Tepat di persimpangan itu aku
memandangmu, hingga tak lelah kedua mata ini menatapmu dari jauh karena
keanggunanmu. Memperhatikan semua yang kau lakukan sejak dua jam lalu aku
berada di sini. Aku yakin kau tak sadar jika ada aku yang diam-diam menatapmu dari
kejauhan. Aku masih saja betah, meski dihujam gerimis yang tak kunjung bosan
mencium rerumputan. Aku merasa semakin malu, saat harus menapaki satu persatu
langkahmu yang terus menjauh. Karena faktanya, aku memilih mengagumimu meski
tak yakin jika aku mampu untuk berjalan berdampingan bersamamu. Kau tahu? Itu
semua lantaran benih cinta yang datang terlambat dan kita masih saja saling
takut untuk berucap. Andaikan saja kita bisa saling terbuka dan berani berucap,
kita pasti tidak akan setakut sekarang. Huh,
mengapa kita harus berandai-andai?
Rasa itu kemudian meleleh,
mencampakkanku hingga terbuang jauh dari mimpi-mimpi malamku. Dan lagi, air
mataku berderai saling berjatuhan, terpaksa kuseka beberapa kali isak saat aku
teringat. Mencoba melupakan bayangan wajahmu, senyum manismu, kata indahmu yang
tak pernah kau nyatakan untukku, hingga rayu bernuansa romantis yang hanya aku
temui di dunia mimpi malamku. Masih terang terbayang dalam lubuk ingatan, saat
kau datang bersama temanmu mendekatiku. Kau justru nyaris tak berkata apa-apa,
karena mungkin keberanian tidak berpihak pada kita. Air matamu justru
membanjiri wajah manismu kala itu. Dengan bibir bergetar hebat, hanya ada satu
kata yang mampu kau ucap “Semoga kau selalu bahagia.”
Saat aku mencoba bangkit, kau
justru menjauh, seperti ada sekat yang terlihat jelas di depan kita. Kemudian tertunduk malu sambil menarik lengan temanmu
dan berusaha menjauh. Kuberanikan diri menatap wajahmu dengan perasaan luruh
seolah tak ada lagi tulang dan saraf nadiku saat itu. Dengan sikap termangu aku
pun berusaha melepaskan satu kata untukmu, “Assalamu’alaikum
Leli.”
Aku yakin kau tahu apa reaksi
teman-temanku saat itu, mereka menertawakanku sejadi-jadinya. Aku hendak
melangkah pergi dan menghilang, namun kau masih saja tampil menawan dengan
sikap salah tingkahmu di hadapanku. Andai saat itu aku boleh tertawa, aku akan
terbahak-bahak tanpa jeda dan usai. Ingin bercerita banyak padamu tapi
kerongkonganku terasa tersekat batu besar yang menahanku untuk mengungkapkan
banyak kata padamu. Seperti terserak dan tak berdaya berucap pada wanita anggun
sepertimu. Aku sungguh malu, seperti tak ada lagi dayaku untuk melanjutkan
hidup saat itu, jika tidak bersamamu. Inikah rasa cinta yang sesungguhnya? Atau
akan berakhir luka karena rasa cinta yang tak mungkin untuk bisa saling
memiliki.
“Maafkan aku Leli, aku harus
berkata jujur padamu saat ini,” dengan lisan terbata-bata aku memberanikan diri
berucap di depanmu. Di depan dua teman terbaik kita yang hadir dan ikut
menyaksikan apa yang aku ungkapkan padamu hari itu.
“Kau ingin berucap apa Idham?
Katakanlah, aku sudah siap mendengarkannya,” ungkapmu tenang saat duduk di
samping Rahma, teman baikmu. Teman yang selama ini telah menjadi adik, kakak,
sahabat, bahkan ibu dalam perjalanan panjangmu.
“Leli, aku memiliki rasa
padamu, aku tidak bisa memendam rasa ini terlalu lama.”
Dengan penuh keberanian kau
berkata “Rasa apa itu Idham?”
Kau justru menanggapi
perkataanku dengan sesuatu yang mengundang rasa tawaku. Aku bingung harus
bertindak seperti apa kala itu.
“Aku ingin berjalan denganmu
Leli.”
“Bukankah saat ini kau sedang
berjalan denganku? Juga dengan Rahma dan Andi yang menemani kita hari ini?”
“Bukan itu maksudku, aku menyimpan
rasa untukmu, aku ingin, jika memang kau
takdirku, aku ingin kita bisa berjalan berdampingan.”
Rahma dan Andi terkejut
mendengar apa yang aku katakan. Mereka berdua malah menertawakanmu dan
bertingkah yang membuatku semakin merasa malu berada di depanmu siang itu. Panas
siang sontak berlalu setelah perkataanku itu menghujam jantungmu. Sepertinya
matahari pun bertingkah sama dengan kedua temanku, ia menyesalkan apa yang baru
aku ungkapkan di depanmu. Tapi, aku sadar, aku tidak mungkin menyimpan rasa ini
terlalu lama. Apapun yang terjadi, aku telah berkata jujur padamu Leli. Jika
memang kau berkenan, makan jawablah dengan penuh hati-hati. Namun, jika tidak,
biarlah kau menjadi bagian puisi terindah yang pernah ada dalam dimensi busur
hidupku.
“Aku menghormati apa yang kau katakan
Idham, aku mengakui itu adalah niat baikmu terhadapku. Tapi, siapa pun yang datang pertama menemui kedua orang tuaku, itulah
yang akan kuterima menjadi pendamping hidupku. Aku tidak mungkin berlama-lama
menimbang hal-hal berbau sakral seperti cinta. Jika kau sudah siap, datanglah,
temui orang tuaku.”
Tidak lama dari kejadian siang
itu, kau pun berlalu, kau melangkah pergi meninggalkan jejak sepi dalam dimensi
waktuku. Meninggalkan aku dengan sejuta saksi kesungguhan rasaku terhadapmu. Beginikah
sakitnya rasa cinta yang tak bisa untuk saling bersama, melangkah maju menatap
masa depan itu? Hari demi hari kulalui dengan keadaan yang tak biasa. Seperti
ada yang hilang dan takkan lagi pernah kembali. Luka ini sungguh menyiksaku dan
membuatku tak bahagia. Bahkan semua orang terdekatku pun merasakan hal yang
sama. Hingga kini, aku masih menyimpan dengan baik bait-bait salam terakhir
yang sering aku sebut salam cinta.
Pergilah, semoga waktu menjadi
pengobat luka. Mengikis secuil demi secuil rasa sakit yang pernah mendera. Aku
yakin kau pergi karena kau bahagia. Biarlah itu menjadi pilihan terbaik dalam
hidupmu, meski di sini aku rindu dengan puluhan ribu kenangan yang pernah ada. Aku
akan bahagia jika kau bahagia di sana. Aku akan berusaha menghentikan denyut
cinta ini, karena aku sadar bahtera cintaku bukanlah dirimu. Ingatlah selalu
akan salam cinta terakhir yang pernah aku ucapkan untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar