Mentari baru saja naik menapaki satu persatu ruang
yang harus ia lalui. Ratusan rindu ini masih saja duduk manis menatapku. Ia
enggan berlalu meski sebentar, karena ia tahu pemilik rindu ini adalah kamu. Bagaimana
harus menghindar jika selama ini justru rindu dan hatiku tak mungkin bisa
menduakanmu. Meski sudah mencoba tegar dan kuat untuk bisa menjauh, bayanganmu
selalu saja hadir di barisan nomor satu. Kau terlalu kejam membiarkan hati ini
menangis dan menjerit mengingat semua memori tentangmu.
Kemarin kau datang dan bertanya sejenak tentang
kabarku, lalu kau pergi jauh entah kemana. Menghilangkan semua harap yang sudah
kutulis indah dalam sanubariku. Dalam satu lini masa kau menghilang, tak lama
berselang kau kembali. Begitu terus kelakuanmu, hingga sudah hilang semua
rasaku untuk bisa mengharapkan masa depan bersama sosok sepertimu. Rindu akan
hadirmu menyisakan banyak sesak dalam dada ini. Jiwaku sudah terlanjur terkunci
oleh kasih sayang yang pernah kau tanam dalam-dalam di dalam tubuhku.
Jika aku boleh jujur, seharusnya sudah lama
posisimu tergantikan oleh yang lain. Namun, aku bisa apa? Yang tersisa adalah
bibirku yang masih setia mengeja satu persatu huruf namamu. Meski kau tak mengingatku,
aliran air mata ini sudah kuikhlaskan hanya untuk meratapimu. Aku sudah
terhimpit dengan derasnya rindu dan jarak yang menjadi sekat.
“Kau kenapa Difa, mengapa kau termenung begitu
lama? Apa yang kau pikirkan?”
“Tidak Via, aku baik-baik saja. Aku hanya butuh
waktu untuk duduk sendiri sepertinya.”
Via teman karibku selalu mengerti mengapa aku
betah lama-lama duduk di bawah pohon rindang sambil menikmati waktu demi waktu
berlari. Aku lebih suka ditemani fajar yang menyingsing, duduk dan menatap sekelilingku
sambil memainkan pena yang kupegang. Sesekali kutuliskan beberapa kalimat
tentangnya, tentang rindu, tentang rasa yang menghujam jantungku, tentang
jeritan rindu yang belum terbayar lunas. Aku sangat merindukan dia.
Via berlalu, ia meninggalkanku di halaman rumah
yang luas ditanami pepohonan besar dan gagah. Pepohonan itu seolah menjadi
saksi hari-hariku berlalu dengan wajah murung, senyum simpul yang kadang
kurangkai saat menerima kabar darinya, juga sering mereka menjadi saksi akan
sakitnya hati yang terjangkit rindu bertumpuk yang semakin hari semakin
bertambah dan semakin melukai hati.
“Maafkan aku Difa, aku sangat sibuk akhir-akhir
ini hingga kadang lupa untuk sekedar memberimu kabar bahwa aku di sini
baik-baik saja.”
Lalu semua sesak yang tersimpan di alam tubuhku
berubah menjadi bahagia. Ia memberikan kabar dan meminta maaf padaku. Tepat di
persimpangan jalan saat aku berjalan menuju stasiun itu, aku menjadi manusia
paling beruntung sedunia. Kedua mata ini seolah tak lelah dan bosan menatap
layar handphone dan membaca isi
pesanmu itu. Aku yakin kau telah sadar bahwa di sini aku masih menunggumu
dengan hati yang takkan pernah lari. Aku akan terus menantimu kembali hingga
wajahmu tepat berada di depanku dan kita akan berjalan bersama seperti
dulu. Meski dihantam gerimis, aku takkan berhenti menantimu.
***
Ternyata aku memang cukup bodoh untuk menantimu. Berbulan-bulan
kau tak pernah lagi mengabariku. Aku merasa semakin malu, saat tak satu pun
dukungan dari orang terdekat kudengarkan. Aku justru lebih memilih dan setia
menantimu. Manusia yang sudah mengunci hatiku dengan ucapan dan rasa yang kau
berikan. Kau yang telah membuat hati ini menjerit. Menahan terhimpit oleh
jeritan rindu yang sudah begitu lama menyiksa hariku. Selangkah kucoba
berpaling dari mengingatmu, kau tak kunjung hilang. Dirimu kini semakin menjauh dan
menjadikanku merasa asing untuk bisa bertahan lebih lama denganmu.
Setiap senja kuhabiskan waktu untuk menikmati alam
dengan hati yang terbata-bata. Mencoba meninggalkan satu persatu mimpi yang
pernah ada. Menulis kata demi kata untuk memberikan ruang di hati ini demi
sejarah hidup baru. Aku menatap langit yang menjadi saksi bahwa air mata ini
mengalir begitu deras saat mengingatmu. Tak bisakah kau sedikit memahami apa
isi hati ini?
Mungkin takdir cinta yang membawaku terbang jauh
dari angan masa lalu. Kini aku hanya bisa mengagumimu dari jauh. Sebab benih
cinta yang datang terlalu lama dan masing-masing lisan kita yang takut
untuk berucap tentang rasa. Andaikan dulu kita saling berani untuk berucap,
pasti derita rindu ini takkan seperih yang kurasakan sekarang. Ah, mengapa
harus berandai-andai? Sedang kau terus menjauh dengan membawa beberapa kepingan
rasa yang sudah kutitipkan tepat di hatimu.
Meski kita takkan bertemu dan menjalin kasih
seperti yang kumau, rasa ini akan tetap meleleh dan mencampakkanku hingga jauh.
Terpaksa kuseka mataku saat ia menangis kala mengingatmu. Mencoba melupakan bayang
wajahmu, senyum manismu, kata-kata indah yang sering kau ucapkan padaku.
Biarlah aku begini, menjadi teman senja dan menitipkan rinduku pada angin yang
berlalu. Menatap langit biru sambil menikmati jeritan rindu dan menghitung
akankah suatu hari jarak ini mempertemukan kita. Meskipun berat menyimpan
rinduku padamu, biarlah kau menjadi melodi indah dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar