Selasa, 17 November 2015

SALAM CINTA TERAKHIR

Tepat di persimpangan itu aku memandangmu, hingga tak lelah kedua mata ini menatapmu dari jauh karena keanggunanmu. Memperhatikan semua yang kau lakukan sejak dua jam lalu aku berada di sini. Aku yakin kau tak sadar jika ada aku yang diam-diam menatapmu dari kejauhan. Aku masih saja betah, meski dihujam gerimis yang tak kunjung bosan mencium rerumputan. Aku merasa semakin malu, saat harus menapaki satu persatu langkahmu yang terus menjauh. Karena faktanya, aku memilih mengagumimu meski tak yakin jika aku mampu untuk berjalan berdampingan bersamamu. Kau tahu? Itu semua lantaran benih cinta yang datang terlambat dan kita masih saja saling takut untuk berucap. Andaikan saja kita bisa saling terbuka dan berani berucap, kita pasti tidak akan setakut sekarang. Huh, mengapa kita harus berandai-andai?
Rasa itu kemudian meleleh, mencampakkanku hingga terbuang jauh dari mimpi-mimpi malamku. Dan lagi, air mataku berderai saling berjatuhan, terpaksa kuseka beberapa kali isak saat aku teringat. Mencoba melupakan bayangan wajahmu, senyum manismu, kata indahmu yang tak pernah kau nyatakan untukku, hingga rayu bernuansa romantis yang hanya aku temui di dunia mimpi malamku. Masih terang terbayang dalam lubuk ingatan, saat kau datang bersama temanmu mendekatiku. Kau justru nyaris tak berkata apa-apa, karena mungkin keberanian tidak berpihak pada kita. Air matamu justru membanjiri wajah manismu kala itu. Dengan bibir bergetar hebat, hanya ada satu kata yang mampu kau ucap “Semoga kau selalu bahagia.”
Saat aku mencoba bangkit, kau justru menjauh, seperti ada sekat yang terlihat jelas di depan kita. Kemudian tertunduk malu sambil menarik lengan temanmu dan berusaha menjauh. Kuberanikan diri menatap wajahmu dengan perasaan luruh seolah tak ada lagi tulang dan saraf nadiku saat itu. Dengan sikap termangu aku pun berusaha melepaskan satu kata untukmu, “Assalamu’alaikum Leli.”
Aku yakin kau tahu apa reaksi teman-temanku saat itu, mereka menertawakanku sejadi-jadinya. Aku hendak melangkah pergi dan menghilang, namun kau masih saja tampil menawan dengan sikap salah tingkahmu di hadapanku. Andai saat itu aku boleh tertawa, aku akan terbahak-bahak tanpa jeda dan usai. Ingin bercerita banyak padamu tapi kerongkonganku terasa tersekat batu besar yang menahanku untuk mengungkapkan banyak kata padamu. Seperti terserak dan tak berdaya berucap pada wanita anggun sepertimu. Aku sungguh malu, seperti tak ada lagi dayaku untuk melanjutkan hidup saat itu, jika tidak bersamamu. Inikah rasa cinta yang sesungguhnya? Atau akan berakhir luka karena rasa cinta yang tak mungkin untuk bisa saling memiliki.
“Maafkan aku Leli, aku harus berkata jujur padamu saat ini,” dengan lisan terbata-bata aku memberanikan diri berucap di depanmu. Di depan dua teman terbaik kita yang hadir dan ikut menyaksikan apa yang aku ungkapkan padamu hari itu.
“Kau ingin berucap apa Idham? Katakanlah, aku sudah siap mendengarkannya,” ungkapmu tenang saat duduk di samping Rahma, teman baikmu. Teman yang selama ini telah menjadi adik, kakak, sahabat, bahkan ibu dalam perjalanan panjangmu.
“Leli, aku memiliki rasa padamu, aku tidak bisa memendam rasa ini terlalu lama.”
Dengan penuh keberanian kau berkata “Rasa apa itu Idham?”
Kau justru menanggapi perkataanku dengan sesuatu yang mengundang rasa tawaku. Aku bingung harus bertindak seperti apa kala itu.
“Aku ingin berjalan denganmu Leli.”
“Bukankah saat ini kau sedang berjalan denganku? Juga dengan Rahma dan Andi yang menemani kita hari ini?”
“Bukan itu maksudku, aku menyimpan rasa untukmu, aku ingin, jika memang kau takdirku, aku ingin kita bisa berjalan berdampingan.”
Rahma dan Andi terkejut mendengar apa yang aku katakan. Mereka berdua malah menertawakanmu dan bertingkah yang membuatku semakin merasa malu berada di depanmu siang itu. Panas siang sontak berlalu setelah perkataanku itu menghujam jantungmu. Sepertinya matahari pun bertingkah sama dengan kedua temanku, ia menyesalkan apa yang baru aku ungkapkan di depanmu. Tapi, aku sadar, aku tidak mungkin menyimpan rasa ini terlalu lama. Apapun yang terjadi, aku telah berkata jujur padamu Leli. Jika memang kau berkenan, makan jawablah dengan penuh hati-hati. Namun, jika tidak, biarlah kau menjadi bagian puisi terindah yang pernah ada dalam dimensi busur hidupku.
“Aku menghormati apa yang kau katakan Idham, aku mengakui itu adalah niat baikmu terhadapku. Tapi, siapa pun yang datang pertama menemui kedua orang tuaku, itulah yang akan kuterima menjadi pendamping hidupku. Aku tidak mungkin berlama-lama menimbang hal-hal berbau sakral seperti cinta. Jika kau sudah siap, datanglah, temui orang tuaku.”
Tidak lama dari kejadian siang itu, kau pun berlalu, kau melangkah pergi meninggalkan jejak sepi dalam dimensi waktuku. Meninggalkan aku dengan sejuta saksi kesungguhan rasaku terhadapmu. Beginikah sakitnya rasa cinta yang tak bisa untuk saling bersama, melangkah maju menatap masa depan itu? Hari demi hari kulalui dengan keadaan yang tak biasa. Seperti ada yang hilang dan takkan lagi pernah kembali. Luka ini sungguh menyiksaku dan membuatku tak bahagia. Bahkan semua orang terdekatku pun merasakan hal yang sama. Hingga kini, aku masih menyimpan dengan baik bait-bait salam terakhir yang sering aku sebut salam cinta.
Pergilah, semoga waktu menjadi pengobat luka. Mengikis secuil demi secuil rasa sakit yang pernah mendera. Aku yakin kau pergi karena kau bahagia. Biarlah itu menjadi pilihan terbaik dalam hidupmu, meski di sini aku rindu dengan puluhan ribu kenangan yang pernah ada. Aku akan bahagia jika kau bahagia di sana. Aku akan berusaha menghentikan denyut cinta ini, karena aku sadar bahtera cintaku bukanlah dirimu. Ingatlah selalu akan salam cinta terakhir yang pernah aku ucapkan untukmu.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...