Sabtu, 31 Januari 2015

UNGKAPAN CINTAKU UNTUK IBU

Berujar tentang Ibu, aku teringat betapa besar jasanya mengasuhku hingga aku menjadi seperti sekarang. Masa remaja hingga dewasa telah membentuk pemikiran dan tingkah laku yang berbeda, begitu juga kisah teman-temanku yang selama ini aku perhatikan dengan seksama. Aku memperhatikan tak jarang mereka tega berperilaku yang kurang terpuji di depan orang tua mereka, terutama Ibu. Mereka tidak malu menyakiti perasaan Ibu mereka sendiri di depan banyak pasang mata yang sedang menyaksikan kisah itu berlalu sempurna. Bukankah Ibu adalah sosok wanita dengan kasih sayang yang tidak pernah putus? Mengapa mereka berani menentang Ibu mereka sendiri? Mungkinkah mereka lupa dengan segala hal yang telah dilakukan Ibu ketika mereka masih kecil dulu?
Aku mendesah dalam seraya diam tak bergeming kemudian melanjutkan aktivitasku untuk bercerita bersama Ibu. Ada kenikmatan tersendiri setiap berada di sampingnya, apalagi ditemani secangkir teh hangat spesial buatan Ibu. Ia menuturkan bahwa teh itu diaduk dengan hangatnya rasa cinta seorang Ibu untuk anak kesayangannya. Aku tak kuasa menahan tawaku malam itu. Ibu selalu mampu mencairkan suasana saat sedang berkumpul bersama anaknya.
Langit malam terlihat pekat sempurna. Sepertinya awan sedang berkumpul mencipta mendung. Bintang masih enggan menemani rembulan yang terlihat redup. Entahlah, yang pasti malam itu aku merasa bahagia bisa menatap wajah Ibu penuh senyum. Rinai matanya seolah berkata tidak ingin jauh apalagi terpisah dengan anaknya. Canda Ibu seolah menjadi pelita malam yang gelap. Tidak ada rasa sepi apalagi hening yang memeluk. Semua terasa indah jika Ibu sedang duduk dan bercerita di depanku.
“Tidak terasa ya Nak, kini kau sudah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemarin aku mengajarkanmu merangkak, berjalan, meniup balon. Kini kau sudah tumbuh menjadi lelaki yang gagah anakku,” Ibu mulai berucap melepas balutan rindu yang ia simpan selama ini.
“Ibu bisa saja, kan Wira sudah menginjak usia 22. Itu adalah waktu yang terbilang lama Bu.”
“Jika kau sudah menemukan pendamping hidupmu, apakah kau akan meninggalkan Ibu Nak?” ucapnya serius yang membuat mataku terbelalak. Aku tidak mengira pertanyaan itu akan terucap dari bibir manisnya. Sebenarnya ingin aku berujar bahwa setiap lakon kisah yang aku lalui selalu menyisakan rindu yang teramat sangat untuk Ibu. Namun, aku jarang bahkan hampir tidak pernah memiliki keberanian untuk mengucapkan itu di hadapannya. Seperti malam ini, sungguh aku ingin sekali menumpahkan butir-butir rindu yang aku punya. Namun, entah kenapa lisan ini terasa kelu untuk mengucapkan itu semua. Apakah rindu itu yang selalu mengetuk relung dada dan membuat Ibu merasa ingin berjumpa dengan anaknya?
“Kenapa Ibu bertanya demikian?”
“Tidak Nak, Ibu hanya ingin tahu apa jawabanmu. Ibu perhatikan banyak sekali pemuda yang kemudian meninggalkan Ibunya manakala sudah berjumpa dengan kekasih hati yang ia anggap pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.”
“Ibu, aku tidak seperti mereka. Aku akan menemani Ibu hingga hari tua nanti. Ibu harus percaya itu. Tawa yang terdengar selama ini adalah tangis yang berusaha kusimpan setiap kali aku merindukanmu Ibu. Aku tidak ingin Ibu kepikiran tentang aku di sana,” gumamku sambil melayangkan senyum manis untuk wanita luar biasa yang ada di hadapanku.
“Aku akan menjaga Ibu baik-baik, percayalah Bu.”
Malam itu berlalu dengan romantis setelah aku menyanyikan sebuah lagu untuknya. Tak lama berselang, Ibu pamit ingin istirahat lebih awal. Aku tidak bisa menahan, kedua mata Ibu sudah memberikan sinyal bahwa kelopak mata atas dan kelopak mata bawah itu ingin segera berjumpa. Bersatu dengan pekat malam dan berakhir di dermaga mimpi indah. “Selamat malam Ibuku sayang, selamat istirahat, mimpi indah ya,” ucapku mesra sebagai penghantar waktu istirahat malam untuk Ibu. Meski tanpa kecupan manis di keningnya, aku yakin Ibu pasti bahagia.
Besok aku akan mengungkapkan rindu untuk Ibu. Rindu teramat sangat yang selama ini aku simpan. Telah aku tata rapi hingga nanti akan aku ucapkan dengan tawa haru biru. Angin malam berdesir ditemani gemuruh petir yang semakin mengundang kantuk. Aku bergegas masuk kamar dan mempersiapkan segala kejutan untuk Ibu. Tak lupa aku menghubungi teman-teman agar berkenan hadir dan menambah ramai suasana hari bahagia Ibuku besok. Setelah memastikan segalanya berjalan mulus, bintang malam mengajakku untuk menyusul Ibu berlabuh di dermaga ayu menyambut mimpi sebelum fajar dan mentari pagi hadir kembali…
Keesokan harinya, tepat pukul tujuh pagi teman-teman sudah berkumpul di ruang tamu. Aku memanggil Ibu yang masih sibuk di dapur.
“Ibu ada tamu di depan, mereka sudah menanti Ibu sejak tadi.”
“Iya sebentar Nak, Ibu cuci tangan dulu. Setelah itu Ibu akan menyusulmu ke ruang tamu.”
Tak lama menanti, terdengar langkah Ibu datang mendekati kami. Sebelum tiba di ruang tamu itu, aku mengejutkannya. “Selamat ulang tahun Ibu, panjang umur dan sehat selalu ya. Wira sayang Ibu selalu.” Teman-teman kemudian menyusul di belakangku sambil menghidupkan lilin di atas kue tart besar bertuliskan “Happy Birthday Ibu” seraya berkata “Selamat ulang tahun ya Buk.” Pagi itu aku memeluk Ibu erat seolah takut akan kembali terpisah. Sebelum Ibu melepaskan pelukan itu, aku mengecup keningnya sambil berkata “Selamat ulang tahun Ibuku sayang, aku sayang Ibu sampai akhir hayatku.”


PARA PEMUDA PENGGAGAS PERUBAHAN

Detak-detik waktu berpacu, tak terasa sudah sebulan aku menempati rumah ini. Rumah kecil yang kini aku jadikan sebagai teman dalam mengarungi bahtera kehidupan. Menghabiskan deretan malam panjang dengan mengukir kenangan baru bersama barisan para pejuang. Membuka mata serta mengayunkan langkah demi pesona hidup yang kini terasa membeku. Bukan ingin meratap mengingat yang telah lewat, namun inilah satu poros yang harus kutempuh. Hingga nanti ketika aku pergi, ada banyak nyawa yang akan merindukan. Tidak seperti janji mentari yang akan selalu datang, hidup ini amat berbeda. Masa silam sudah tidak mungkin lagi datang menyapa. Meski dirindukan dengan penuh damba, waktu tidak akan pernah bisa diputar mundur.
Aku memandangi anak-anak yang sedang bermain di petakan sawah hijau itu. Memperhatikan mereka kemudian keningku seperti berkerut seraya tertunduk lesu. Sepanjang hari mereka habiskan waktu hanya untuk bermain. Batinku tersudut ketika berhadapan dengan wajah-wajah polos itu. Aku seperti terpental karena tidak mampu memberikan bantuan apapun demi pendidikan mereka. Padahal seharusnya ketika matahari mulai naik seperti ini mereka sedang duduk di dalam kelas. Kesetiaan seperti apa yang bisa aku berikan untuk negeri ini, jika aku tak mampu membantu pendidikan mereka? Laksana langit dengan bumi. Aku terus mencoba untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin, namun mereka tetap berada pada titik ketidaktahuan. Aku memilih untuk diam tiap kali Candra, Didik, dan Widi mencoba berujar tentang kehidupan pilu anak-anak itu. Seperti tak kuasa wajahku untuk saling berhadapan dengan mereka dan mencoba untuk mengungkapkan rangkaian kata. Sungguh aku merasa malu.
Selepas hari itu berlalu sempurna, aku mengajak ketiga temanku berbicara melalui hati. Membuka pintu kesempatan bagi mereka untuk bisa merasakan indahnya bisa mengenyam pendidikan. Meminta keluh kesah itu untuk mundur dan merasuk menjadi keberanian dalam melangkah. Aku yakin masa depan mereka masih bisa diperjuangkan. Bingkai keberanian itu masih layak untuk dipertaruhkan, masih sangat layak. Ini bukan tentang langkah kaki yang lancang berjalan. Bukan pula tentang ingatan yang dipaksa untuk berkembang. Tapi, ini tentang kemauan yang pernah larut namun belum terbenam. Aku yakin kami pasti bisa memperjuangkan pendidikan mereka. Karena yang aku tahu, mata mereka penuh harapan ketika bertemu pandang dan saling tatap.
“Didik, bolehkah aku meminta tolong padamu? Jika kau tak keberatan, aku ingin mengajakmu menjadi pengajar di gubuk kecilku. Terhitung mulai besok malam jika kau ada waktu, datanglah.”
“Siapa yang mau belajar di tempatmu Fer?” tanya Didik sambil meletakkan buku yang sedang ia baca ke dalam tasnya.
“Anak-anak di sekitar rumah Dik. Seperti Ihsan, Salma, Difa, bahkan mungkin Ibu pemilik rumah jika ia tidak keberatan.”
“Ide bagus, aku setuju denganmu Fer. Aku juga sangat prihatin dengan pendidikan mereka selama ini. Bukankah seharusnya anak seusia mereka sedang duduk di bangku sekolah dasar?” respon Candra penuh antusias.
Berujar tentang pendidikan, ketiga temanku pun setuju dengan usulanku untuk mengadakan kelas belajar mandiri di rumah. Ini hanya tentang harapan yang masih berkisar antara mau atau tidak untuk saling memperjuangkan. Sebab majunya bangsa ini ada di tangan para pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin masa depan. Maka jika hanya sebagian saja yang merasakan pendidikan yang layak, sepertinya bangsa ini belum dalam keadaan seimbang.
Aku berbicara sebagai seorang yang ingin semuanya bisa merasakan indahnya dunia belajar. Bahwa masih banyak hal yang sebenarnya harus bisa aku perjuangkan. Aku rindu mereka yang bisa membaca, sibuk berhitung, saling mengeja. Menurutku rindu itu masih sangat pantas untuk dimuliakan. Kerinduanku pada pesona dunia pendidikan adalah hal yang wajar. Aku ingin generasi yang akan datang akan terus maju dan berkembang. Waktu akan tetap menjadi saksi, meski ia tidak akan pernah kembali. Banyak sekali hal yang akan berubah demi perubahan yang tidak perlu untuk terlalu dipermasalahkan. Aku yakin, setiap hati kecil kita pasti ingin menjadikan bangsa ini bangsa yang maju. Sebab perubahan itu pasti selalu bisa diusahakan.
Sejak hari itu, gubuk kecilku mulai ramai didatangi anak-anak kecil untuk belajar. Meski ruang itu terlihat sempit dan menyesakkan, namun dari tempat itulah kebaikan hidup mereka dimulai. Aku bangga memandangi mereka yang punya semangat besar untuk belajar. Menghafal huruf demi huruf yang disampaikan oleh Candra dan Widi setiap malam. Sementara Didik, ia mengajari anak-anak itu mengaji setiap malam Kamis dan Sabtu. Aku yakin setiap usaha pasti akan menuai hasil jika para pejuangnya selalu percaya. Tepat satu minggu kegiatan itu berjalan, kami mendapatkan banyak bantuan dari warga sekitar. Mereka senang dengan kegiatan yang kami laksanakan.
Seperti malam, jangan biarkan ia berlalu tanpa alasan. Malam menghilang karena fajar akan menjadi pengganti gelapnya kehidupan. Begitu pun kehidupan, hidup adalah sebuah kebahagiaan jika kita mau berjuang. Bukan seberapa lama kita duduk dan mendiami langit malam dengan kumpulan bintang. Tapi, seberapa mampu kita mengubah ruang yang gelap agar terlihat pancaran cahaya terang. Bagiku, merasakan pendidikan tinggi adalah sebuah anugerah Tuhan. Serta, mampu membantu mereka untuk merasakan hal yang sama adalah kenikmatan. Aku bangga kini melihat Ihsan, Salma, Difa, Roni dan anak-anak lainnya yang sudah bisa membaca.

Kini senyum manis pun mulai mengembang dari bibir mereka. Karena aku sadar hidup mereka kini istimewa. Seperti istimewanya Candra, Didik, dan Widi yang sudah mau berbagi dan menjadi pemuda penggagas pendidikan bagi mereka. Sungguh hidup ini adalah anugerah. Anugerah terindah karena aku bisa mengenal mereka dan menjalani hari berlalu bersama. Aku yakin pasti selalu ada kesempatan baru untuk bisa tumbuh dan berkembang bagi mereka yang berusaha. Membuat impian menjadi nyata dengan memanfaatkan kesempatan dalam menggapai segala cita dan harapan. 

NEGERI BERDARAH

Dengan segala kemurnian hati, aku berdiri di sini. Memandangi barisan para pejuang yang berlari untuk menegakkan keadilan yang tak mustahil adanya. Keadilan seperti apa? Mungkin mereka menyebutnya kebijaksanaan. Kelompok yang tidak pernah letih menyongsong hari esok. Meski sekedar membuka cakrawala yang sudah lama tertutup. Mereka tumbuh seperti pohon beringin yang sangat menyejukkan. Laksana naungan keteduhan akan bisingnya telinga dari teriakan kalimat sejahtera. Jika usaha yang mereka lakukan tak berarti, hentikanlah.
Aku mendesah dalam tanpa gerangan. Agaknya sangat tidak perlu untuk menertawakan kebodohan diri sendiri. Disuguhi segala wejangan yang mereka sebut adalah pesta demokrasi. Pemandangan apa yang terjadi? Mereka menerima itu semua dengan lapang dada, manut-manut saja. Tiada usaha untuk menghilangkan keresahan yang sudah turun-temurun diwariskan. Ibarat sebuah penyakit berbahaya, mereka menuruti saja meski segalanya terlihat salah.
“Kenapa kamu diam Zet? Apakah ada yang salah dengan negeri ini?” ujar Nisa yang datang mendekat sambil menyodorkan dua buah buku yang aku pesan tiga hari yang lalu.
Aku terdiam, keningku berkerut tak sempurna. Nisa tidak sadar dengan mental para pendendam yang terjajah sejak jaman kerajaan. Lantas aku berpikir jika aksi itu adalah kesempatan untuk meluapkan bakat akting yang terpendam, mungkin. Aku diam-diam menggolongkan diri sebagai orang terdidik yang pandai memberi komentar. Rakyat terlalu polos untuk dibodohi, karena memang sebagian dari mereka tidak mengerti. Mereka tidak butuh obralan janji palsu yang seraya berubah menjadi kenangan hampa masa lalu. Mereka takkan bisa menjadi sejahtera karena kebodohan yang masih mendera. Terlalu naif bila mengatakan mereka bijaksana, belum ada bukti. Janji-janji itu masih mengawang bak awan di langit senja. Sungguh masih jauh jika harus disandingkan dengan kata bijaksana. Tumpukan masalah masih meraung berteriak bak macan lapar di tengah hutan.
Maaf, itulah kata yang tersisa tiap kali aku mengingatmu. Negeri dengan segala keistimewaan yang hingga kini masih terjajah. Aku enggan menjadi manusia munafik yang terpaksa mengatakan bila bangsa ini telah merdeka. Belum! Bangsa ini masih terjajah. Terjajah dengan segala belitan hutang yang menyiksakan luka penduduknya. Betapa pun banyak lisan yang mengatakan negeri ini merdeka, aku tidak percaya. Aku masih menyaksikan mereka rela saling caci untuk mendapatkan apa yang mereka suka. Mata ini sering menjadi saksi melihat sosok-sosok berdasi menjadi pemimpin yang tamak. Seharusnya banyak sekali alasan yang bisa diucapkan untuk mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Tapi, itu semua sepertinya masih jauh dari harapanku. Seperti Nisa yang berharap bahagia namun kegelapan datang melanda hidupnya.
“Sudahlah Zet, abaikan saja apa yang menjadi inginmu. Itu hanya bayangan ilusi yang takkan pernah menjadi kenyataan. Kau hanya butuh sedikit sikap realistis ketika berbicara tentang negeri ini.”
“Kenapa Nisa? Kenapa? Kenapa aku harus diam dan tertunduk lesu memandang segalanya dari negeri ini? Tidakkah aku bisa memperjuangkan negeri berdarah ini?” suaraku mulai parau. Aku tidak ingin sikap optimisku berkurang. Imajinasiku masih berharap negeri ini akan berubah. Seperti setiap iklan televisi yang pernah aku tonton. Negeri ini bisa menjadi negeri ternama di dunia.
“Kamu harus sadar Zet bahwa segala apa yang kamu pikirkan tentang negeri ini sulit sekali terwujud. Cobalah perhatikan deretan mobil mewah yang melaju kencang di ibukota, adakah mereka memikirkan nasib kita? Tidak Zet, tidak! Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri.” Dengan luapan emosi Nisa menuturkan itu di hadapanku.
“Kamu seharusnya sadar bahwa negeri ini pantas mendapatkan julukan negeri berdarah Zet. Lihatlah nasib penduduknya, jauh sekali dari sebutan sejahtera seperti janji-janji yang mereka umbar ketika hendak duduk di kursi jabatan. Mereka hadir dengan wajah manis menawarkan segala kenikmatan atas nama rakyat. Tapi nyatanya, dimana mereka letakkan janji-janji mereka? Aku tidak habis pikir dengan tingkah mereka Zet, aku terlalu kecewa.”
“Apakah kecewamu itu hingga kini tidak terobati Nisa?” tanyaku datar masih dengan wajah antusias untuk mendengarkan jawaban gadis manis itu.
“Ya, aku sungguh kecewa dengan mereka semua. Aku tidak akan pernah menyebutnya INDONESIA jika di dalamnya masih terdapat wajah-wajah rakus yang mengeruk segala kekayaan negeri ini untuk mempertebal dompet mereka. Tidak akan Zet, tidak akan!” suara Nisa seperti letupan peluru tajam yang terbang dan jatuh tepat sasaran.

Gumpalan embun mulai menghitam. Tetes demi tetes air itu kemudian turun menghujam tubuh kami. Tubuhku terasa lengket. Tak lama berselang, Nisa berlari meninggalkanku. Ia mencari tempat yang teduh untuk berlindung dari cercaan hujan yang jatuh semakin deras. Aku mengikuti langkah gemulai itu. Kemudian duduk dengan jarak tidak terlalu jauh. Sepertinya Nisa benar dengan apa yang ia katakan di hadapanku tadi. Hujan ini seolah menjadi saksi pembenaran kalimat-kalimat yang ia ungkapkan tadi. Bumi pun seraya menangis. Negeri ini masih berdarah, negeri ini masih krisis. Negeri ini masih rusak dengan kebiasaan mereka yang suka korupsi. Negeri ini masih berdarah karena banyaknya penguasa yang tidak peduli dengan nasib warganya. Aku mencoba menutup mataku, melupakan semua kisah pilu negeri ini. Meski benar, biarlah! Negeri ini masih berdarah. Kelak aku akan hadir sebagai sosok pembangkit segala kebusukan yang pernah ada. Aku akan hadir mengusap darah-darah liar itu. Aku akan menjadi pemburu kemerdekaan yang kini masih terenggut. 

MENEMBUS GARIS HITAM KEHIDUPAN

Pengalaman masa lalu mengajarkanku bagaimana bertahan. Menatap kedepan bersama balutan asa yang masih tersisa. Menjalani hari berlalu seperti biasa. Aku tidak ingin ada yang terluka. Biarlah kejadian yang telah berlalu sebagai pelajaran dalam memaknai hidup. Bukankah berdamai dengan waktu adalah hal terindah? Lantas, kenapa harus mempermasalahkan apa yang sudah lewat? Di setiap waktu yang terus berdetak dengan lajunya, aku takut jiwa ini terlalu gundah dalam memaknai hidup. Terlalu banyak waktu yang terlewatkan dengan sia-sia. Mencoba terus meyakinkan diri bahwa sukses, derita, serta segala pahitnya masa lalu itu sudah lewat dan tidak mungkin terulang. Aku terus mencoba memotivasi diri, kegagalan itu adalah hal yang wajar. Ibarat ranting yang tidak akan terpisahkan dari pohon yang masih berdiri tegak.
Ingatanku terus merongrong sejadi-jadinya, masih banyak sekali hal yang aku ingat. Tentang cacian yang sudah lewat dan kulalui dengan lapang dada. Aku mencoba menerima semuanya dengan dalih karena memang aku tak mampu menghindari itu semua. Tentang hinaan yang sering aku terima dari mereka ketika aku masih polos dan lugu menurut mereka. Terlalu banyak kenangan berwarna hitam kelabu yang sudah aku rasakan. Lagi-lagi aku terdiam, mencoba menenangkan diri dan meyakini bahwa itu adalah bagian dari proses kehidupan. Tidak mungkin menghindari semuanya, itu adalah takdir Tuhan. Dibalik cercaan yang dulu aku dapatkan, kini hadirlah sesosok manusia yang bisa diharapkan. Insan yang memiliki masa depan cemerlang, kehidupannya diisi dengan segala hal yang positif, tidak terlalu resah seperti mereka para penghina masa lalu.
Aku tertawa terbahak mengingat itu semua. Kejadian itu bak cahaya yang tidak akan pernah padam. Jujur aku tidak membenci mereka, hanya saja aku tidak suka dengan tingkah laku yang mereka layangkan dulu terhadapku. Laksana pijar sinar mentari yang tidak pernah padam, selalu hadir setiap fajar menjelang. Begitulah benih kebencian itu datang mendekat, meniupkan kembali lara yang pernah ada. Meski itu sudah berlalu, namun aku masih merasakan sakit yang amat sangat di lubuk hatiku terdalam. Meski kini langkah indah sudah mampu aku ciptakan. Keluar dari batas hitam kehidupan yang dulu pernah menganga penuh jeritan. Jeritan duka akan perihnya cobaan hidup yang mungkin memang harus aku rasakan.
Huh, masa bodoh dengan segala tindakan mereka. Kini aku berdiri di garis putih kehidupan yang telah Tuhan goreskan. Aku berdiri di bawah kuasa Tuhan. Aku memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka, itu adalah suatu kebanggaan. Meski dulu pernah terpojokkan dengan segala tindakan mereka. Biarlah itu berlalu, aku sudah ikhlas segalanya terjadi. Sekat hitam itu kini sudah aku hapuskan. Biarlah mereka berlalu dengan segala keusilan dan perbuatan kurang terpuji itu. Aku yakin bahwa Tuhan maha adil. Jika dulu aku tersudutkan dengan hinaan mereka, kini semua berbanding terbalik. Aku masih percaya hukum aksi reaksi alam semesta.
“Kau kenapa Diwa? Kenapa harus mengungkit masa lalu yang telah lewat?” Idham menodongku dengan pertanyaan singkat. Ia adalah teman baikku yang selalu hadir menemani setiap senyum maupun sedih perjalanan hidupku. Seperti Frand yang tidak pernah absen terus memotivasi dan menguatkan setiap langkah ketika semangat itu mulai pudar. Mereka selalu ada untuk mengayun langkah kepastian hidup yang akan terus berputar. Mengajarkan banyak makna dalam setiap kejadian serta hikmah di balik setiap cobaan.
“Aku baik-baik saja Idham, hanya saja di senja ini aku teringat beberapa kejadian memilukan yang dulu pernah aku rasakan. Kau tahu bukan bagaimana sakitnya ketika terjatuh dalam langkah yang sudah bulat serta tekad yang tak tergoyahkan? Tapi, di balik itu semua ternyata ada kehendak lain dari Tuhan yang tidak bisa kita hindarkan.”
“Kejadian memilukan? Sakitnya ketika terjatuh? Maksudmu? Aku tidak paham dengan jalan perkataanmu Diwa, sungguh!”
“Tidakkah kau ingat bagaimana masa laluku yang begitu kelam? Hadir dengan sejuta cercaan yang hampir setiap hari aku alami. Mereka menghinaku bahkan mempermalukanku di depan banyak orang Idham. Sungguh sakit itu masih berbekas hingga kini. Hinaan, ocehan mereka juga yang membuatku seperti sekarang.”
“Mereka? Siapa mereka yang kau maksudkan?” Idham masih terlihat penasaran dengan apa yang baru aku tuturkan padanya. Aku terdiam, enggan melanjutkan apa yang ia tanyakan. Aku yakin bahwa sekuat apapun berjuang dalam jalan yang salah, itu semua akan berakhir. Kebaikan akan selalu hadir setelah banyaknya kebohongan yang terungkap. Hingga kini aku bersyukur dapat bertahan dari terjangan arus yang pernah hampir membunuhku. Bertahan dari sikap hidup yang menyerah karena hinaan sekelompok orang yang sudah tidak aku ketahui dimana mereka kini berada. Berjuang demi menegakkan keyakinan moral yang sempat tertindas dengan segala peluh yang dulu terurai di depan mereka.
“Sudahlah Diwa, kau harus berdamai dengan segala keadaan yang dulu pernah menyisihkanmu. Relakan apa yang sudah terjadi, jangan kau ungkit kembali gumpalan noktah hitam yang dulu menyakitimu. Berdamailah dengan segala kebencian yang menggerogoti jiwamu,” ungkap Frand di sela-sela aku menghirup udara lepas tanpa ada lagi sekat dan sesak yang tersisa. Frand, sosok yang mengerti bagaimana harus berbuat dan menyikapi segala kepedihan itu. Ia hadir dengan tawaran bahwa masa depan tidak bergantung pada masa lalu yang kelam. Masa depan masih bisa diperjuangkan.

Ya, aku berterima kasih kepada mereka yang dulu sudah mengucilkanku. Menjadikanku buronan untuk meluapkan segala emosi dan sumpah serapah yang mereka punya. Mungkin jika itu tidak terjadi, aku tidak bisa menjadi manusia seperti sekarang. Senja ini aku memeluk erat dekapan langkahku. Aku tidak akan mundur untuk melintasi batas hitam itu. Ruangan kecil mungil ini akan menjadi saksi segala langkah menggapai asa. Bahkan, sepeda tua itu adalah teman setiaku menempuh segala asa. 

MEMORI SENJA AKHIR NOVEMBER

Subuh terasa begitu hening, fajar menyingsing ketika terdengar sahut kokok ayam satu sama lain. Malam sudah berlalu bersama hilangnya cahaya kelip bintang dan ocehan rembulan yang tak bergeming. Seketika hening sempurna datang memeluk. Tidak ada suara sahut kokok ayam, terdiam. Fajar itu kemudian redup, seperti dibasahi embun pagi, yang kemudian redup karena rindu datang mendekat, mengetuk seluruh bagian kehidupan. Kita bisa apa?
Aku masih simpan semua keping kenangan yang kau punya. Ketika manis senyum sederhana hinggap dan memberiku banyak makna untuk hidup. Tentang kisah klasik penuh bahagia ketika jemari kita masih menggenggam erat. Saat hujan datang, dan kuberikan jaket untuk melindungi tubuh cantikmu Jinggaku. Kenapa rindu datang menggilas dinding kokoh yang pernah ada? Kemudian kau hancurkan semua relung berisi sejuta ingatan tentang kita. Tentang senyum sederhana bahagia yang terpikat dalam setiap derap langkah. Menyusuri liku perjalanan yang masih panjang kemudian kita terhenti sejenak. Masih aku ingat, saat alunan lagu indah itu mengudara di dalam mimpimu, membawamu terbang jauh, hingga kau sadar pelukan-pelukan manja masih kau dapatkan. Tentang belai-belai manja setiap aku duduk terdiam meski tidak sesengukan di depanmu. Ketika gumpal tebal ingatan datang menyapamu untuk mengetuk tawa lepas dari mulutku. Haruskah terkujur kaku? Kemudian inikah yang kau beri nama rindu?
Kita seperti mendaki anak tangga, aku selalu memberikanmu ruang pertama untuk melengkapi kepingan tangga kecil itu hingga kau bisa tertawa. Kemudian kita duduk manis saling menenangkan dan berkata bahwa bahagia itu milik kita. Kabut hujan tiba-tiba menyingkir, reda itu kemudian hadir. Berpetualang dengan rengekan kata tulus tuk menikmati indah senyum mulus. Seperti itulah hakikat cinta, berteman dengan penuh kehangatan, meski jauh jarak menjadi sekat batas yang nyata. Sudah tiada lagi kebencian, waktulah yang kini menjadi penenang segala ingatan. Kau itu sungguh istimewa, punya seribu alasan untuk selalu bisa tersenyum manis di depan manusia. Cobaan itu menjadikanmu kuat, berjalan mendaki hidup penuh harap. Tuhan punya banyak cara menjadikanmu manusia luar biasa bukan? Kenapa kau harus malu? Mengalihkan segala apa yang kita punya dan terjebak dalam satu nuansa tak terkira.
Jika kau masih saja malu, biarkan aku menuntunmu berjalan. Melaju menjalani indahnya hidup dengan segala kesederhanaan yang kita punya. Jangan bersembunyi Jingga, mari berkata jujur dengan apa yang kita punya. Tentang alasan kenapa kita bertahan, lalu ketakutanmu itu hilang perlahan. Tentang tugas yang kita punya, untuk saling menjaga dan mengemas rasa yang pernah ada. Tentang lekuk senyum mesra yang dahulu kau berikan. Tentang derap langkahmu yang terkadang membingungkan. Tak usah kau ragu, melangkahlah maju ke depan. Berhentilah untuk bertapi-tapi, temani aku berjalan tanpa berjika-jika. Kita perlu menikmati segala apa yang kita punya tanpa perlu berandai-andai. Dunia ini akan lebih baik ketika tanpa rasa takut…
Senja datang tanpa diundang, pagi pergi tanpa permisi. Itulah kalimat yang sering kau ungkapkan. Saat hatimu penuh gemuruh dan terasa sesak akan kecemasan dan genggam tangan yang tak lagi erat. Ketika satu persatu menjauh tanpa suara peluh. Tidak mampu seperti dulu di saat kita bisa saling kejar. Seperti tak pernah henti memberikan kejut senyum menyenangkan. Tentang rasa yang berlebih ketika kita sudah mulai tersisih dengan waktu dan kesenangan yang memilukan. Meski terkadang seperti bersembunyi, namun aku mengagumimu dalam-dalam. Tidak terkira betapa besar asa yang pernah hadir, meski itu dulu. Ketika berdekatan, kau laksana putri malu tertutup pesonamu yang menggiurkan.
Entah kenapa dengan memperhatikanmu selalu bisa membuatku bahagia. Tersenyum lepas tanpa beban di pundak yang dulu sering kau jadikan sandaran saat kau lelah. Bertanyalah sejenak, aku akan menjawab dengan penuh harap. Perasaan hatimu yang penuh rona, kan kuhadiahi mahkota cinta. Izinkan aku memelukmu erat seperti dulu. Mengalir tanpa luka dan lara yang pernah ada. Ketika deritamu sudah tidak lagi berbekas. Sapalah dengan manis wahai Jinggaku, jadikan dirimu sesosok manusia penuh empati tak berduri. Menerima dengan baik segala yang tersurat dan melangkah dengan hati yang terarah.
Senja selalu istimewa dengan hadirmu. Seperti dulu ketika senja ditemani rintik hujan tak berdebu. Kau pegang tanganku ketika malam menyapamu. Tentang bintang gemintang yang diam-diam memperhatikan gerak-gerikmu. Rembulan pun malu menyapamu, ia seperti cemburu. Tak kuasa menatap mata indahmu malam itu. Suara dering ponselmu menyadarkanku, malam telah larut, aku harus mengantarkanmu kembali. Ditemani kilauan lampu lampion, kau pamit dan berkata “Aku senang bisa mengenalmu.
“Kau kenapa Rayyan, ada apa denganmu? Kelihatan murung sekali wajahmu,” tiba-tiba suara Arin mengagetkanku yang sedang duduk di balkon rumah susun senja itu.
“Tidak Arin, aku sedang mengingat kenanganku dengan Jingga. Sosok wanita terbaik yang pernah hadir dalam mimpi dan kenangan hidup panjangku. Resah menikam ulu hatiku ini terasa begitu perih Rin. Ketika mengingatnya, senyumnya, dan semua yang indah dalam memoriku tentang dia.”
Arin terdiam, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Duduk, berdiri, kemudian mondar-mandir dengan kepala dipenuhi kecemasan. Ia termangu dalam lisan yang tidak bisa berkata-kata.

Terhitung akhir tahun lalu kau terakhir menghubungiku Jingga. Entahlah, apa sebenarnya kini yang sedang aku alami. Tapi aku tersadar, aku masih menantikan sapa manismu di sini. Layangan kabar bahwa kau dalam keadaan baik di sana. Memberitahuku apa yang sedang kau lakukan sambil sesekali mendengar suaramu tertawa akan masa lalu yang pernah membawa kita terbang jauh mengudara penuh rasa bahagia. Aku yakin, kesedihanku akan sirna jika senyum manismu kau berikan Jingga. Izinkan air mataku sirna sejenak ketika mengenangmu seraya meluapkan rasa penuh harap bahwa kau akan tetap tersenyum untukku Jingga. Selamat menempuh hidup baru sayang…

KABUT SENJA MEMATAHKAN RINDU

Senja selalu menawarkan hal yang istimewa. Entah karena aku terlanjur suka atau memang banyak kejutan ketika senja telah tiba. Saat senja, sinar mentari akan berlari meminta diri. Sengatan terik itu berlalu kemudian digantikan rona langit berkabut namun belum tertutup sempurna. Saat senja tiba, kehidupan akan terasa berlari meninggalkan kejamnya takdir yang tidak mungkin dihindarkan. Senja selalu mengajarkanku bagaimana menikmati sisa hidup, berjalan dengan langkah manis menelusuri sisa detak waktu yang masih terus berputar. Senja ini bibirku masih mengucap syukur atas kesan senyum manis yang dulu pernah ditorehkan seorang pria. Aku tak bisa mendustai jika ia memang memiliki paras yang tampan dan sangat memesona. Rasanya ia adalah lelaki yang pertama kali aku temukan dan langsung membuatku jatuh cinta.
Tidak terasa, perkenalan dengannya telah membius setiap waktu senja yang aku punya. Menghisap setiap jejak langkah untuk selalu memikirkan dirinya. Kadang termenung seperti tidak punya keberanian untuk bertanya tentang kabarnya. Bahkan, tak jarang aku harus merenung untuk menyegarkan rasa dan berharap hari-harinya akan melaju penuh syahdu cinta. Waktu terus berpacu tanpa terasa kini kau sudah tiada. Kau pergi bersama seribu bayang yang masih nyata kemudian duduk manis menemani waktu senjaku berlalu sempurna. Tak bisakah waktu aku putar mundur kemudian menjalani segalanya kembali seperti dulu?
“Jingga ayo kita pulang, Ayahmu pasti sudah menunggumu di rumah,” terdengar suara Zahira memecah kesunyian pelantaran sawah yang terbentang luas.
“Kamu pulanglah lebih awal Ra, aku masih ingin menikmati waktu senja ini berlalu sempurna di sini. Sambil memandangi hijaunya petakan sawah memanjang hingga tatapanku lenyap di ufuk senja.”
“Nanti jika Ayah bertanya tentangmu, aku harus jawab apa? Kamu baik-baik saja kan Jingga?” Zahira bertanya dan meyakinkanku.
“Katakan pada Ayah, aku masih memetik sayuran untuk makan malam nanti. Sudah jangan banyak tanya Ra. Aku sedang tidak ingin berdebat panjang denganmu kali ini. Pulanglah!”
Zahira berlalu tanpa suara. Kata-kataku terhadapnya barusan seperti tersengat emosi bercampur darah panas hingga ke ubun-ubun. Ia sama sekali tidak menunjukkan perlawanan. Zahira selalu saja mengganggu jika aku sedang menikmati waktu senja berlalu. Sifatnya yang suka banyak tanya membuatku kadang tidak nyaman jika harus bekerja bersama dengannya. Untuk masalah hati dan perasaanku saat ini ia bisa apa? Sering kali sepasang matanya hanya melihat apa yang tampak. Tidak pernah mencoba merasakan bagaimana kacaunya suasana hati yang sedang tidak bersahabat.  
Memikirkanmu selalu membuatku urung untuk kembali pulang lebih cepat. Meski dari jauh, pesonamu selalu bisa membuatku berdamai dan secara spontan membuat dada ini berdebar. Andai saja malam tidak akan hadir, aku pasti tersenyum bahagia karena bisa mengingatmu lebih lama. Membuang jauh segala rasa yang telah membeku dan duduk manis larut dalam kenangan indah bersamamu. Randa, masihkah tersisa belas kasihan di hatimu untuk datang mendekat kepadaku meski sebentar? Logikaku sulit berdamai saat mencoba melupakanku dan balutan kisah masa silam.
Geming rindu sering kali datang mendekat kala memikirkanmu, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lamunan tentangmu sontak hilang saat aku sadar jika semua sudah tidak seperti dulu. Memandang susun petakan sawah ini membuatku yakin bahwa rasaku masih tersusun rapi untukmu. Meski harapan dan asa itu kemudian hancur berkeping-keping ketika aku sadar kau sudah menjauh dan takkan kembali menjalani hari bersamaku. Sungguh kadang aku meratap penuh harap, menantimu hadir dan membawaku dalam lelap. Namun, tak jarang aku berharap kau pergi jauh hingga tidak ada lagi duka yang akan tersisa di hidupku. Sepanjang hari aku meminta kepada Tuhan agar memberikanku kembali senyum manis yang pernah mengembang. Sesaat kemudian tersadar, senyum manis itu telah kau renggut dan kau bawa lari jauh dari jangkauan tanganku. Lantas, inikah yang harus aku sebut rindu? Mencoba melupakan namun aku masih mengingatmu.
Tak lama kemudian ponselku bergetar, ada panggilan masuk. Nama Ayah terpampang di layar ponsel mungil itu. Panggilan tersambung.
“Kamu di mana Jingga? Ada yang mencarimu di rumah, lekaslah pulang.”
“Siapa yang mencariku Ayah?” tanyaku ingin tahu.
“Ayah juga tidak mengenalnya, katanya ia adalah temanmu.” Sambungan terputus.
Apakah itu adalah dirimu Randa? Mungkinkah kau menantiku di rumah dan akan mengembalikan ribuan senyumku yang pernah hilang? Tuhan, benarkah Randa hadir menemuiku? Bolehkah aku berharap terlalu lancang di hadapanmu?
Dengan nafas terengah aku mengayuh sepeda tua itu untuk bisa secepat mungkin sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Randa. Aku yakin Randa pasti sudah menantiku sejak lama. Aku akan mengajaknya menikmati hari berlalu bahagia. Duduk manis di beranda rumah saling berhadapan dan berujar akan rindu yang sudah lama terpendam. Berbicara panjang tentang cinta berbingkai setia dengan bongkah-bongkah ratap penuh rindu.
Sesampainya di rumah aku tidak menemukan tamu yang dimaksudkan Ayah. Ayah justru menuturkan berita pahit jika tamu yang tadi datang membawa kabar bahwa Randa telah tiada. Aku tak kuasa menahan tangisku. Senja ini langit seolah runtuh saat aku sadar kau telah pergi jauh. Aku meratap tanpa harap saat tersadar semua kenangan silam takkan mungkin lagi terulang. Rindu itu kini hilang bersama terbenamnya matahari mengiringi kepergianmu. Titah-titah cinta itu telah larut bersama pekatnya gelap malam. Selamat jalan Randa, terima kasih untuk cinta yang pernah ada.


BENARKAH RASA INI CINTA?

Vina berlarian ketika tiba di depan kamarnya di asrama Fatimah. Puput dan Nisa yang berada di dalam kamar saat itu bingung dengan tingkah Vina. Baru beberapa menit saja ia masuk, namun tatapan itu seperti sedang memikirkan seseorang.
“Maukah kamu menjadi kekasihku Vin?” kalimat itulah yang selalu hadir di benaknya sejak ia kembali dari masjid tadi. Pertemuannya dengan Manda di dekat pos satpam itu telah membuat Vina tertegun sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Manda. Ia takut itu semua hanya mimpi. Namun, batinnya tidak dapat berbohong jika saat itu ia sedang berbahagia.
“Manda nembak aku tadi pas pulang dari masjid Cha. Aku harus gimana ya?” ungkap Vina sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang milik Ela yang saat itu sedang kosong karena Ela sedang pulang ke kampung halamannya.
“Apa Vin? Kamu ditembak Manda? Seriusan kamu?” tanya Icha seperti tak percaya.
“Kamu gak bohong kan Vin?” Puput datang mendekati Vina dan Icha yang berada di sampingnya.
Gak Cha, aku serius. Tadi ketika balik dari masjid, Manda memanggilku dan mengungkapkan isi hatinya di hadapanku kemudian memberikan boneka mungil ini untukku,” beber Vina sambil menunjukkan boneka Barbie yang ia terima dari Manda.
Boneka itu terlihat lucu. Manda tau saja apa yang disukai oleh Vina. Wanita mana yang tidak mau menerima pemberian dari lelaki sebaik dan setampan Manda. Manda memang memiliki pesona yang luar biasa jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Ia adalah tipe lelaki yang tak banyak berujar jika memang dirasa itu tidak perlu ia lakukan. Ia memiliki ‘sesuatu’ yang tidak dimiliki oleh lelaki lain. Pantas saja Vina tak bisa berhenti untuk menahan senyumnya dari tadi ketika kedua kakinya melangkah masuk kamar dua asrama paling pojok tersebut.
“Aku harus gimana donk Put? Aku harus gimana Cha? Ayo donk aku butuh masukan dari kalian. Sungguh aku tidak bisa tenang saat ini. Manda memintaku untuk memberikan jawaban pintanya itu esok hari, ketika kita melakukan apel pramuka di lapangan.”
Kalo menurutku ya Vin, kamu harus hati-hati sama Manda. Dia kan lelaki yang banyak diidolakan oleh santri putri juga Vin. Ya kalo kamu menerimanya, kamu juga harus siap untuk cemburu ketika melihat Manda digoda oleh wanita lain Vin. Kamu ngerti kan maksudku?” ujar Icha penuh hati-hati. Icha takut jika Vina tersinggung dengan apa yang baru ia ungkapkan kepada sahabatnya itu. Tapi, memang benar kata Icha, jika Vina menerima Manda, ia juga harus siap dengan banyak kemungkinan yang akan terjadi ketika mereka telah memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih.
“Aku setuju sama Icha Vin, kamu harus pikirkan matang-matang keputusan yang akan kamu ambil. Kamu harus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi ke depannya nanti. Kami mendukung apapun itu yang terbaik untukmu Vin. Pikirkanlah dulu baik-baik sebelum kamu menjawab ungkapan cinta dari Manda.”
Vina terdiam. Senyum yang sedari tadi mengembang kemudian berubah menjadi diam. Ia benar-benar bingung dengan isi hatinya saat itu. Ia memang memiliki rasa untuk Manda, namun ia juga tidak mau terluka seperti nasihat kedua sahabatnya. Malam kian larut. Semua santri penghuni asrama sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Tidak terkecuali Icha dan Puput yang sudah naik ke ranjang mereka untuk persiapan istirahat. Besok adalah hari Kamis, hari dimana Vina harus menjawab ungkapan perasaan Manda. Malam itu Vina sama sekali tidak merasakan kantuk. Sepasang mata itu sulit sekali diajak kompromi untuk bisa tertutup sempurna. “Oh cinta sungguh aku bingung dengan skenario yang kini kurasakan, seandainya ada Ine di sini, pasti akan kutumpahkan semua isi hati ini pada Ine. Ine pasti tau apa yang harus kulakukan.”
Vina kembali meraih boneka yang diberikan Manda padanya. Ia terus memandanginya kemudian berkata “Kenapa kamu memilihku Manda? Apa yang kamu harapkan dari aku? Bukankah begitu banyak wanita yang menaruh hati padamu?” Setelah hampir berputus asa karena belum menemukan jawaban yang tepat untuk permintaan Manda, Vina mengambil secarik kertas dan menuliskan puisi di atasnya. Sambil menulis, Vina terus berharap esok hari ketika ia bangun, ia menemukan jawaban terbaik yang akan ia sampaikan pada Manda.
*Cinta hadir saat malam mulai gelap
Jatuh meletup-letup saat tanah terhempas basah rindu
Menghilangkan semua rasa cemas dan takutku
Kau genggam hatiku tanpa besitan sembilu
Biarkanlah ini mengalir hanya untukmu
Tentang kamu puisiku sekaligus pelangi terindah dalam hidupku
Engkau adalah pujaan bintang yang kini mendekatiku
Engkaulah pelengkap dari segala dahaga cintaku
Berharap dengan cintamu, hidupku menjadi penuh warna
Berjalan denganmu, aku bisa bernafas lebih lega
Berdampingan denganmu, aku bisa menari karena bahagia
Tonight is the wonderful night I had ever, because you! I will always here to stay with you, because I love you…


BALUTAN KANVAS KENANGAN

Rembulan telah sirna dengan sempurna, fajar menyingsing di ufuk timur bersamaan dengan heningnya suasana langit tanpa rekaman suara kokok ayam. Tidak lama itu bertahan, kicau burung datang saling bersahutan, bernyanyi menyambut hari nan cerah bersama kilauan cahaya mentari pagi. Keindahan hari itu tidak bersahabat baik dengan Novan yang masih saja duduk terdiam, tertunduk dan enggan memandang wajah-wajah saudaranya yang sedari tadi mengajaknya untuk berbicara. Sikap Novan masih dingin, ia tak ingin mengangkat sedikit pun bagian dari wajahnya. Hembusan sisa-sisa awan subuh tadi masih saja dipeluknya dengan erat, enggan untuk melepaskannya. Rona wajahnya mendung, seperti tak berkenan menyambut hari datang. Suara yang ia dengar seperti menyesakkan telinga. Tak biasanya Novan bersikap seperti itu di depan keluarganya.
Ia masih duduk di bawah lampu pijar yang belum dipadamkan, kemudian berlalu sesaat setelah tersorot bayangan lampu remang berukuran besar itu. Keluarganya hanya diam, mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada Novan. Akhir-akhir ini tingkah lakunya sangat susah untuk ditebak. Ia kembali menuju balkon rumah yang berada di lantai rumah paling atas. Lantas duduk termangu, kadang mondar-mandir mengikuti jalur lantai, seketika ia pun kembali terhenti dan memperbaiki posisi duduknya. Sepuluh menit berlalu tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap bangunan yang berdiri megah itu dengan tatapan tak biasa, sambil sesekali menutup kemudian membuka kembali sepasang mata yang dihiasi kacamata itu.
“Seharusnya sekokoh itulah aku sekarang berdiri bersama kalian semua di sini,” Novan mengeluarkan kata, dadanya seperti sesak kemudian membuncah memaksa jiwa itu mengeluarkan segala emosinya. Ia melipat kakinya dan memejamkan mata untuk menghindari kenangan buruk masa lalu yang selalu hadir dalam memori pikirannya.
“Sepuluh tahun yang lalu, saat keadaan rumah masih rindang dengan pesona dan pancaran senyum setiap anggota keluarga yang hadir di sana, semuanya terasa begitu indah. Tak satu pun dari mereka yang bertindak seperti yang terjadi sekarang. Tak bisakah kalian sejenak mengingatnya? Kemudian mengembalikan semua keindahan itu? Mengapa kalian kini sudah berubah? Tolong jelaskan padaku, apa yang salah dari semua ini?” ucap Novan lirih.
“Apa maksud ucapanmu itu Novan?” terdengar suara Fatma yang datang melangkah mendekati posisi duduknya. Ia tidak menyangka langkah kaki saudaranya itu datang begitu cepat. Novan kemudian terdiam. Ia enggan berbicara di depan wanita bertubuh cukup tinggi itu.
“Hei kenapa kau terdiam? Jelaskan padaku apa maksud ucapanmu tadi?” Fatma terus meminta penjelasan dari adiknya dengan wajah memelas sembari menatap adiknya.
“Sepuluh tahun lalu, ketika Ayah masih sehat dan kita semua masih berkumpul bersama, aku merasakan bahagia yang begitu lengkap kak. Tidak ada satu pun dari kita yang berusaha menyakiti satu sama lain, seperti sekarang. Apakah kakak tidak merasakan hal itu berjalan berdampingan dengan kehidupan kita saat ini?” Novan mulai berkata panjang lebar.
“Saling menyakiti bagaimana maksudmu, aku masih belum paham dengan kalimat itu.”
“Sejak ditinggal pergi oleh Ayah, kita saling menjatuhkan satu sama lain. Semuanya hanya mencari kebahagiaan untuk masing-masing saja. Adakah yang tumbuh subur lantas bersikap seperti filosofi padi kak? Tidak ada!” Suara Novan seperti tercekik untuk mengutarakan segalanya.
Fatma terdiam mendengar penjelasan dari adiknya, ia tidak bisa berkutik dengan apa saja yang baru disampaikan Novan. Dengan perasaan takut, Novan mencoba menyampaikan apa yang tersimpan di dalam benaknya. Ia tidak ingin semuanya berlalu dengan luka dan linangan air mata. Sosok yang terkenal manja itu seketika menginginkan perubahan dari keluarganya. Novan tak ingin larut dalam sedihnya masa lalu yang sudah hilang ditelan zaman. Ia ingin semuanya menjadi tenteram seperti dulu. Tidak ada hati yang dilanda resah dan gelisah dalam mengarungi perjalanan waktu berlalu.
“Maafkan aku jika selama ini mata ini terlalu silau memandang segalanya Van, sebenarnya aku pun memiliki pengharapan yang sama dengan apa yang kamu pikirkan,” suara Fatma tak lagi tersekat. Dengan lambat air matanya meleleh membasahi jilbab biru laut yang ia kenakan. Entah mengapa, sulit bagi Novan untuk mengakhiri masa-masa kelam itu. Seperti masih begitu jelas semua itu terekam dalam memori hidupnya hingga saat ini. Teramat sukar baginya untuk menghapus segala yang telah tertulis itu.

Semuanya sudah berlalu, terhitung sejak Ayah tiada, semuanya sudah berubah. Novan hanya melewati hari dengan membesarkan hati dan pengharapan agar semua dapat kembali seperti dulu. Kanvas kenangan yang dulu terukir, kini balutannya sudah mulai pudar. Mungkin waktu yang sangat tajam telah menghunusnya menjadi kepingan kenangan yang sulit untuk disatukan. Berusaha dengan angan yang perkasa agar seluruh isinya dapat terjaga dengan baik, mungkinkah? Sudah tak mungkin mengemas rasa bahagia yang dulu pernah tercipta agar terlihat apik, padahal hujan berkali-kali datang menghanyutkan wujud kenangan itu. Semuanya hanya berharap dengan rasa yang penuh, sementara balutan kanvas kenangan itu jatuh mengecewakan dan sulit untuk dapat dikembalikan. Kanvas kenangan itu kini mulai pudar dan berharap pelukan masa lalu datang berjanji untuk saling membahagiakan. Semua menahan dekapan rindu dalam angan, tak satu pun berani melukiskannya dalam balutan kanvas itu. Berharap semua akan bersabar menjalani hari dengan kesetiaan, meski tak sedikit yang berusaha untuk jauh meninggalkan. Kanvas kenangan itu kini berbalut luka, tanpa hangatnya dekapan karena pengabaian rindu dan benih-benih pertemuan yang menggigil sendirian. 

AKHIR SEBUAH AWAL, AWAL SEBUAH AKHIR

Langit malam itu hitam pekat, aku tak bisa membuka mataku dengan sempurna. Seluruh tubuhku terasa begitu berat untuk digerakkan. Mencoba menatap sekeliling isi kamar itu, sepi. Tidak ada seorang pun di sana. Malam itu datang sebagai pengiring segala rasa sakit yang tersimpan. Tenggorokanku tersekat, ingin meneguk segelas air, namun tidak ada yang bisa membantuku mengambilkan air saat itu. Seperti benteng yang berusaha untuk berdiri kokoh, namun malam itu harus terjatuh. Bagai sedang berjalan pada pergantian musim di awal tahun, namun hujan datang menghujamku. Aku perlahan surut, tak kuasa melakukan apapun. Dengan hati yang mencoba menerima, aku ikhlas untuk gugur dan bersahabat dengan ruang penuh alat medis malam itu. Kejadian itu selalu menuntutku berdamai dengan masa, kemudian kenyataan datang memaksa merelakan segalanya. Melepaskan erat genggaman luka yang masih menganga. Benarkah masih ada kebahagiaan baru yang akan tercipta?
Chandra kemudian datang membawakan plastik hitam berisikan roti dan minuman. Ia adalah tetangga di perumahan yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Malam itu Chandra hadir bersama kekasihnya, Yuni Ismi Alviani. Mereka rela menemani dan menghabiskan waktu untuk menghibur dan merawat manusia yang sedang dalam keadaan lemah sepertiku. “Entahlah, apa yang salah dari hidup ini, mengapa Tuhan mengirimkan cobaan yang begitu berat untuk dilalui. Saat aku berusaha untuk mengenangnya lebih banyak, otakku selalu berontak dan berkata tidak. Padahal, aku ingin melepaskan segalanya hingga tidak ada lagi rasa luka yang tersisa.”
Mungkin kali ini harus menjadi pengangguran, berhenti memikirkan semuanya. Bertahan, melangkah dan membenahi segala yang masih tertinggal dan bisa untuk dibenahi. Tuhan tidak membiarkanku untuk berjuang sendirian. Walaupun terlihat sulit, masih ada rindu, tawa dan cinta yang akan setia menjadi teman. Semarak resah gelisah itu akan terhapus bersama hilangnya sakit yang aku rasakan. Aku masih ingin bermimpi panjang, mengajak tiap hiasan mimpi itu menjadi kenangan. Meski harus menahan duka merindu, aku masih percaya semua itu akan membuahkan tawa, meski tidak sekarang. Masih adakah luka yang lebih berat yang harus berkenalan dengan kehidupanku? Dawai angin sendu malam itu membawaku berpikir jauh untuk melepaskan segalanya. Meski mereka menganggap itu adalah kepingan ketololan dalam hidup, aku sudah menerimanya dengan ikhlas. Biarlah berlalu, terhempas gelombang besar pantai dan angin malam, agar semua hilang tanpa ada lagi kenangan tersisa untuk masa lalu yang tidak layak untuk dikenang. Bukankah duduk sendiri menyepi di tempat yang sepi adalah solusi terbaik saat bisingnya dunia tak lagi berteman baik? Bagaimana pun, riuh suara penderitaan yang pernah melaju akan hilang dan takkan lagi bergema. Riuhnya akan mati, hilang ditelan masa.
“Sudahlah, buanglah semua cemasmu untuk memikirkan segalanya, hidup kita akan baik-baik saja,” ungkap Chandra dengan nada ringan sambil menjulurkan obat yang harus aku habiskan. Ia seperti mampu membaca apa yang sedang aku rasakan. Padahal, aku sama sekali tidak bercerita apa-apa padanya. Sejak awal memasuki ruangan di rumah sakit ini, kami bahkan tidak banyak berungkap kata. Ia dan Yunis memintaku untuk banyak beristirahat dan segara kembali melakukan rutinitas seperti biasa.
“Ini adalah waktu untukmu beristirahat Mas, jadi nikmati saja dulu. Ini adalah awal untuk kembali lagi seperti sebelumnya, melakukan banyak rutinitas di sepanjang hari yang berlalu. Ini kesempatan untukmu,” tutur Yunis sembari meletakkan gadget kesayangannya di atas ranjang tepat di sebelah aku terbaring saat itu.
“Jika kau pernah merasakan ini sebelumnya, kau akan semakin tertempa untuk bangkit dan beranjak dari cerita hidup lama. Tenanglah sejenak, rasa takut itu tidak selalu menawarkan kesedihan. Rasa takut itu sudah lama berlalu meninggalkanmu. Meninggalkanmu dalam gigil dan pengapnya dunia sepanjang sisa waktu malam tadi beradu.”
Mereka terlalu baik untuk memeluk hening satu sama lain. Sementara malam akan terus berlalu tanpa meminta dan pamit sebelum ia berlalu. Kesunyian itu sudah tidak lagi ada, ia hilang bersama terpaan deras angin sebelum fajar datang mendekat. Sesaat aku tersadar, ini adalah bagian cerita untuk awal kehidupan yang akan terus melaju dengan harapan-harapan mulia yang masih tersisa. Redup cahaya lampu neon itu menjadi saksi untuk akhir cerita yang tak ingin lagi terulang dalam sisa nafas yang ada. Meski dinding lapuk akan dimakan usia, awal cerita ini akan terus bergulir, hingga malam tak lagi datang, dan matahari tak lagi bersinar. Aku kembali pada poros awal dan larut dalam cerita dan kepingan mimpi-mimpi yang sudah tertuliskan. Meski detik-detik berlalu terasa menyebalkan, awal langkah baru ini akan menjadi catatan perjuangan.

Kali ini langkah harus berpindah dengan masa yang lebih indah. Seperti indahnya Chandra dan Yunis yang selalu hadir dengan segala kebaikan mereka. Aku harap suasana awal perjalanan ini akan terus berpindah menjadi kenyataan baik dan berita bahagia. Titik kecemasan itu adalah akhir dari segalanya, masa depan masih menyimpan kejutan. Aku memutuskan pergi, berpaling dari bayang-bayang semu yang aku anggap sebagai penghalang segala impian. Meski harus kembali, aku akan hadir dengan perasaan nyata, bukan lagi seperti dulu. berpindah, adalah keputusan akhir yang menjadi awal untuk kembali memulai segalanya. Dan menutup lembaran masa lalu, adalah awal untuk akhir yang tak perlu lagi untuk disesali. Karena semua ada masanya, aku ingin awal yang nyata, bukan khayalan dan harapan kosong yang tak bernama. 

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...