Senin, 16 November 2015

Catatan Senja

Hai senja, ingin kukabarkan padamu tentang langit yang kini sudah berubah menjadi lebih gelap, tentang bau tanah yang sedari kemarin sudah terkena serpihan hujan, tentang bumi yang tak lagi kekeringan, tentang jiwa-jiwa yang sangat senang dibalut awan hitam tanda hujan kan kembali terulang. Tahukah kau senja, sebenarnya memang langit sedang menangis, bukan karena bulan ini yang terkenang dan dijuluki dengan sebutan November rain, tapi memang banyak hati yang kini sedang menangis. Diantara mereka ada yang menahan rindu tak terbilang, namun juga tak sedikit yang tak berani untuk jujur dan berujar. Seperti ranting pepohonan yang jatuh lesu saat dahan tak lagi kuat menopang kerasnya angin yang datang. Maukah kau kubisikan senja, tentang tatapan mata yang sudah hilang melayang, terbang jauh dan takkan lagi menepi dan menyapa hari-hari yang akan sering ditemani dinginnya hujan. Diantara mereka ada juga yang enggan hinggap dengan sikap yang dingin, sedingin hujan kemarin saat tubuhku tak tertutup rapat oleh tebalnya selimut kamar lesuh nan tersipuh bak malu untuk berucap tentang kata-kata yang sudah siap menerjang kalbu. Ah, begitulah sikap manusia. Kau tahu senja, saat yang lain sibuk dengan kejamnya perjalanan dunia, ada juga yang tak kuasa menahan titikan air mata jatuh perlahan karena sakitnya hujaman kenangan yang tak bisa tersambungkan. Duhai, sakit apalagi yang lebih kejam selain memori masa silam yang masih terus berdatangan. Berusaha menyapa dan memohon masa indah akan kembali tiba, tapi nyatanya rindu sungguh menyalat luka, dalam sukma begitu terjulur nyata menepis satu demi satu dinding pertahanan yang sudah tak kuasa kau pun menahannya. Apakah kau baik-baik saja senja?
Masihkah kau kuat melilit jarak yang telah menciptakan ruang untuk merindu, namun rasamu itu tetap tertinggal, tertata rapi di bagian paling dasar, seperti tertuang dalam serpihan kasih sayang, namun sunyi dalam kelap malam begitu lihat melenyapkan. Bisakah kau mengelak untuk mengindar dari angin malam yang yang telah tega mengobrak abrik tumpukan kenangan, hingga lipatan yang kau ciptakan terlihat begitu berantakan. Senja, jujurlah tentang kebencian dan kehilanganmu yang tak bisa lagi kau sembunyikan, karena pada akhirnya kesepian akan memaksamu untuk melepaskan kenangan, merobek lugunya canda tawa hingga semua akan padam seperti tak pernah ada kisah, kisah tentangmu senja. Dalam sedetik masa berlalu, biarkan aku berbisik padamu, mungkin akan lebih baik jika kau merelakan dan melihat semuanya dari kejauhan, bukan karena tidak berambisi untuk kembali, tapi hempasan nafas memang sudah tidak lagi percaya pada takdir. Jalan memang panjang dan berliku, dan aku yakin kau akan sampai pada tujuanmu senja. Genggamlah erat apa yang mampu kau genggam, tak perlu lama-lama, jangan menunduk agar tertakluk, tapi biarkan segalanya akan menjadi catatan perjalanan di bulan yang penuh hujan, hujan Tuhan, hujanmu, hujan mereka. Sebelum kau berlalu, biarkan senja melepasmu dengan gurauan yang tak lagi terlihat syahdu; karena saat kau berkata kau merindu, senja juga ingin berbisik bahwa dia sangat merindumu lebih dari kepingan rindu yang kau punya, tapi akhirnya jangan terlalu banyak berkata, biarkan takdir menuliskan semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...