Kamis, 16 Maret 2023

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkungan yang menjunjung tinggi pendidikan. Tidak main-main kedua orang tuanya jika sudah bercerita perihal pendidikan. Perjuangannya untuk bisa sekolah, beda dari siswa-siswa lain. Ia harus menempuh waktu 45 menit berjalan kaki untuk bisa sampai di tempat transit sebelum ke sekolah. Di tempat transit, ia mandi dan bebersih diri dan mempersiapkan barang dagangannya. Begitu terus setiap hari selama ia sekolah. Jika siswa lain di sekolah bermain saat istirahat, ia harus berjualan. Akhir pekan, saat orang liburan, ia harus ke kebun. Sampai akhirnya ia memilih untuk melanjutkan sekolah ke pondok pesantren.

Di buku diary nya, ia selalu menulis ingin menjadi seorang Apoteker. Tapi keberuntungan dan restu alam belum berpihak padanya. Sejak duduk di kelas 2 SMP, isi buku catatan penting hariannya hanya tentang Apoteker, Apoteker, dan menjadi Apoteker. S.Farm, Apt. butuh waktu lama untuk bisa beranjak pergi dari kelamnya hidup dan keberuntungan yang masih jauh darinya. Tapi ia bisa. Hingga ia berusaha untuk mengejar cita-cita yang lain menjadi seorang dokter dan pilot. Mungkin kebun Bapak adalah harta berharga yang harus hilang lagi jika ia menjadi seorang dokter atau pilot. Uang habis tidak sedikit untuk profesi itu. Lagi-lagi, Gadjah Mada adalah pilihan untuk melanjutkan kuliah kedokteran. Tapi, restu semesta belum lagi ia terima. Apoteker tidak jadi, dokter dan pilot pun bukan rejeki.

Mencoba menuliskan risalah cita-cita lain menjadi Enginer di Teknik Industri UIN Suka Yogyakarta. Sudah diterima, sudah bersiap berangkat, tapi tidak ada restu orang tua. Setelah setahun, akhirnya move on ingin menjadi pendidik, tapi hanya sebentar dan tidak sepenuh hati, pergi, lagi. Niat hati ingin menjadi seorang SKM pun kemudian tidak berhasil sebab mungkin Bapak punya alasan tersendiri menjadi kompas masa depan untuk anak-anaknya. “Coba kamu sabar sebentar, nanti kamu bisa ikut pendidikan Pilot”. Harus berdamai dengan semesta dan pinta orang tua. Melepas segala gundah hati karena mungkin merasa tertinggal dari rekan seperjuangan, akhirnya ia memilih untuk melanjutkan pendidikan sesuai pinta orang tua. Duduk manis di bangku ketiga dekat jendela untuk menikmati santap pagi, siang, dan santap malam bersama buku-buku ilmu sosial dan politik. Ngantuk, seperti menyerah, dan tidur bersandar ke jendela. Nilainya memang tidak jelek, tapi hanya masih di Farmasi. Ah, susah sekali ya bisa move on.

Di semester ketiga, bapak akhirnya menawarkan kembali untuk pindah ke jurusan Farmasi sesuai keinginannya. Ia menolak, sudah terlalu banyak waktu dan biaya yang hilang. Himpitan masalah perkuliahan, tidak punya laptop, pinjem temen supaya bisa nugas selama setahun, dan kesana kemari jalan kaki. Kuliah sambil berjualan juga sudah. Long story short, ia lulus di jurusan yang direstui orang tuanya. Tidak sampai 4 tahun sudah menjadi sarjana. Belum memegang ijazah, tapi pekerjaan sudh datang menghampirinya. Dengan segala drama hidup dan jatuh bangun yang sudah berhasil dilaluinya. Kuliah S1 yang hampir menyerah karena Bapak pergi, diminta pulang karena terbentur masalah biaya. Dan masih banyak lagi tekanan hidup yang sudah berhasil ia lalui. Resign dari pekerjaan pertama karena bukan panggilan hati meski banyak yang tidak menyukai. Tapi inilah hidup. Ia akhinya bisa selesai S2 dengan bantuan orang-orang baik yang ada di sekitarnya. Menikmati sekali kuliah dari S1 hingga S2 berjalan kaki, pake ontel pinjem Bapak kos, sampai bisa dapat kerja dan membiayai hidup sendiri.

Dari banyaknya drama hidup dan tumpahan air mata, sosok itu kini meyakinkan diri untuk menjadi dosen dan bekerja sebagai Sekretaris di Kantor Urusan Internasional. Dua cita-cita yang sudah bisa menggantikan posisi ‘apoteker’ di hatinya.

Kenikmatan hidup perlahan di dapat. Ketika menginginkan sesuatu, mungkin kelihatan indah. Tapi saat sudah mendapatkannya, ternyata biasa saja. Tapi hargailah perjuanganmu untuk bisa sampai di titik itu.

Sedari kecil sudah banyak sekali kisah hidup yang bisa bikin kesabaran teruji, tapi tidak untuk menyerah kan? Ada ujian artinya mau naik kelas. Kalau dulu sosok itu menyerah, mungkin sekarang dia tidak akan menjadi apa yang ia inginkan. Baiknya semesta, selalu ada memberikan semangat untuk bisa terus bertahan sampai titik darah perjuangan itu habis.

Jangan menyerah, sapa sakitmu, biarkan rasa sakit itu istirahat. Ia juga butuh waktu untuk bisa sembuh kembali. Yakinlah, selalu ada hal yang bisa disyukuri di dalam hidup, meski tidak semua bisa kita miliki. Lihat sudah berapa banyak ribu langkah kakimu untuk bisa mendapatkan apa yang engkau miliki sekarang. Lihat lagi rekam jejak kisah masa lalu. Jangan menyerah ya. Istirahat saja dulu, semoga sakitmu lekas sembuh.  

 

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...