Sabtu, 13 Januari 2018

Derita Cinta Dua Benua; Jakarta dan Eropa

Aku tak tahu bagaimana lagi harus mengungkapkan rasa ini. Sebuah perasaan yang sudah sangat lama kupendam rapi di dalam dada. Meski tak seorang pun yang sadar dan mengetahui isi dalam sanubariku, namun namanya tetap rapi berada di sana. Tak pernah lelah aku berharap agar ia mengerti bahwa aku sungguh mengagumi dan mencintainya. Aku sangat berharap ia menjadi kekasih terbaik dalam balutan kisah kasih yang pernah kutulis selama aku hidup di dunia.
Adalah seorang wanita berambut panjang, berwajah tirus, dan berhati lembut yang telah mengambil simpatiku dalam kurun waktu yang begitu lama. Ia bagaikan cahaya yang datang dan mendekatiku dengan segala pesona yang terpancar. Jika memang sinar itu adalah milikku, aku akan sangat bahagia. Menatap wajahnya berlama-lama, melihat ia tersenyum mesra adalah sebuah kebahagiaan dalam hidupku. Bahagia tiada tara, begitu aku menyimpulkan segalanya.
Namanya Kara, sosok bidadari yang selalu hidup dalam pikiran dan menjadi temanku menjalani sisa-sisa hidup ini. Dara yang kini sedang berada di Sakarya dan berkutat dengan setumpuk kertas-kertas putih demi menata dan menjemput masa depan yang lebih baik. Aku begitu terkesima dengan pesonanya. Tak pernah henti dalam sujud aku berdoa agar Tuhan meluluhkan hatinya dan mau menerimaku menjadi lelaki yang paling beruntung di dunia karena memilikinya.
Bertahun-tahun aku menyembunyikan semua kagum dan rasa yang bersemayam di dalam tubuhku. Tak terhitung sudah berapa lama aku diam dan hanya mencintainya dari jauh. Enggan berkata jujur karena aku takut ia tidak menerimaku. Aku memilih untuk mencintainya dari jauh dalam diam meski tak jarang air mataku harus jatuh karena melihatnya dengan yang lain. Entah dengan siapa, namun aku masih tak kuasa jika melihatnya bersanding dan memilih jiwa lain selain aku.
Dengan lapang dada aku menerima semua omongan orang lain tentang nasib cintaku. Cinta yang tak kunjung tersampaikan bahkan harus menjadi derita karena terhukum jarak yang tak biasa. Bagaimana aku bisa jujur berkata bahwa diri ini mencintainya, sedang ia begitu jauh berada di bumi para penakluk dunia. Ya, kini ia sedang berada di Eropa. Aku selalu menjadi manusia yang paling bahagia jika memikirkannya, namun dalam satu waktu semuanya hancur saat aku sadar ia bukan siapa-siapa dalam catatan takdir cintaku.
“Semoga dia bisa menjaga hati dan pandangannya di sana ya Rayyan, karena jarak ini masih menjadi halangan buatku untuk berkata jujur padanya.”
“Dia itu siapa? Kamu punya seseorang yang selama ini menyusup ruang rindumu, Ayyas?”
“Ah, barusan aku bilang apa? Salah ngomong ya?”
“Salah ngomong gimana? Kamu aja nggak pernah jujur sama kami. Gimana kami bisa tau kisah kasih asmaramu Ayyas?” Rayyan menjawab sambil menyerngitkan dahi tanda tak setuju dengan apa yang baru aku katakan padanya.
Ya, begitulah drama cinta ini kurangkai hingga sudah lebih dari delapan tahun aku kuat menyembunyikan semuanya. Kadang aku mencoba untuk jujur dengan menyatakan semua kebenaran yang sudah sesak di dalam dada. Tapi, aku takut ada yang terluka karena pesona wanita yang kupilih itu telah mampu menghipnotis banyak manusia di sekitarku. Bahkan, tidak hanya aku, ia memiliki belasan atau mungkin puluhan jiwa lain yang berharap sama sepertiku. Sama-sama ingin memiliki Kara.
Detik berlalu, menit berganti, bulan berputar dan waktu takkan pernah kembali. Aku tak mungkin mengatakan itu sekarang padanya. Saat ini yang mampu kulakukan adalah terus berdoa dan mencoba memangkas segala rindu yang datang mendekat. Meski tak jarang benih rasa itu menimbulkan sakit dan melenyapkan keinginan untuk menjadi yang terbaik baginya.
Laksana langit dan bumi, kami terlihat asing. Terpisahkan oleh jarak yang tak memiliki kekuatan untuk memiliki satu sama lain. Meski kau jauh dan tak mengetahui apa isi hatiku, biarkan aku setia menjadi langit yang akan selalu menatapmu dari jauh. Seolah menjagamu agar terhindar dari panas dan bisingnya dunia yang hingga saat ini belum bersahabat dengan kisah cinta kita.
Saat senja menjadi saksi bahwa segenap rasa yang kumiliki ini adalah derita, aku akan berdiri tegak menyaksikan seluruh sikap dan pesona anggunmu. Ketika rintik gerimis mulai datang menyapa dengan sempurna, biarlah kususun ulang setiap hasta rasa rindu yang kupunya. Hingga nanti, saat aku tersadar bahwa aku ini hanya lelaki yang bisa menjadikanmu wanita yang kukagumi dari deretan langkahku yang masih tersisa. Adakah aku salah jika melangkah maju dan mengagumi setiap keanggunan sikapmu itu?
Biarlah kesabaranku menjadi detakan berbeda dari seribu harapan yang pernah terucap. Menjadi benih derita dari penantian tentangmu. Maafkan aku, jika memang rasa ini salah. Biarlah ia menjadi saksi kisah cinta dua insan yang salah dalam berujar tentang rasa, rindu, dan lisan yang tak kuat untuk berkata jujur. Biarlah nyawa cinta itu tetap abadi dalam genggaman sang pencipta, hingga nanti saat musim berganti. Biar kutitipkan rindu pada angin yang melewati dinding jarak yang takkan terungkap. Karena kita kini tersekat dua benua, aku di Jakarta dan kau kini berada di Benua Eropa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...