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...