Sabtu, 13 Januari 2018

Rindu Ini Masih Tentangmu

Mentari baru saja naik menapaki satu persatu ruang yang harus ia lalui. Ratusan rindu ini masih saja duduk manis menatapku. Ia enggan berlalu meski sebentar, karena ia tahu pemilik rindu ini adalah kamu. Bagaimana harus menghindar jika selama ini justru rindu dan hatiku tak mungkin bisa menduakanmu. Meski sudah mencoba tegar dan kuat untuk bisa menjauh, bayanganmu selalu saja hadir di barisan nomor satu. Kau terlalu kejam membiarkan hati ini menangis dan menjerit mengingat semua memori tentangmu.
Kemarin kau datang dan bertanya sejenak tentang kabarku, lalu kau pergi jauh entah kemana. Menghilangkan semua harap yang sudah kutulis indah dalam sanubariku. Dalam satu lini masa kau menghilang, tak lama berselang kau kembali. Begitu terus kelakuanmu, hingga sudah hilang semua rasaku untuk bisa mengharapkan masa depan bersama sosok sepertimu. Rindu akan hadirmu menyisakan banyak sesak dalam dada ini. Jiwaku sudah terlanjur terkunci oleh kasih sayang yang pernah kau tanam dalam-dalam di dalam tubuhku.
Jika aku boleh jujur, seharusnya sudah lama posisimu tergantikan oleh yang lain. Namun, aku bisa apa? Yang tersisa adalah bibirku yang masih setia mengeja satu persatu huruf namamu. Meski kau tak mengingatku, aliran air mata ini sudah kuikhlaskan hanya untuk meratapimu. Aku sudah terhimpit dengan derasnya rindu dan jarak yang menjadi sekat.
“Kau kenapa Difa, mengapa kau termenung begitu lama? Apa yang kau pikirkan?”
“Tidak Via, aku baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu untuk duduk sendiri sepertinya.”
Via teman karibku selalu mengerti mengapa aku betah lama-lama duduk di bawah pohon rindang sambil menikmati waktu demi waktu berlari. Aku lebih suka ditemani fajar yang menyingsing, duduk dan menatap sekelilingku sambil memainkan pena yang kupegang. Sesekali kutuliskan beberapa kalimat tentangnya, tentang rindu, tentang rasa yang menghujam jantungku, tentang jeritan rindu yang belum terbayar lunas. Aku sangat merindukan dia.
Via berlalu, ia meninggalkanku di halaman rumah yang luas ditanami pepohonan besar dan gagah. Pepohonan itu seolah menjadi saksi hari-hariku berlalu dengan wajah murung, senyum simpul yang kadang kurangkai saat menerima kabar darinya, juga sering mereka menjadi saksi akan sakitnya hati yang terjangkit rindu bertumpuk yang semakin hari semakin bertambah dan semakin melukai hati.
“Maafkan aku Difa, aku sangat sibuk akhir-akhir ini hingga kadang lupa untuk sekedar memberimu kabar bahwa aku di sini baik-baik saja.”
Lalu semua sesak yang tersimpan di alam tubuhku berubah menjadi bahagia. Ia memberikan kabar dan meminta maaf padaku. Tepat di persimpangan jalan saat aku berjalan menuju stasiun itu, aku menjadi manusia paling beruntung sedunia. Kedua mata ini seolah tak lelah dan bosan menatap layar handphone dan membaca isi pesanmu itu. Aku yakin kau telah sadar bahwa di sini aku masih menunggumu dengan hati yang takkan pernah lari. Aku akan terus menantimu kembali hingga wajahmu tepat berada di depanku dan kita akan berjalan bersama seperti dulu. Meski dihantam gerimis, aku takkan berhenti menantimu.
                                                                        ***
Ternyata aku memang cukup bodoh untuk menantimu. Berbulan-bulan kau tak pernah lagi mengabariku. Aku merasa semakin malu, saat tak satu pun dukungan dari orang terdekat kudengarkan. Aku justru lebih memilih dan setia menantimu. Manusia yang sudah mengunci hatiku dengan ucapan dan rasa yang kau berikan. Kau yang telah membuat hati ini menjerit. Menahan terhimpit oleh jeritan rindu yang sudah begitu lama menyiksa hariku. Selangkah kucoba berpaling dari mengingatmu, kau tak kunjung hilang. Dirimu kini semakin menjauh dan menjadikanku merasa asing untuk bisa bertahan lebih lama denganmu.
Setiap senja kuhabiskan waktu untuk menikmati alam dengan hati yang terbata-bata. Mencoba meninggalkan satu persatu mimpi yang pernah ada. Menulis kata demi kata untuk memberikan ruang di hati ini demi sejarah hidup baru. Aku menatap langit yang menjadi saksi bahwa air mata ini mengalir begitu deras saat mengingatmu. Tak bisakah kau sedikit memahami apa isi hati ini?
Mungkin takdir cinta yang membawaku terbang jauh dari angan masa lalu. Kini aku hanya bisa mengagumimu dari jauh. Sebab benih cinta yang datang terlalu lama dan masing-masing lisan kita yang takut untuk berucap tentang rasa. Andaikan dulu kita saling berani untuk berucap, pasti derita rindu ini takkan seperih yang kurasakan sekarang. Ah, mengapa harus berandai-andai? Sedang kau terus menjauh dengan membawa beberapa kepingan rasa yang sudah kutitipkan tepat di hatimu.

Meski kita takkan bertemu dan menjalin kasih seperti yang kumau, rasa ini akan tetap meleleh dan mencampakkanku hingga jauh. Terpaksa kuseka mataku saat ia menangis kala mengingatmu. Mencoba melupakan bayang wajahmu, senyum manismu, kata-kata indah yang sering kau ucapkan padaku. Biarlah aku begini, menjadi teman senja dan menitipkan rinduku pada angin yang berlalu. Menatap langit biru sambil menikmati jeritan rindu dan menghitung akankah suatu hari jarak ini mempertemukan kita. Meskipun berat menyimpan rinduku padamu, biarlah kau menjadi melodi indah dalam hidupku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...