Kamis, 23 Februari 2017

Pontianak, Catatan Perjalanan Part I

“Semua yang kamu butuhkan, akan Allah berikan di saat yang tepat, percayalah!”

Ya Tuhan, terima kasih untuk nafas yang masih gratis ini. Sungguh, perjalanan ke Pontianak ini adalah perjalanan yang tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya. Dari beberapa kampus yang aku kirimkan lamaran di bulan Desember lalu, sungguh aku telah meminta pada Tuhan agar Dia menempatkanku di pulau Jawa. Lokasi yang sudah membuatku begitu nyaman dan menikmati hidup dengan tenang. Keramahan manusianya yang sudah tidak lagi diragukan, kebaikan orang sekitar yang selalu membuat hati terasa nyaman. Dan semua tentang keindahan tinggal di pulau jawa. Ya, dalam do’a di akhir malam-malam panjangku di awal Januari lalu, aku meminta agar Ia memberikanku rizki untuk bisa duduk dan bertahan lebih lama lagi di pulau jawa. Dengan penuh harapan aku meminta padanya agar memberikanku tempat yang membuatku bisa berkembang.
Ah, Allah itu selalu penuh surprise. 11 Januari aku dapat email sebagai tanda bahwa aku diterima menjadi dosen muda di Universitas Tanjung Pura Pontianak. Dalam gelisah mencoba menentukan pilhan hidup. Benarkah harus ke Kalimantan? Melepaskan genggaman Indonesia Mengajar yang sudah aku kejar mati-matian, meluangkan waktu untuk menulis 18 halama esai demi bisa menjadi Pengajar Muda. Lagi-lagi, Allah memberikan hikmah bahwa Ia tidak sedang tidur dalam menentukan nasibku. Dengan hati ikhlas dan bismilah, akhirnya di 31 Januari aku memberanikan diri untuk mencoba tempat baru. Ya, Pontianak akan menjadi saksi perjalanan hidup baru yang akan memberikan banyak pengalaman dan pelajaran.

Kejadian luar biasa yang pertama aku alami disini adalah naik gojek yang drivernya super ramah. Dimana mana memang banyak sekali orang baik, aku aja yang agak jahat sama orang lain, wkakakaka. Tidak hanya sampai disitu, ternyata kos di Pontianak ini juga asik, deket dengan tempat makan, deket dengan masjid, deket dengan indomart, deket dengan kampus, kurang apalagi? Alhamdulillaah sekali, baru tiga hari tinggal di Pontianak langsung merasa betah. Semoga saja adalah awal yang baik. Belum habis nikmat Tuhan yang terindah, Dia kirimkan lagi rekan-rekan dosen muda yang menyenangkan, yang baik, yang kompak dan yang bisa saling mengerti satu sama lain. I’m feeling so blessed dikelilingi oleh manusia-manusia luar biasa yang baik dan berjiwa tangguh menatap masa depan. Bagaimana kawan, keseruan apalagi yang akan kita lakukan hari ini, hari esok, dan hari-hari berikutnya? 

Karena Dirimu Rinduku Takterbendung (KDRT)

Setiap momen pasti memberikan kesan tersendiri untuk para penikmatnya, seberapa jauh berjalan, sejauh itu pula pengalaman akan bercerita tentang kehidupan yang hingga saat ini masih memberikanku kesempatan untuk bernafas. Menikmati indahnya dunia dan karunia Ilahi yang sangat sulit untuk aku definisikan dengan kumpulan kata dalam kalimat bahkan menjadi hitungan paragraf. Bagian terindah dari sebuah hari yang terus berputar ditemani mesin waktu adalah senja. Meski malam menawarkan kerlipan bintang dengan sinar rembulan, namun senja selalu bisa membuaiku menjadi insan yang merasa begitu bahagia saat ia menyapa. Senja berbeda, ia tidak seperti titik yang mengakhiri tanpa seruan dan tanya. Bagian terbaik dari hadirnya adalah ketika aku sadar warna jingga itu beradu sempurna dengan bayangan burung berkicau yang akan kembali ke peraduannya. Ditemani rayuan pohon kelapa yang rindang dengan asmara memuncak, sayup berlalu membahagiakan siapa pun yang menyaksikannya.
Andai senja bisa kubeli, akan kuhadiahkan ia untuk semua orang terbaik dalam hidup yang aku punya. Hingga mereka bisa merasakan kedamaian yang tak berujung dan tak pula bertepi, hadirnya abadi. Jika malam memintaku untuk mundur karena lelah yang tak teratur, senja selalu memanjakanku dengan indahnya sayap-sayap semesta. Tak butuh waktu banyak  untuk mencarinya, ia akan hadir tanpa harus kupanggil. Mengenalnya adalah sebuah keindahan yang takkan kuhapus dalam catatan utuh suatu fase kehidupan. Ia adalah senja, ciptaan Tuhan yang amat teristimewa untukku, untuk kita.
Pagi ini rindu masih memaksaku untuk mendekatimu, meski hanya lewat sebait do’a sebagai pembuka suasana pagi buta saat mentari masih terlihat malu malu menampakkan wujudnya. Setiap kali aku mengingatnya, aku selalu lupa. Entah, harus berapa kali lagi aku harus menjatuhkan hati dan memungut sendiri semua serpihannya. Meski pernah kecewa, justru aku yakin dengan semua itu aku akan semakin kuasa berpijak di atas kaki. Tak peduli walau luka luka itu tak bersuara, sebab air mata pun jatuh tanpa bicara. Dari banyak bait yang kucipta, ku ingin berkata, kau tak perlu menjadi siapa pun untuk aku kagumi, karena kau sudah lebih dari apa yang aku minta pada sang pencipta. Biarkan kita saling melengkapi dalam kekurangan karena kita adalah rahmat dalam perbedaan.
Aku tak berpikir lagi bagaimana memulai cinta dengan tanda titik tanpa koma dengan kisah kisah yang bersambung. Yakinlah bahwa kau punya ruang khusus di sanubariku, dan kau akan sempurna karena telah hinggap di dalamnya. Aku berkata dengan hati yang sudah kupasrahkan pada sang penguasa alam, yang akan membawa kita terbang tinggi dengan sayap cinta dan kebahagiaan. Aku bertahan demi engkau, demi segala dan demi selalu bersama sama. Saat asa menemani di sudut ruang gelap,  tak berfikir sedetik pun untuk terlelap. Saat aku harus bangun dari sebuah angan-angan, merangkai mimpi sejati yang tak hanya sekedar  pujian. Aku tak pernah lelah, meski terkadang, keluh kesah selalu menari menyertaiku dalam sunyi. Dan saat pelupuk mataku terpejam, bulan tertunduk menghias hati yang sedang muram. Kita akan terus berdiri, melangkah pasti dengan ketegaran hakiki. Menghirup aroma kesejukan dari dalam diri kita, dengan sorot mata yang akan selalu bersinar, menyingkirkan lara dan membuatnya menjadi bara api. Genggam tanganku erat dan mentari akan tersenyum mengiringi aku dan masa depan kita. Tak peduli meski ribuan nafas yang memandang dengan sayatan luka dan tatapan tajam tanpa henti, aku akan terus berjalan. Melewati dinginnya udara yang akan membawamu menuju tabur jutaan permata.
Subuh terasa begitu hening, fajar menyingsing ketika terdengar sahut kokok ayam satu sama lain. Malam sudah berlalu bersama hilangnya cahaya kelip bintang dan ocehan rembulan yang tak bergeming. Seketika hening sempurna datang memeluk. Tidak ada suara sahut kokok ayam, terdiam. Fajar itu kemudian redup, seperti dibasahi embun pagi, yang kemudian redup karena rindu datang mendekat, mengetuk seluruh bagian kehidupan. Kita bisa apa?
Tentang senyum sederhana bahagia yang terpikat dalam setiap derap langkah. Menyusuri liku perjalanan yang masih panjang kemudian kita terhenti sejenak. Aku masih ingat, saat alunan lagu indah mengudara di dalam mimpimu, membawamu terbang jauh, hingga kau sadar pelukan-pelukan manja masih kau dapatkan. Tentang belai-belai manja setiap aku duduk terdiam meski tidak sesengukan di depanmu. Ketika gumpal tebal ingatan datang menyapamu untuk mengetuk tawa lepas dari mulutku. Haruskah terkujur kaku? Kemudian inikah yang kau beri nama rindu?
Yang ku tahu Engkau akan tetap menjadi nomor satu di sudut hatiku. Karena satu akan tetap satu, takkan menjadi dua dan haram menjadi tiga. Seperti ketetapan bahwa aku akan tetap menjadi aku, takkan pernah menjadi kamu, dia apalagi mereka, namun bisa bersatu menjadi kita. Tak usah kau ragu, melangkahlah maju denganku. Berhentilah untuk bertapi-tapi, temani aku tanpa berjika-jika. Kita perlu menikmati segala apa yang kita punya tanpa perlu berandai-andai. Dunia ini akan lebih baik tanpa rasa takut. Selamat pagi semesta bertabur riuhnya suara suara hati yang masih berharap dengan penuh getir sukma sukma bahagia. Kau akan selalu menjadi titik yang membuatku berhenti tanpa seruan juga tanpa tanya.

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...