Dua bulan terakhir adalah hari-hari panjang yang cukup berat dalam hidupku.
Wajahku sering mengernyit saat duduk sendiri. Sisi malaikatku seperti berontak
dengan apa yang aku jalani. Rasanya seperti ditampar peringatan yang jelas
memojokkanku. Hatiku teriris tak terbilang, entah sudah berapa kali aku menderu
menangis mengingat apa yang sudah terjadi. Aku sadar dengan kesalahan yang aku
lakukan, tapi logikaku tak bisa menerima jika aku harus berpaling. Aku bisa
dengan mudah mengganti perasaan sedihku dengan senyum sumringah saat bertemu dengannya. Sosok lelaki yang sudah
berkali-kali membuat hatiku patah. Berkeping-keping tak terhingga, hingga aku
lupa bagaimana sakit hati yang sesungguhnya. Aku ingin berteriak mengungkap
kebenaran setiap kali bertemu dengannya, namun sikapnya membuatku tak bisa
berkata apa-apa. Ia bisa hadir dengan ketenangan yang membuai dan membuatku
lupa akan sisi kebenaran yang diilhami Tuhan.
Memaafkan? Ya, itulah yang selalu aku lakukan untuk berdamai dengan hati
dan perasaanku. Meski aku tak rela tiap kali aku melihatnya bersama yang lain.
Air mataku bisa menganak sungai jatuh tak tertahankan jika melihatnya berjalan
berdampingan dengan wanita lain. Aku bahkan tidak rela jika ia jauh dariku
walau itu untuk urusan pekerjaan. Aku bisa begitu cepat berubah, hatiku seolah
tercabik-cabik jika ia pergi dengan yang lain. Sungguh, aku tak bisa jauh
darinya, tanpanya hariku akan berlalu begitu hampa. Aku tak ingin ia membagi
perhatian dengan yang lain, meski itu akan sangat berat. Aku ingin ia hanya ada
untukku, menemani hari-hariku berlalu, tanpa ada mata lain yang melirik dan
mengganggu kebahagiaanku. Kadang aku juga merasa menjadi manusia yang paling
kotor saat bertemu dengan Tuhanku, aku lupa bagaimana mencintai sang pencipta
dengan benar. Aku tak ingat bagaimana menjadikan Tuhan nomor satu dalam
hidupku. Karena hatiku sudah terkunci oleh satu cinta, cinta seorang lelaki
biasa yang bisa membuatku nyaman, merasa diperhatikan, hingga aku lupa jika aku
punya Tuhan.
Saat aku merasa cemburu dengan sikapnya, kadang aku merasa lega karena aku
memiliki kesempatan untuk menjauh darinya. Ada sedikit rasa sakit, namun aku
sadar bahwa kehidupan akan terus berjalan. Aku berusaha melupakan, aku mencoba
melanjutkan kehidupanku, memulai semua dengan awal yang baru. Bisa ingin bisa
bernapas seperti biasa, tanpa ada sesak di dalam dada yang membuat hatiku terus
terluka.
“Maafkan aku Nayla, jika sikapku padamu menjadikanmu begitu terpukul dan
terluka,” Gagah mendekatiku. Ia terus berdiri di sampingku, menanti jawaban
yang akan aku ucapkan padanya. Ada kesedihan yang tersirat di wajahnya.
“Bukankah aku telah mengatakan padamu untuk tidak menyakitiku lagi Gagah?”
“Jangan membuat keadaan ini semakin rumit Nayla,” ucap Gagah. Bibirnya
bergetar, dan untuk sesaat, aku melihat kepedihan terpancar dari wajahnya. Ada
balutan penyesalan yang berbinar di wajah lelaki yang kucintai itu. Wajah putih
bersih yang biasa aku pandang, bisa berubah menjadi begitu murung dalam tatapan
luka. Saat itulah aku memahami, ia sungguh mencintaku. Meski aku tak kuasa
menyembunyikan sakit hatiku saat ia dihampiri wanita lain.
“Aku tidak mengerti bagaimana seharusnya aku bersikap kepadamu. Aku tidak
mungkin menghindari teman-temanku untuk mengobati rasa cemburumu Nayla.” Aku
memaksa mataku menatap Gagah, namun kepalanya tertunduk, aku sadar bahwa
sikapku sering membuatnya terluka. Tapi aku belum bisa menerima jika ia harus
berbagi perhatian dengan yang lain. Aku memang saat mengharapkannya, meski
sudah tak terhitung berapa banyak ia membuat hatiku patah. Patah
sepatah-patahnya.
“Aku menyesal atas semua kelakuanku Nayla, maafkan aku.” Kalimat terakhir
yang ia ucapkan membuatku terbang tinggi melayang. Mengitari angkasa luas dan
berbisik pada dunia bahwa aku bahagia ia datang dengan cinta. Bergumam dalam
hati bahwa aku takkan melepaskan Gagah. Aku belum bisa jika harus hidup
tanpanya. Meski aku lupa jika aku bertuhan, jika aku menjauhi penciptaku.
Curahan hujan membasahi jendela kamarku. Siang itu aku menyaksikan Gagah
kembali hadir dengan sejuta cinta untukku. Cinta yang telah membius semua
sisa-sisa hariku hingga aku tak lagi menjadi manusia yang taat saat bertemu
Tuhan, aku hanya mengingat Tuhan seadanya. Hubunganku dengan sang pencipta tak
seindah dulu. Gagah telah merenggut semua kedekatan itu. Ialah sosok yang
menjadikanku lupa dan menjauh dari firman Tuhan. Meski aku terlihat begitu
mesra datang mendekat saat Gagah menjadi alasan untuk semua kepalsuan itu. Aku
bukan mesra saat mengingat Tuhan, aku mesra karena Gagah, aku mesra karena
hatiku sudah terpikat sepenuhnya oleh cintanya.
Saat hatiku sudah terbiasa menikmati indahnya cinta yang diberikan Gagah,
ia kembali menghancurkan hatiku. Hanya dengan alasan sederhana, aku bisa
menjadi begitu marah padanya. Aku tak kuasa mendengar Gagah berucap bahwa ia
merindukan teman lamanya. Aku terdiam, tidak ingin membalas apapun ucapannya.
Aku membenamkan kepalaku di atas meja, menekan keningku hingga ke lutut. Aku
ingin ia pergi jauh, aku ingin memejamkan mata lebih lama. Aku ingin ia
berlalu, aku ingin Gagah berhenti mengusikku. Aku ingin kehidupan yang baru.
Memulai kisah tanpa luka dan air mata. “Aku ingin kau menghilang, menjauh dan
tak perlu lagi mengganggu hidupku. Aku ingin kau pergi!” Aku membentaknya.
Kuharap ia membalas amarahku saat itu juga. Memutuskan segalanya dan
memaki-maki diriku, hingga aku bisa lebih mudah melepasnya, mungkin itu akan
lebih baik.
Tapi Gagah tidak membalas ucapanku. Ia diam dan tertunduk di depanku. Aku
merasa kesal karena ia mencoba memperbaiki hubungan kami. Ia menatap wajahku,
meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuatku menangis lebih lama. Ia
juga berjanji akan berusaha menjadi lelaki yang lebih baik untukku. Aku
menjatuhkan diri di atas pangkuannya, aku menangis, aku sungguh mencintai
Gagah. Meski terlalu sering hatiku patah dibuatnya, itu adalah patah hati
terindah. Gagah mencintaku, ia amat mencintaiku. Gagah lelaki terindah yang
hadir menemani hidupku dengan sejuta cinta.
Setelah kejadian itu, aku selalu menghabiskan waktuku bersama Gagah. Tak
sehari pun detak detik yang kumiliki berlalu tanpanya, aku terbius oleh sukma
cinta agung yang ditularkan Gagah padaku melalui sikapnya. Aku mencintainya
tanpa logika, Gagah adalah alasanku satu-satunya untuk bahagia. Meski kini aku
jauh terasing dari sang pencipta, meski sisi malaikatku terus berteriak
memintaku kembali. Aku akan menikmati hari berlalu bersama Gagah. Lelaki yang
telah membuatku merasakan patah hati terindah dalam sisa perjalanan hidupku.