Jumat, 01 Agustus 2014

Catatan Perjalanan Singkat; Tancak Kembar

Melengkapi hasrat liburan kali ini, aku dan teman-teman pergi ke suatu tempat di pojok kota kecil tak begitu besar yang merupakan salah satu objek wisata dulunya, katanya. Tempat itu menjadi salah satu destinasi wisatawan dalam negeri karena takjub akan pesona air mancur yang terkenal dengan sebutan Tancak Kembar. Pagi itu, kurang lebih pukul delapan, ketika matahari masih tak terlalu panas dan terlihat mulai naik, pergilah kami ke sana. Sungguh saja, tempat itu masih menjadi lokasi yang aku bayangkan, walaupun itu amat sulit untuk ditebak. Kata Iqbal, tempatnya keren banget, ia bahkan sempat menunjukkan padaku gambar yang ia ambil dari google itu. Emang keren sih kelihatannya, air terjun yang berjejer dua alias berdekatan seperti keliatan kembar gitu.
Jalan yang kami tempuh lumayan jauh untuk bisa sampai di tempat itu, melewati jalan raya beraspal yang entah mengapa kala itu kami selalu dihadang lampu merah jalanan ramai itu. Maklum sajalah, hari-hari terakhir puasa kan, jadi banyak yang mondar-mandir mempersiapkan keperluan rumah untuk menyambut Idul Fitri, begitulah kira-kira. Selain jalan aspal mulus, kami juga melewati jalan terjal, tidak terlalu terjal namun memaksa kami untuk turun dari motor alias berjalan kaki. Perjalanan panjang dan tidak melelahkan, mengapa? Karena kami menikmati dengan penuh syukur bisa berjalan menuju ciptaan Tuhan yang Maha Agung. Sambil terus berjalan dengan nafas tersenggal, aku tak lupa mengambil video dokumentasi dari pertualangan singkat itu. Biar pun hasil videonya jelek, yang penting nanti ketika kami kembali setidaknya ada yang bisa dikenang dan dipandang untuk mengingat setiap kejadian yang terjadi meski tidak terlalu rinci. 
Singkat kata, sampailah kami di pintu masuk tempat wisata itu. Gemuruh air yang beriak jatuh silih berganti menjadikan kami begitu penasaran, seperti apakah wujud Tancak Kembar itu. Sepakat untuk meninggalkan kendaraan, kami pun berjalan mendekati air terjun itu. Dan kami mendapatkannya, air terjun gersang tak berair, hanya sedikit. Tubuh permukaannya terlihat kecil, tidak ada riuh gelombang yang beradu naik turun untuk bisa sampai di dasar bebatuan hitam tak sejajar. Kemudian saling pandang, yakin masih ada kejutan lain yang tersimpan, lalu berjalan menelusuri jejak-jejak kaki yang meninggalkan bekas hingga sampai di dalam kawah pepohonan rindang dan deru air sungai yang saling bersahutan satu sama lain. Melewati sungai kecil itu, aku menyaksikan ada burung hantu yang berdiri di atas pohon kering dan berbulu hijau lagi. Iqbal masih terpesona dengan hal itu, kemudian memandang sekitar dan memutar akal yang malah ditinggal terbang oleh burung yang menjadi kilauan cuci mata sekedar teman menikmati perjalanan.
“Waah, kita sampai juga akhirnya Mas, itu air terjunnya kelihatan,” riuh gembira suara Iqbal mengagetkan para petualang yang masih meniti bebatuan besar untuk bisa menyebrang menikmati peraduan pohon dan bunga yang tumbang, jatuh.
“Iya, itu air terjunnya kelihatan, beneran airnya deras tuh kayaknya,” Sontak Mas Adim membenarkan perkataan Iqbal. Kami berempat, Aku, Fery, Alan, dan satu lagi yang aku tidak tau namanya masih terus berjalan beriringan. Meski sambil jalan, Alan terus berfoto ria mengabadikan setiap momen yang ia rasakan dengan meminta bantuan temannya itu.
“Yees, yees,” teriak Iqbal sambil memainkan tangan kirinya berlaga seperti orang yang baru menang suatu kompetisi terbuka.

Kami mendekat, ternyata benar, yang kami jumpai tadi adalah air terjun tipuan. Kami menyebutnya air terjun jomblo karena mengalir tak deras dan tak pula menggiurkan. Seperti seseorang yang kesepian ditinggal kekasihnya, aduh kasihan. Di tempat kami kini berdiri, aku menyaksikan gumpalan air yang saling sapa satu arus dengan arus yang lain, jatuh berurutan, saling berlomba untuk sampai di dasar bebatuan kecil tak terlihat mungil. Walaupun di satu sisi yang lain, kembaran air terjun deras itu tidak mengalirkan debit air yang sama, perlahan namun ada kehidupan di sana. Jurus-jurus narsis itu sontak meminta izin untuk keluar, memahat namun tak perlu memanjat untuk berpose mesra layaknya keluarga. Mulai dari kamera sederhana dengan menu biasa, potrait dan landscape, hingga kamera antik dengan view panorama yang begitu menggoda. Momen itu terabadikan. Sepertinya lelah dalam perjalanan dan kekecewaan yang tadi sempat mendera ketika bertemu air terjun jomblo itu telah terbayarkan, lunas. Lihat saja setiap mereka, tidak ada yang diam, semuanya menikmati view cantik dari air terjun itu, indah! Bahkan keindahan itu akan lebih terasa jika tiba di sana dalam momen bukan bulan puasa, hadir dengan membawa tenda, perlengkapan memasak dan ikan segar yang tampaknya akan sangat menggugah selera makan sambil menikmati sentuhan udara dingin dari percikan setiap air terjun yang jatuh dengan pesona lembutnya. Tersadar dengan pasti penuh keyakinan, alam Indonesia ini begitu menyuguhkan keindahan tak tertandingi, banyak sekali bisa kita temui kekayaan dengan keindahan yang berlimpah. –End_




Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...