Selasa, 23 Juni 2020

Tentang Proses Bertumbuh


Membuka tulisan ini, aku cuma mau ngingetin bahwa yang tertulis dan teman-teman baca adalah perspektif bukan kebenaran. Tapi, menurutku ini penting untuk disampaikan karena akan berpengaruh terhadap proses bertumbuh seseorang. Karena kalau tidak, masyarakat kita akan tetap menjadi raja yang sok super asyik pintar berkomentar tanpa memperhatikan kenapa mereka harus berkomentar. Apalagi dengan semakin maraknya penggunaan sosial media yang menjadikan manusia seolah-olah adalah Tuhan untuk bisa menghakimi orang lain, kualitas hidup orang lain, dan segala sesuatu yang terjadi pada orang lain. Kalau sudah demikian, kapan mau melihat dan introspeksi kualitas diri?
Jadi begini, ketika seseorang terlahir ke dunia, ia tidak pernah bisa memilih akan terlahir di keluarga yang kaya, miskin, berpendidikan, atau justru lahir di keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi. Proses lahir ya lahir, tidak bisa request dulu sama Tuhan minta dilahirkan di tengah keluarga yang mewah dengan hamparan red carpet and so on. Ketika lahir, seseorang juga tidak bisa memilih apakah ia akan diterima dengan baik oleh keluarganya atau tidak. Termasuk apakah ia akan tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, broken home, atau keluarga yang sering perang mulut penuh dengan tekanan dan kekerasan.
Entah dibesarkan dengan kasih sayang atau dengan hal-hal yang kurang menyenangkan, seseorang pasti merasa ada yang salah dengan dirinya. Misal, kenapa orang tuanya sering bertengkar, kenapa dia merasakan kekurangan perhatian dan kasih sayang, kenapa ia menemui takdir sebagai anak broken home, dan lain-lain. Pasca itu semua, seseorang akan tumbuh dengan karakter bagaimana ia dibesarkan oleh keluarganya. Mengapa kita sering melihat anak-anak yang brontak dan keras kepala? Karena itu bisa jadi berasal dari mental dan jiwanya yang cedera sebab dibesarkan di tengah keluarga yang tidak harmonis. Mengapa anak perempuan lalu menampilkan gaya hidup bebas, pacaran, bahkan sampai melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan? Karena itu pelarian. Ia butuh pengakuan bahwa ternyata ada orang yang menyayangi mereka, menerima mereka, hingga mereka mau memberikan apapun yang orang lain minta.
Belum lagi kalau misalnya si anak adalah seorang yang introvert, pemalu, atau memiliki mental yang tidak sehat. Masyarakat sekitar pasti bakal dengan mudah ngejudge kenapa begini kenapa begitu. Padahal itu adalah karakter lazim yang dimiliki oleh manusia. Ada yang pemalu, tidak suka keramaian, tapi sama orang tuanya dipaksa untuk menerima keramaian. Tidak bisa. Ada yang suka keramaian, suka ngobrol tapi sama orang tuanya dipaksa untuk diam. Bakal tidak bisa. That’s why agama memerintahkan manusia itu untuk membaca, iqra’. Agar kita tidak dengan mudah menjatuhkan vonis terhadap kualitas hidup orang lain yang hanya kita lihat secara kasat mata.
Apalagi misal seseorang yang memiliki kelainan, bipolar misalnya aniexiety disorder misalnya atau gangguan kecemasan. Masyarakat mana mau tau hal-hal yang demikian, benar bukan? Bisanya adalah menjatuhkan vonis, seolah hukum netizen adalah yang paling benar. Melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan di masyarakat, pasti akan menjadi bahan omongan. Padahal, seharusnya dicari tau kenapa seseorang demikian, kenapa begini, kenapa begitu. Kenapa seseorang memiliki panik berlebih atau gampang panikan, kenapa seseorang menutup diri, kenapa seseorang A B C D sampa Z. The best thing adalah learn kenapa mereka demikian, jangan langsung menjatuhkan sanksi sosial. Karena kalau hanya mengikuti pikiran, pikiran hanya menginginkan hal-hal yang bahagia. Padahal hidup itu ada dua sisi, tidak mungkin selalu bahagia. Sedih juga adalah bagian hal yang dirasakan manusia.
Bagi sebagian orang, mungkin mengalami kesedihan karena ditinggal orang tercinta, terpisah, atau bahkan memisahkan diri secara paksa adalah satu rentetan proses menuju naik kelas. Tapi, tentu dengan konsekuensi yang harus diterima. Tapi, bisa jadi semua proses kesedihan bukan proses untuk bertumbuh, akan tetapi proses untuk turun kelas. Sejenak merenung mengapa hal-hal buruk bisa terjadi dalam hidup lalu memulai hidup untuk lebih menurunkan ego dan lebih menerima kenyataan. Sering kali yang terjadi dalam hidup bukan diri kita yang tidak menerima yang terjadi, tetapi ego kita. Perlu menjadi perhatian, bahwa tidak semua masalah hidup itu diselesaikan dengan curhat. Kalau dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa kita juga perlu duduk, tarik nafas, dan menyadari bahwa diri ini masih bernafas. Karena nafas adalah nikmat, maka hidup pun adalah kenikmatan yang harus dijalani tanpa harus terus menyalahkan keadaan. Kenapa saya jadi anak broken home, kenapa saya ditinggal Bapak, kenapa orang tua saya pisah, dan kenapa kenapa yang lain. Semakin kita mencari pembenaran, semakin kita tidak menerima kenyataan dan menyalahkan kondisi lalu berujung pada kondisi stres. Tidak jarang stres tersebut yang memicu seseorang untuk mengalami sakit mental.
Di sisi lain, menurutku, ada pentingnya juga untuk benar-benar memastikan apakah ketika menikah memang seseorang sudah siap lahir dan batin. Sebab menikah, memiliki keturunan, menambah keturunan, memiliki banyak sekali konsekuensi yang tidak bisa ditebak. Siap lahir batin artinya siap secara mental jasmani dan rohani. Ada banyak yang menikah kadang hanya karena pemenuhan biologis semata. Penting selesai nikah hanimun, menikmati masa romantis. Bukan hanya itu risiko menikah. Ada banyak hal lain, seperti kebutuhan finansial yang terus bertambah, masalah yang bisa terjadi kapan saja, hingga bagaimana kita mendidik anak. Aku kadang sedih, sedih banget kalau melihat orang menikah hanya untuk menikmati manis-manisnya saja. Sementara ketika pahitnya, dilimpahkan ke pasangan atau tidak menerima kenyataan pahit. Balik lagi bahwa hidup ini adalah runtutan sedih dan bahagia. Ketika kamu sedih, yakin aja bahwa kamu tidak selamanya menikmati kesedihan. Ketika bahagia juga sama, tidak selamanya kamu bahagia. Apalagi sedih dan bahagia bisa hadir dalam satu masa yang berdekatan.
Terus harus bagaimana?
Mari lebih menenangkan ego dan tidak kalah dengan tuntutan yang diberikannya. Mari membuka mata bahwa hidup ini adalah dua sisi tidak hanya mudah tetapi juga susah. Dan kita harus banyak belajar untuk bisa menyadari bahwa nafas ini adalah nikmat dan hidup ini adalah anugerah yang Tuhan berikan untuk kita. Kehidupan ini yang seharusnya dijalani dengan baik. Mari banyak belajar. Allah tidak mewajibkan kita bergelar, tapi belajar. Agar apa yang dilakukan terarah dan tidak menyakiti orang lain. Kalau menemukan orang yang berbeda dan tidak wajar, jangan langsung menjatuhkan sanksi sosial, akan tetapi cari tau kenapa dia berperilaku demikian. Belajar juga untuk self healing, menerima diri dengan penerimaan yang sesungguhnya. Calm down, belajar belajar dan belajar. Kita memang tidak bisa memilih akan terlahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa memilih bagaimana bersikap dan menjaga sikap agar perilaku dan perkataan kita tidak menyakiti orang lain.

*Manusia itu hidup untuk memanusiakan orang lain. Tetap tegar dan menikmati hidup. Jangan menangis apalagi sampai menitikkan air mata untuk mengorbankan kewarasan. Berdamailah dengan diri sendiri dan berdamai dengan luka dunia adalah cara terbaik untuk bertumbuh dan menjadi manusia.

Kamis, 18 Juni 2020

Ujian Menjemput Rizki Saat Pandemi (Kilas Balik Ramadhan)


Kembali hadir pengajian jum’at bagi segenap karyawan di UM Pontianak. Akhirnya bisa bertemu saling tatap muka setelah sekian lama terkurung di rumah karena Korona. Betapa ternyata pertemuan saling tatap begitu berharga. Tulisan ini menjadi pengingat atas beberapa poin yang disampaikan Khatib dalam khutbah jum’at dan pengajian yang beliau isi setelahnya.

Disadari atau tidak, ternyata wabah ini menjadikan kita manusia menjadi cemas. Padahal dalam surat Al-Baqarah ayat 155 kalau tidak salah Allah menyebutkan bahwa Ia akan menguji manusia dengan sedikit ketakutan, kekurangan harta, jiwa, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Kalau seandainya rizki itu hanya didapatkan oleh orang-orang pintar, maka barisan guru besar adalah orang paling kaya. Kalau misal rizki itu hanya didapatkan oleh orang besar, makan Presiden adalah orang paling kaya. Kalau rizki hanya mendatangi orang sukses, maka barisan orang dengan deretan gelar paling panjang adalah orang paling kaya. Tapi ternyata tidak, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an, maka tidak ada satu hewan melata pun di bumi kecuali sudah Allah tentukan rizkinya. Rizki itu selalu tau siapa empunya. Cuma manusia yang kadang resah, takut, dan gelisah tidak mendapatkan rizki. Padahal Allah sudah atur rizkinya. Tinggal bagaimana mereka beriktiar untuk mendapatkan rizki tersebut.
Materi khutbah siang ini ternyata punya kilas balik dengan kisah yang banyak dialami manusia selama pandemi, termasuk aku. Ayat 155 tentang ujian yang Allah berikan tadi adalah salah satu dari 4 ayat paporit yang sering kubaca kalau sedang sholat. Tiga ayat yang lain adalah anjuran untuk bangun malam dan mengerjakan sholat tahajud, karena sadar betul bahwa do’a seusai tahajud akan sangat mudah didengar oleh Allah. Surat kedua adalah tentang berbakti kepada kedua orang tua. Sungguh, ini ayat terberat yang aku baca ketika sholat. Kalau di rumah, aku pasti menahan air mata. Tidak mungkin aku menangis di depan Emak, Ibu, atau Bapak. Tapi sungguh surat ini adalah petunjuk bagi kita setiap anak agar berbakti kepada orang tua dalam bagaimana pun keadaannya. Bahkan, meski mereka meminta kita untuk menduakan Allah, kita harus tetap berbuat ihsan kepada mereka. Berat, berat sekali. Apalagi saat orang tua sudah memasuki usia lanjut dan kita satu persatu sudah meninggalkan mereka karena alasan pekerjaan, keluarga, dan lainnya. Semoga kita menjadi bagian manusia yang tidak menyia-nyiakan untuk berbakti kepada orang tua ketika mereka masih ada.
Rizki, tahajud, berbakti kepada orang tua. Serta yang terakhir adalah ayat akhir dari surat Al-Baqarah, dimana Allah tidak akan menguji kita kecuali sesuai dengan kemampuan kita. Di balik semua ujian hidup, merasa tidak berdaya, sedih karena derita, dan bahagia yang menjadi ujian adalah bentuk kasih sayang Allah. Bahwa Ia tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuan manusia tersebut. Kita sebagai manusia yang kadang kurang percaya terhadap apa yang disebutkan dan dijelaskan Allah.

Percaya sama Allah dan libatkanlah Allah dalam setiap keadaan agar hati menjadi tenang. Salah satu alasan kenapa rizki datang adalah karena keshalihan manusia. Serta, kenapa rizki suka pergi kadang adalah karena kita terlalu suka bermaksiat dan cinta dunia. Bahwa cinta dunia adalah pangkal dari segala kemaksiatan. Ah, Allah memang maha baik. Menghadirkan orang untuk memberikan rasa tenang meski sebenarnya hati sedang merasa hambar. Salah satu pesan khatib tadi adalah beradaptasi dengan setiap permasalahan hidup. Jangan langsung menghilangkan rasa sakit, tapi jadikan setiap rasa sakit sebagai ajang untuk belajar. Bahwa hidup ini adalah dua sisi proses sakit sehat, bahagia sedih, jatuh bangun, dan sebagainya. Agar kita tidak lupa bahwa sebenarnya nikmat terbesar adalah menyiapkan diri kita untuk menjemput rizki terbesar, yakni bertemu dengan Allah.

Kata Allah, walaupun kamu berlari untuk menghindari maut, tetapi rizkimu akan tetap hadir dan berlari kepadamu sekuat seperti engkau berlari untuk menghindari kematian. Yaa Allah, maafkan kami yang kadang terlalu ragu dan tidak sepenuhnya percaya kepadamu. Kami janji, bakal lebih belajar lagi arti mencitaimu sebagai segala-galanya dalam hidup.

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...