Jumat, 14 Juni 2019

Males Dengan Kata Libur.


Dulu, sejak Alm. Bapak masih ada, aku paling nggak suka kalau sekolah libur. Kalau bisa sepanjang tahun, sekolah selalu masuk. Soalnya kalau libur tiba, Bapak pasti minta kami anak-anaknya ke kebun. Orang-orang kan libur itu liburan, kami kalau libur berarti berkebun. Disuruh macul, metik buah kopi, bersihin kebun, and so on. Sama Bapak, kalau libur sekolah, belajar ndak pernah ada kata libur. Tetap, wajib masuk kawasan meja belajar dan haram nonton tipi. Kalau ketauan bisa kena punishment, ngeri. Ingat banget jaman SD, pernah turun dari ranking 1 ke ranking 2, kena marah sama Bapak. Direpetin, diomelin. Pokoknya, Bapak mau anaknya yang nomor satu. Titik. Kebiasaan itu juga berlanjut ketika aku udah duduk di bangku SMP, di pondok. Orang mah dijenguk tiap minggu. Aku? Nggak. Kata beliau karena di pondok ada abangku, jadi dia aja yang nemanin. Beda rasa dong, Pak. Di jaman SMP juga aku paling males kalau ada libur, maunya di pondok aja sampe waktu hari minggu bulan tahun berlalu. Terus pernah juga dapat ranking 2. Sama lagi, sama Bapak dimarahin. Beliau concern banget kalau soal pendidikan. Pernah minta pindah ke pondok lain aja, aku ditawarin buat jadi petani. Zonk akutu.

Beda perlakuan pas jaman kuliah, Bapak udah sedikit mengerti kalau jadi mahasiswa itu ndak pake ranking, tapi pake IPK dan ndak ada IPK 100, paling tinggi 4. Haram ada IPK 4.01 🤣

Sebelum Bapak berpulang, sering banget beliau berkeinginan aku dapat IP 4. Susah banget buat dapat nilai sempurna, apalagi tugas-tugas jaman S1 membabi buta beranak pinak. 3.75 aja udah more than enough. Baru akhirnya di semester 6 bisa dapat IP 4 dan beberapa hari setelah itu Bapak berpulang. Ah, Bapak, mungkinkah itu kode alam? Pas jaman S1 juga sering ikut-ikut lomba gitu, kalau ndak juara 1 pasti Bapak agak kecewa. Suara beliau terdengar pelan di ujung sambungan telepon. Aku memaklumi itu. The most important thing, I push myself to the limit. Meski sering lomba-lomba nggak dapat juara 1. Sering juga dari SD sampe lulus kelas 3 MA dapat juara 1, tapi ekspresi Bapak datar-datar aja. Sering juga dapat juara umum di sekolah, Bapak diem aja. Aku kayak merasa tidak diapresiasi, dulu. Sekarang aku paham kenapa Bapak bersikap demikian. Bapak emang perfeksionis kelas tinggi. Beliau mau yang nomor 1 untuk anaknya. Hal itu yang menurun ke aku sekarang, sukanya perfeksionis. Kata orang-orang sih. Menurutku enggak. Aku cuma berpatokan pada satu hal 'berpihak pada kewajaran', more than that, slay beibeh. Oiya, sama satu lagi, kebiasaan ontime. Tepat waktu. Masih sampe sekarang, suka badmood kalau orang kurang bisa menghargai waktu.

Satu hal yang sering beliau yakinkan, tapi belum bisa aku iyakan. Sering beliau bertanya (nanti kalau udah jadi sarjana, kamu bakal jadi PNS kan Nak?). Aku diem aja. I don't know why, hati ini belum kompromi kalau disuruh jadi Abdi negara. Sampai saat ini, belum. Jadi pendidik aja, tapi ndak jadi PNS. Aku berdalih bahwa aku akan melanjutkan pendidikan, sampe derajat paling tinggi dan akan menjadi dosen. Aku juga pernah bilang kalau pengen jadi jurnalis internasional, biar bisa keliling dunia. Kata Bapak, emang nggak bahaya kalau jadi wartawan? Aku bilang enggak. Tapi tetap memilih sesuai passion, jadi pendidik. Meski tantangan luar biasa, tapi mengisi kepuasan batin. Sebab, aku percaya ketika Bapak sudah tidak ada, pahala ilmu yang bermanfaat dan do'a anaknya masih akan sampai dan mengalir pahalanya untuk beliau. Selalu aku do'akan Pak, semoga kuburmu luas dan diampuni segala dosa. Semoga suatu saat bisa melanjutkan sekolah lagi dan menjadi kebanggaan seperti yang Bapak inginkan. I always put you first, daddy. I just to make you are proud to have me. Insya Allah. Alfatihah.

*baru sekarang-sekarang aku suka dengan libur, bisa rebahan lebih lama. Sekarang sukanya liburan, bukan lemburan #eeeeh

Sabtu, 20 April 2019

Semesta Tidak Merestui Kita (3)

Kita pernah berjanji akan saling menemani bagaimana pun keadaannya. Menjadi peluk yang selalu mendekap saat sendu dan sembab. Penghangat dari setiap kesedihan yang kerap kali membuat gigil. Karena seperti yang kita pernah pahami, tak ada yang paling menenteramkan selain memiliki teman untuk berbagi penderitaan, itu benar bukan?
Kita pernah berjanji untuk selalu bersama. Saling mengisi kekurangan untuk menyempurnakan. Sampai akhirnya kau pergi tanpa pamit dan permisi. Menyisakan repih mimpi menjadi setumpukan abu dari catatan rencana yang tak jadi, kosong tak berbuih penuh ringkih. Yang manakala tersapu angin berlalu. Dan berembus hilang; terbang.
kita pernah merasakan kehilangan sesuatu yang bahkan tak sempat kita punya sebelumnya. Lalu menjadi pandir paling bodoh sedunia karena merasakan perih dari luka yang sebenarnya kita torehkan sendiri.
Meninggalkan mungkin mengenang
Meski tak sedalam yang ditinggalkan
Atau kadang beranjak ingin pulang
Kembali lalu datang
Atau justru betah dengan kesendirian
Karena sungguh mencinta
Namun dikecewakan
Tapi bukan perihal takdir
Ini titah alam yang kurang berkenan
Semesta belum merestui perjumpaan
Apalagi dalam menyatukan
Aku kamu menjadi kita
Adalah noktah hidup yang tertunda
Menjamah rasa yang pernah hinggap
Lalu hilang dibawa angin malam
Terbang.
Kadang,
Saat pagi kurasa sendu
Mengubur ratusan rindu
Hanya ada satu namamu
Meski diakhir peluk aku sadar
Bumi membentang dan ribuan orang datang
Berbisik semesta bukan milik kita.
Semesta tidak merestui kita
Sebab, jika dipaksa
Hanya akan menambah luka.

Selasa, 16 April 2019

Semesta Tidak Merestui Kita (4)

Kuakui, 
Tak ada yang lebih tabah
Selain rintik hujan di bulan ini
Lagi, datang dan lagi
Meski sudah jatuh berkali-kali
Ia tetap kembali tanpa ragu dan benci
Tanpa kenang dan sakit hati
Tak terlihat serpihan patah
Apalagi berserakan, tidak
Tidak akan. 
Tapi, aku berpikir ulang
Sebenarnya hujan itu turun bukan jatuh
Yang jatuh, aku
Berkali-kali di hatimu.
Mungkin begitu lebat hujan semalam
Hingga rasa rindu begitu menikam
Mendung hariku menyaksikan genangan 
Hingga sedih tinggal kenang 
Hingga kutatap wajah penuh duka
Berderai air mata dan kenang di hatinya
Hujan sore langit kelabu
Hingga sesak dan rindu
Ditinggalkan masih enggan berlalu.
Ketika petang malam
Membawa kenangan pulang
Hari mulai sepi
Saat hujan kembali menyapa bumi
Sembari duduk dan melepaskan
Setiap kenang untuk dilupakan
Hujan kembali syahdu
Memaksaku teduh di tepian waktu
Menghapus pertunjukkan masa lalu
Agar tidak kembali sendiri
Meronta sepi dalam dekapan sunyi.
Jalan mulai lenggang
Hujan pun menghilang
Hanya beberapa yang tinggal
Genangan kecil yang menjadi kekal
Kubiarkan tubuhku menikmati
Seakan sudah tiada lagi
Harap dan ingat untuk tidak pergi
Kini kembali menggigil sepi
Menikmati jalan cerita
Tentang aku, kamu, hujan dan semesta 
Yang tidak pernah merestui kita
Entah mengapa setiap hujan datang
Sesak kenangan akan kembali terulang.

Minggu, 14 April 2019

Semesta Tidak Merestui Kita (5)

Aku tak bisa marah ketika melihatmu menyerah
Memilih diam dan meninggalkan tapak lebam
Aku tak bisa marah saat melihatmu menyerah
Meredam sesesungukan sambil diam menahan tangisan.
Aku tak pernah bisa marah saat melihatmu pasrah
Pada kekuatan yang terlalu jahat menusukkan segala keburukan
Pada keadaan yang terlalu jalang untuk kita kendalikan
Pada hal yang harus mulai kita abaikan
Karena sudah tidak terlalu penting untuk dipedulikan
Demi semesta yang tidak merestui kita, 
aku tak pernah bisa marah
Saat kau memilih untuk bersembunyi membereskan sisa pertengkaran.
Aku tak pernah bisa marah karenamu selalu berbesar hati 
Pada akhirnya aku hanya mencaci diriku sendiri yang tak pernah berani marah di depanmu
Saat perjuanganmu yang sudah tidak lagi sama seperti dulu. 
Aku tak bisa marah
Jika kau berkenan, aku akan selalu menenangkan hatimu
Sebab hanya aku yang dapat melakukan itu untukmu. . 
Aku yang masih belum bisa marah kepadamu
Pada hati yang kini ringkih karena ditinggal pergi
Ingatan yang gaduh nan kini kian menjauh
Pada bibir yang selalu menahan mengeluarkan kata.
Aku (masih) tak bisa marah kepadamu
Untuk jejak kaki yang kini mulai beranjak
Pada segumpal wajah yang terlihat mengaduh dan bergejolak
Untuk setiap harap yang menyusup tiba-tiba
Sembari berdo’a dan kembali mencoba jatuh cinta
Semoga segera datang hujan yang membawa cinta
Agar kembali berdamai dengan semesta tanpa meninggalkan dendam
Dengan segala kerelaan agar tetap tegar tanpa rasa takut
Hingga bisa benar-benar kuat dan ikhlas melepaskan
Aku yang tak bisa marah karenamu adalah anugerah.
Aku yang tak bisa marah
Sebab tak mungkin aku mencacimu
Meski dunia dan seisinya tak pernah
Berpihak pada isi hati kita
Hingga, 
Tak mungkin kita menyalahkan masa
Berkenan lalu berpindahlah
Sebab aku tidak hina
Pun kau bukanlah caci maki dunia
Berpindahlah, 
Karena luka dan air mata bukanlah dagangan
Kita tidak perlu terlalu lama untuk dipamerkan
Seka air mata dan berpindahlah
Sebab dengan atau pun tanpa restu semesta
Kita berhak bahagia.
Ciptakan bahagiamu tanpa amarah ~

Semesta Tidak Merestui Kita

Tahun beranjak lalu
Menunggu padu penuh liku
Tiada suara yang datang menghampiri
Tertatih menanti, tiada yang pasti
Sebab, kamulah tegarnya liku juangku
Dadaku sesak hatiku mendidih
Mendapati rindu yang kian tumpang tindih
Pikirku meronta berharap kamu ada.
Debar jasadku menderu
Menanti jarak berganti temu
Bayangmu terukir
Tergambar semakin jelas dalam pikir
Kapankah akan usai?
Rinduku kembali terhalang jarak
Menguntai lelahku ikuti titik semu
Kamu tetap sama
Belum menjelma menjadi nyata.
Akankan semesta mempertemukan?
Tak sedikit kata ingin kuucap
Namun semesta belum merestui kita
Tak sedikit rindu ingin kuredam
Namun semesta merestui untuk berjarak
Sering kudengar kabar dari hujan
Dan irisan luka dari alam
Semesta belum menghampiri kita
Aku yang merasakan
Kamu hanya hidup dalam angan
Berharap semesta menyatukan
Tapi mungkin kau paham
Dipertemukan bukan dibersamakan.
Rindu memang boleh kau pendam
Tapi hati jangan terbagi menjadi dua
Cinta terlalu rumit dipahami manusia
Entah ingin kemana dan harus mengapa
Harusnya rasa ini pernah berlabuh
Namun biarkan namamu mengudara
Bersama do'a semesta
Dengan cara yang tidak dapat diterka.
Cerita yang begitu singkat dan sekejap
Waktu itu ketika 
Retina kita saling tatap tanpa sengaja
Rupanya, kita hanya sebatas pernah
Hingga akhirnya, 
Kita harus benar-benar menerima
Bahwa aku dan kamu
Takkan pernah menjadi kita.
Aku harus mengerti,
Semesta belum jua merestui. 
Semua rasa memang harus berhenti
Sebab bertemu bukan untuk bersama 
Kau harus tahu dan memahami
Semesta tidak merestui kita
Jika dipaksa, 
Hanya akan menambah luka.

Kamis, 11 April 2019

Semesta Tidak Merestui Kita (2)

Gerimis kecil pertama
Yang kuartikan sebagai sebuah pertanda
Mulanya, denganmu
Dengan berani kupastikan bahwa 
Semesta dan restunya telah menitipkanmu 
Semesta jua yang izinkan kita bertemu
Lalu saling tatap tanpa pilu
Namun pisah berjeda jarak tanpa ragu
Pada gerimis kecil pertama aku belajar
Tentang sebuah kata rela melepaskan
Kau pamit, aku berbalik
Lagi, belajar pada gerimis kecil kedua.
Kita adalah hujan dan terik
Bersama tanpa bisa saling memiliki
Cintaku terpaku pada hujan
Sedang kau lebih memilih terik
Padu tapi susah dipersatukan
Semesta kerap kali berjarak
Kita belum bergerak 
Tetap diam pada ingin dan angan
Sebab apalah arti sesal
Jika kita tetap pada dimensi sama
Tanpa pernah ada restu semesta 
Kita tetaplah dua insan yang gagal. 
Tentang aku dan kamu
Yang seharusnya semesta merestui kita
Bukan berakhir pada pandir dan luka.
Lalu kau dan aku satu-satu
Melepas kepergian tanpa temu
Mencipta raung deru tangis pilu
Tiada akhir tiada habis
Mengeruh gemuruh langit mengiring
Mengingat selepas kepergian 
Ialah kenang dan linang
Sepi dan rindu tumbuh kian panjang
Ialah dekap harap
Hingga airmata meluap-luap.
Selepas kepergian
Nyaman tak lagi memekarkan
Ingatan bukan lagi tentangmu
Yang pernah datang 
Lalu menumbuhkan perasaan 
Tapi hujan tetap mengingatkan 
Kita butuh waktu untuk sekedar singgah
Kembali atau menunda sebuah pergi
Tetaplah seperti dahulu kala
Jatuh cintalah pada apa-apa
Yang menjadi penyebab bagimu
Jika kau tak temukan aku
Ragamu takkan hancur direnggut sepi
Dahulu sekali, 
Diantara kedatangan dan kepergian 
Kita pernah saling merasa
Begitu takut kehilangan 
Meninggalkan dan ditinggalkan
Tapi, kita harus memahami
Semesta tidak merestui kita
Jika dipaksa, 
Hanya akan merestui dan menambah luka.

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...