Selasa, 15 Maret 2022

Rasanya Jadi Perantau dan Perihal Jauh dari Rumah

Eh, gimana rasanya merantau? Seneng terus ya? Pasti gak banyak yang ngepoin hidup lo kan? Maksudnya hidup lo lebih bebas tanpa setumpuk aturan kalau misal lo tinggal di rumah.

Dan masih banyak lagi. Rasanya jadi perantau ya sama seperti hidup di dekat rumah. Ada suka dan ada duka. Suka banyak, duka pun tidak sedikit. Perihal pandangan orang lain tentang hidup di rantau yang bilang senang terus ya karena mereka belum merasakan sepenuhnya gimana hidup dan berusaha bertahan di kampung orang. Senang? Iya. Karena gak banyak yang ngurusin hidup, ngepoin atau ngejahilin. Tapi yang sirik dan nge hate juga tidak sedikit kok. Apalagi kalo lo berasal dari kalangan berpengalaman, berprestasi, dan ber ber lainnya. Udah pasti banyak yang gak suka. So many people outside there yang cuma ngelihat something yang nampak pake mata kepala doang. Misal kayak tiap bulan gajian, makan enak, belanja, jalan-jalan, dan banyaknya keistimewaan perihal tinggal di kampung orang dan bertahan dengan status ‘perantau’.

Mereka lupa. Bahwa di balik hidup sebagai perantau itu ada banyak duka yang tidak tampak. Uang habis akhir bulan dan bongkar celengan misalnya. Malu mau minta sama orang tua. Kalo lagi sakit udah bingung mau minta tolong sama siapa. Enak kalo di rumah, tiap sakit yang merhatiin stand by. Dimasakin. Kalau merantau gini itulah resiko paling berat. Belum lagi perihal jauh dari ortu yang selalu menjadi titik nadir terendah orang-orang perantau kayak kita. Apalagi yang rindu dan suka baperan kalo misal ingat ibu bapak yang udah duluan pergi ninggalin kita. Suka syahdu dan rindu dengan kelengkapan kedua orang tua. Tapi, perasaan menyesal mengapa lebih memilih mementingkan dunia dan karir ketimbang merawat mereka adalah penyesalan terbesar. Hari-hari dihantui rasa bersalah kenapa tidak bisa menjaga dan merawat mereka sampai tutup usia. Itu adalah sakit terparah untuk seorang perantau. Sesulit apapun perihal hidup, jauh dari orang tua adalah kesakitan terparah yang dirasakan seorang anak. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi perantau adalah perihal bertahan dan menjadi mandiri.

Bagi yang belum merasakan tidak akan pernah tau. Gimana sakit yang dirasa akibat setiap hari dihantui rasa penyesalan karena jauh dari orang tua. Bahwa merawat dan menjaga mereka hingga tua adalah perihal bakti. Bakti yang mungkin hanya sekali seumur hidup. Kalau sudah tiada, bakti pun tidak bisa berdiri. Dekat dengan mereka adalah perihal mendapatkan ridha dan restu untuk menjalani sisa hidup yang kita tidak tau sampai kapan. Kita juga tidak tau siapa yang akan duluan dijemput. Siapa yang duluan menemui ajal. Tuhan, aku merasakan sekali penyesalan tidak bisa berbakti kepada ibu bapak yang sudah lebih dulu pergi. Perihal harta bisa diusahakan, tapi kesempatan untuk bisa berbakti kepada kedua orang tua tidak akan datang dua kali. Dekat dengan orang tua adalah bakti. Jangan silau karena dunia yang masih terlalu kecil kau genggam hingga kau lupa siapa yang selama ini sudah paling berjasa menjadikanmu sampai seperti sekarang. Allah udah ngasih porsi rejeki masing-masing ya, entah itu dekat atau jauh dari orang tua. Tapi ingatlah, kita nggak selamanya sama mereka. Sayangi selagi ada. Banyak orang yang menangisi bapak ibu setelah mereka pergi. Dulu selagi ada, kenapa tidak disayangi dengan sangat agar hidup selalu dalam ridha dan kasih sayang mereka.

Jangan egois. Ada yang lebih berhak atas hidup kita yakni orang tua. Kalau mereka ridha, bahagialah hidup kita. Kalau mereka murka, tidak sejahtera nasib kita.

Jadi, gimana rasanya jadi perantau? Sedih senang bahagia. Banyak sedihnya karena jauh dari orang tua. Perihal jauh dari rumah adalah harus kuat menahan rindu. Harus kuat dengan masakan-masakan ibu. Harus kuat dikucilkan. Meski bagi sebagian orang, jauh dari rumah adalah lebih terhormat, lebih dipandang.

Dear Brothers and Sisters, kalau masih ada kesempatan untuk berbakti merawat dan menjaga mereka di hari tua, pulanglah. Agar kiranya penyesalan tidak bersarang di kepalamu dan hatimu hanya karena terlalu sibuk dan mencintai dunia yang tidak pernah ada habisnya. Sayangi mereka sebisamu, kalau nanti udah gak ada, baru terasa betapa hampanya hidup tanpa sapa dan kasih sayang mereka. Teruntuk yang ingin merantau, kuatkan hati. Hidup di rantau itu tidak seperti yang selama ini kau bayangkan. Ada banyak hal yang tidak menjadikan kita bahagia, apalagi perihal rindu akan senyum dan sapa orang tua. Uang bisa dicari, tapi kesempatan untuk berbakti kepada kedua orang tua yang tidak akan datang dua kali. Sayangi, cintai, bahagiakan ibuk bapakmu selagi masih ada. Penyesalan sering kali datang di akhir kisah yang pada akhirnya kita hanya bisa menyesal dan membayangkan sisa-sisa kenangan.

 Tuhan, luaskan kubur bapak ibu yang sudah mendahului kami. Mudahkan hisabnya, tempatkan mereka bersama orang-orang shaleh di sisiMu.

Teruntuk Ibuk bapak yang masih ada, semoga panjang umur. Sehat-sehat ya bapak ibu, sebentar lagi anak-anakmu pulang merayakan kerinduan. We love you bapak dan ibuk kami.

*Teruntuk yang bertanya gimana rasanya jadi perantau, nano-nano tak terkira. Perihal jauh dari rumah adalah kesiapan untuk setiap hari dihantam oleh rasa rindu yang tak terperi. Sedih luka tak bahagia.

 


Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...