"Aku tak bisa
melupakanmu meski kau sudah berlalu. Sudah setahun kepalaku selalu disesaki
kenangan lalu," jawabnya dengan napas tersengal sambil memaksakan dirinya
duduk tenang di ruang tamu berukuran mini itu.
"Bersabarlah.
Hatimu lebih luas dari yang kau sangka. Sudah saatnya untuk bangkit dan berdiri
lebih tegak lagi. Lebih tegak dalam memandang apa yang kau miliki saat ini. Kepergian
jangan sampai membuatmu kehilangan diri sendiri, itulah yang seharusnya kau pertahankan
hingga sekarang, aku piker kau mampu untuk itu."
"Aku sudah
mencoba, tapi tak bisa, bagaimana caranya?"
"Entahlah,
hatiku telah mati semenjak ia melangkah pergi," ia berkata dengan senyum
yang dipaksakan, sarat akan kegetiran.
Setelah kejadian itu
berlalu…
Selamat pagi, nona.
Mungkin alis manismu
bertautan saat membaca tulisanku ini. Seorang yang tak pernah bertegur sapa
tiba-tiba mengirimkan surat kepadamu. Entah ada angin apa, aku begitu saja
ingin bercerita kepadamu. Meski tidak semua dapat aku ungkapkan disini. Ah, tak
butuh angin kan untuk sekadar merasakan ingin? Sebenarnya aku malu menuliskan
ini, tapi hati begitu kuat memaksa akal, tangan, dan pikiran untuk menyampaikan
segala kecamuk yang ada di dalam dada.
Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka
memandang langit malam, mencari bintang neptunus yang dulu pernah ditunjukkan Ayahmu?
pindah dari satu sudut langit ke sudut langit yang lain demi mendapatkan apa
yang kau mau. Menutup sedikit matamu yang bulat memesona untuk menerka, apakah
yang di sana adalah bintang neptunus yang kau cari atau bukan. Lalu dengan
jemarimu yang lentik, kau menggaruk kepala yang tak gatal, hanya karena
kebingungan untuk menjawabnya.
Atau justru kau sudah bosan? Sebab beberapa minggu terakhir
langit begitu setia memuntahkan hujan. Jangankan gemintang, tukang nasi goreng
yang biasanya lewat di depan kosanmu, lalu kau memesan nasi goreng tanpa acar
pun, tak nampak batang hidungnya. Kau tahu kenapa? Itu sudah jauh dari
pandangan mata seperti yang biasa kau lakukan, ia menghindar untuk saat ini…
Bagaimana kabarmu?
Masihkah kau suka
membaca? Melafalkan paragraf-paragraf buku dengan mulutmu yang mungil tanpa
suara. Membaca setiap alinea dengan alis bertautan lalu tersenyum setelah
mendapat makna. Apa aku perlu bercerita tentang senyummu? Satu lengkung yang
mampu meluruskan banyak hal dari hidupku. Mungkin kau baru tahu sekarang, bahwa
aku adalah pengidola senyummu yang nomor satu. Bahkan aku punya selembar fotomu
saat kau tertawa begitu cerianya. Memamerkan gigi putih berseri dengan bibir
mungil berwarna merah delima yang menggantung cantik di wajahmu yang menarik.
Maaf sudah mencetak fotomu tanpa izin, semoga kau berkenan. Jika kau tidak
mengizinkan, akan aku kembalikan, tidak masalah untukku…
Mungkin kau
bertanya-tanya, mengapa aku bisa begitu tahu keseharianmu. Tenang saja, aku
tidak membuntuti. Hanya saja, orang yang mengagumi selalu punya cara untuk
mengetahui segala hal tentang orang yang dikaguminya. Entah dari media sosial,
teman-temanmu, atau sesuatu yang kusimpulkan sendiri berdasarkan hal yang
kulihat dari jauh. Tak perlu merasa terancam, aku tak akan berbuat yang
tidak-tidak. Kau cukuplah jalani kegiatanmu seperti biasa, dan aku akan tetap
memerhatikanmu dari jauh. Tak peduli perasaanku akan berbalas ataupun tidak.
Sebenarnya kita
pernah bertemu tatap beberapa kali. Hanya saja lidahku selalu lebih dulu
tercekat untuk sekadar menyuarakan sapa. Maka biasanya, aku hanya memalingkan
wajah, lalu diam tanpa kata. Seperti itu saja. Berkali-kali, berlama-lama.
Maka, izinkan aku memperkenalkan diri saat ini. Aku adalah Seseorang yang
mengagumi pesonamu dari jauh. Jika kau tidak berkenan membalas kejujuran
perkenalan singkatku barusan, lupakan saja!
Ini tentang malam
yang terlalu dingin untuk dibicarakan. Tentang kesepian yang tak pernah bosan
memeluk kesendirian. Tentang gigil gemelutuk yang memeluk kala bekunya setiap
debar perasaan yang datang. Kalimat ini tercipta dari kesedihan yang terlalu
dalam. Tentang kecemasan dan haru yang mengukung. Tentang perkara hati yang
membuat wajah selalu memasang seringai murung ketika menjalani hariku. Rima ini
tergagas dari lirih tangis yang tersengal. Emosi yang meluap saat kau
memutuskan untuk tanggal. Pergi meninggalkan.
Kesedihan begitu mudah mencipta dendam. Seberapa hebat pun
cinta membuat bahagia, pada akhirnya cinta pula yang paling bengis dalam
mengajarkan luka.
Ini tentang kamu
yang menjauh. Tentang jejakmu tak lagi berpijak di tempat yang sama. Tentang
langkah kaki yang berlalu memunggungi puncak yang akan didaki. Tentang genggam
tangan yang terlepas untuk melambaikan salam perpisahan. Tentang senyum getir
yang menyuruhku untuk tulus melepaskan. Tentang isak tangis tertahan yang
pelan-pelan menyuruhmu untuk tetap tinggal dan bertahan. Tentang gelengan
kepala yang secara tegas berkata tidak!
Kehilangan begitu fasih mengajarkan kebencian. Seberapa kuat
pun berusaha menahan, pada akhirnya kesepian tak pernah kehabisan cara dalam
memaksa untuk melepaskan kebersamaan.
Ini tentang
kesedihan yang tertinggal. Tentang bulir tangis yang tak lagi kuat terbendung
di kedua pelupuk mata. Tentang rintihan hati yang ringkih saat melepasmu pergi.
Tentang kesepian yang memeluk hari-hari. Tentang sendu yang tak lagi tahu
bagaimana mengajari wajah agar bisa memasang senyum. Tentang kegetiran yang menyayat
saat aku mengenangmu. Tentang doa-doa mengangkasa dengan lafal semoga kau
berbahagia, di sana. Tulus kehilangan, rela ditinggalkan..