Pulang bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin yang penuh makna. Pulang adalah kata yang menyentuh hati, membawa kita kembali ke tempat yang penuh dengan kenangan, harapan, dan kehangatan. Ada banyak arti dalam sebuah pulang—bukan hanya ke rumah yang kita tinggalkan, tetapi juga ke dalam diri kita yang sering kali terlupakan dalam kesibukan hidup. Setiap orang memiliki definisi pulang mereka sendiri. Bagi sebagian orang, pulang berarti kembali ke rumah yang penuh dengan suara tawa keluarga, aroma masakan ibu yang menghangatkan ruangan, dan kehangatan pelukan orang-orang yang kita cintai. Itu adalah tempat di mana kita merasa aman, tempat yang tak peduli seberapa jauh kita pergi, selalu menerima kita dengan tangan terbuka dan penuh dengan senyuman.
Pulang juga bisa menjadi pencarian-pencarian untuk diri kita yang sesungguhnya. Setelah melewati begitu banyak tantangan, kita mungkin merasa terasing dari diri sendiri. Pulang menjadi cara untuk menemukan kembali inti kita, untuk menyambung kembali dengan perasaan yang dulu pernah kita miliki. Ini adalah momen introspeksi, di mana kita menyadari bahwa untuk maju, kita perlu memahami dari mana kita berasal. Terkadang, pulang itu tidak hanya soal tempat, tetapi juga soal waktu. Waktu yang mungkin telah terlambat, waktu yang tak akan kembali. Itu adalah momen yang membuat kita merenung, adakah waktu yang telah kita habiskan dengan benar, ataukah kita hanya sibuk mengejar hal-hal yang akhirnya tidak membawa kita pada kedamaian? Pulang adalah pengingat bahwa tidak ada yang lebih berharga selain waktu yang dihabiskan dengan orang-orang yang kita cintai.
Pulang adalah sebuah kata sederhana, namun di baliknya tersembunyi begitu banyak perasaan. Ia adalah perjalanan, bukan hanya untuk kembali ke tempat asal, tetapi juga untuk menemukan kembali siapa kita. Seperti halnya rumah yang selalu siap menerima kita, pulang adalah tentang menerima diri sendiri dengan segala luka, cerita, dan harapan yang ada di dalamnya.
Pulang adalah rentetan rencana dan perjalanan panjang yang diawali dengan guratan senyum dan berakhir dengan tetesan air mata ketika memandang mereka yang kamu cintai dan mampu mendekap mereka dalam pelukan. Apalagi yang membuat bahagia, selain bisa berkumpul bersama keluarga. Meski, untuk bisa merasakannya, harus menyita banyak tenaga, waktu, dan biaya. Barang kali dengan pulang, kita jadi tahu sejauh apa kita sudah melangkah dan selama apa kita sudah saling berjauhan dengan keluarga. Kata orang, merantaulah yang jauh, jangan lupa pulang. Terkadang, kita akan melalui satu bab dalam hidup, ketika Tuhan mengizinkan kita menjadi orang yang lebih kuat dari periode kehidupan sebelumnya. Ternyata, kita hanya butuh hati yang lapang untuk bisa menerima segalanya, perihal takdir hidup, termasuk ketika menginginkan pulang.
Memiliki tempat untuk pergi adalah rumah. Memiliki orang yang layak dicintai adalah keluarga. Memiliki keduanya bisa jadi berkah. Selamat merayakan kepulangan. Kata orang begitu. Tapi, kenyataannya tidak semudah itu. Ketika pergi orang bertanya kenapa harus jauh? Ketika pulang orang berkata, duitmu berapa lama kamu kumpulkan, habis begitu saja di perjalanan. Apakah orang-orang semakin kerdil karena kehilangan hati nurani dengan mempertanyakan setiap kepulangan? Padahal, perihal ini, mereka tidak memberikan apapun. Tapi justru lisan mereka menyakiti setiap orang yang ingin merayakan temu. Tiap kita, boleh lari dari kenyataan. Tapi ingat, harus selalu tahu kapan pulang. Pergi dengan penuh sikap kekanak-kanakan dan pulang dengan penuh pendewasaan. Keadaan di perantauan ternyata memaksa kita untuk bersikap lebih dewasa. Sesulit itu ternyata hidup mendewasa. Apakah boleh kita kembali ke masa kanak-kanak saja? Bahwa PR tersulit adalah matematika dan ujian terberat adalah ketika disuruh orang tua memejamkan mata setelah pulang sekolah.
Tentang pulang, adalah mengantarkan bakti. Pada siapa pun yang masih Allah izinkan untuk ditemui. Entah itu kakak, entah itu Bapak, atau keluarga serta orang yang pernah dikenalkan orang tua. Apalagi pasca kehilangan kedua orang tua dimana kepergian keduanya tidak bisa aku saksikan, menyisakan luka berat yang mungkin akan sulit untuk bisa disembuhkan. Selagi masih ada. Perihal biaya selalu bisa diusahakan. Tapi, perihal kesempatan dan usia orang tua yang juga terbatas, apakah pernah kita pikirkan. Pulang itu mahal, jadi jangan menyakiti perasaan orang yang merayakan kepulangan dengan berkata, duitmu habis begitu saja di perjalanan. Kalau masih punya hati, mari ajarkan hati kita untuk berbesar hati akan kepulangan orang lain. Mereka juga tidak ingin jauh dari keluarga, tapi takdir hidup siapa yang bisa menduga, kan? Jangan pernah merasa paling kuat, paling benar, atau merasa paling tinggi. Kita ini juga hamba yang terus berusaha dan masih mencari jalan pulang sebagai orang rindu paling ajaib.
Aku selalu menjadi anak yang merasa baktiku belum cukup tapi Allah sudah memanggil kedua orang tua. Sisa bakti ini yang ingin aku sampaikan kepada orang-orang yang masih tersisa saat ini. Kepada bapak ibu mertua, kepada kakak, kepada saudara. Orang-orang yang masih memiliki keluarga lengkap, tidak merantau, pasti tidak tahu bagaimana rasanya merencanakan kepulangan. Mengumpulkan biaya demi biaya untuk melihat langsung mereka tertawa. Sebab, tawa orang tua adalah hal yang begitu mahal di dunia ini. Selagi masih ada. Sekali kamu merasakan kehilangan, kamu akan paham bahwa pulang bukan tentang menghambur-hamburkan uang. Hanya ingin melihat napak tilas kenangan yang pernah tercipta. Meski, rasanya tidak akan pernah sama. Tapi, setidaknya kita tahu bahwa mereka pernah hidup dan ada bersama-sama dengan kita. Pulang, satu kata berjuta cerita. Sebab rumah bukan hanya perihal bangunan, tapi tentang rindu dan kenangan bersama orang-orang di dalamnya. Sebab, di dunia ini hanya senja yang tahu cara berpamitan dengan indah. Sementara orang-orang yang kita sayangi, pergi begitu saja tanpa ada aba-aba akan mereka akan kembali. Sepelik itulah kehilangan. Apakah kamu perlu merasakan kehilangan baru kamu tahu mengapa orang melakukan banyak hal untuk merayakan pulang?
Jika kamu rindu, maka pulanglah. Jangan hanya berkirim pesan. Sebab obat rindu adalah temu. Tidak perlu ragu, pulang akan mengajarkanmu untuk melawan ragu, untuk selalu kuat, bisa bertahan juga mengejar apa-apa yang diimpikan. Meyakinkan diri sendiri untuk mampu meski apa yang kamu temui selalu berada dalam bayangan ketidakpastian. Untuk siapa pun yang akan pulang, semoga esok banyak kabar baik. Semoga semua hal yang diharapkan berjalan sebagaimana mestinya. Selamat ya, karena kamu sudah mampu berjuang dan bertahan sejauh ini. Melakukan perlawanan di semua rintangan dan badai hidup dan tidak mau menyusahkan orang lain. Kamu sudah melakukan yang terbaik, untukmu, untuk keluargamu. Sederhana tapi harus selalu diingat. Kamu tidak bisa apa-apa tanpa Allah. Tapi kamu bisa meraih segalanya dengan izin Allah. Termasuk untuk bisa selalu merayakan pulang.
Tentang pulang, tak mudah membuka diri sepenuhnya, ada banyak hal yang disimpan rapat-rapat, yang lebih baik hanya berada di kepala. Tapi?
Pulang mengajarkan bahwa yang fana itu waktu, kita adalah abadi dalam ketidakabadian, kita. Pulang juga mengajarkan meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan setelah sesuatu itu telah benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi.
Tere Liye pernah bilang:
Dan kini kita penuh dengan
kenangan masa kecil yang indah, seperti matahari terbit.
Lantas hari-hari melesat cepat. Siang beranjak datang dan kita tumbuh menjadi
dewasa, besar. Mulai menemui pahit kehidupan. Maka, di salah satu hari itu,
kita tiba-tiba tergugu sedih karena kegagalan atau kehilangan. Di salah satu
hari berikutnya, kita tertikam sesak, tersungkur terluka, berharap hari segera
berlalu. Hari-hari buruk mulai datang. Dan kita tidak pernah tahu kapan dia
akan tiba mengetuk pintu. Kemarin kita masih tertawa, untuk besok lusa tergugu
menangis. Kemarin kita masih berbahagia dengan banyak hal, untuk besok lusa
terjatuh, dipukul telak oleh kehidupan. Hari-hari menyakitkan.
Tapi sungguh, jangan dilawan
semua hari-hari menyakitkan itu. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti
kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit
indah seperti yang kita lihat sekarang. Mau sejijik apa pun kau dengan
hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi
tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya,
membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah.
Peluklah semuanya. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara
agar hatimu damai. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua
kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak
perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah
meski di hari terburuk sekalipun?
Tentang pulang adalah tentang belajar menerima kenyataan perihal tidak menyesali hal-hal yang sudah berakhir, tapi bersyukur karena hal-hal itu masih bisa untuk dikenang. Apalagi kalau bukan tentang perjalanan?
Pontianak, 15 Maret 2025. Ditulis sehabis shubuh agar ada alasan untuk tidak melanjutkan tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar