“Mengajar
adalah profesi mulia yang melahirkan banyak profesi yang lain. Mengajar adalah
pengabdian, mengajar adalah bukti cinta, mengajar adalah bentuk peduli.
Mengajar adalah seni tanpa batasan usia.”
Secercah harapan membuncah
mengantarkanku pada suatu masa yang begitu sulit untuk diterka. Karena pada
titik itu aku akan sadar betapa dunia pendidikan indah dan menyenangkan. Jalan
yang kutempuh ini tidak sama dengan
narasi cinta, yang berkata tentang sedih atau bahagia. Ini jalan positif yang
pernah menjadi kenangan manis saat aku memutuskan untuk berjuang bersama dengan
teman tercinta. Mengusap satu demi satu noktah kepedihan dan berada di puncak
lini masa depan. Zona ini adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidup yang
membuatku berani melangkah, menyusun kata baris demi baris hingga membentuk
sebuah naskah yang akan sama-sama dipertanggung jawabkan. Kami tenang, karena
masing-masing kami tidak berdiri sendiri, kami akan berjuang bersama untuk bisa
menaklukkan waktu dan menggapai asa yang pernah kami tulis.
Aku biasa menyebut tempat ini
sebagai rumah kedua, menjadi hiasan dalam sukma mimpi kala kita saling jauh dan
memaksa untuk kembali bersua. Tempat di mana kita menemukan sosok-sosok manusia
yang membuat langkah kita terasa nyaman dan berharga. Riak waktu berjalan
sekencang mungkin, sekuat langkah-langkah yang kita persiapkan untuk menjemput
impian. Dengan segala persiapan, kita sudah siap untuk saling bercerita tentang
perjuangan. Rasanya terlalu berat, ah tidak. Kita memiliki banyak nyawa yang
bisa diajak untuk berlelah-lelah. Ocehan mereka akan menjadi semangat yang
terus menyala, menyegarkan tiap niat yang sudah kita agungkan. Terkadang kita
merasa malu, tapi Tuhan tahu, bagaimana kami harus saling mengadu. Aku yakin,
mereka mengatakan hal yang membuat kami semakin kuat dalam melangkah.
Traveling and Teaching atau yang biasa kami sebut tnt
ini adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas 1000 guru Jogja. Aku
mengenal komunitas ini dari instagram berkat penuturan seorang teman dengan
banyaknya postingan-postingan seputar
kegiatan tnt. Setelah tahu akun IG nya, aku sering mengikuti postingan dari komunitas ini. Di awal
Agustus lalu, aku melihat bahwa komunitas 1000 guru regional Jogja sedang open recruitment volunteer untuk
kegiatan tnt #6, dimana kegiatan teaching
dilakukan MI Muhammadiyah Wonosobo, Gunung Kidul dan traveling ke bukit Kosakora serta pantai Drini. Karena aku suka
mengajar, memiliki passion di bidang
pendidikan dan suka jalan-jalan, hari itu juga saya putuskan untuk mendaftar
dalam kegiatan tersebut. Singkat cerita, aku pun
dinyatakan lolos dan bergabung menjadi salah satu bagian dari komunitas seribu
guru.
Konsep kegiatan tnt ini bagiku
sangat menarik, di samping kami bakal traveling
untuk memanjakan mata alias piknik, kami juga bakal berbagi keceriaan dengan
para siswa di sekolah. Kegiatan tnt #6 ini juga didukung dengan mobil JEP milik
VES Community Jogja. Jadi, kami berangkat menuju desa yang masih tergolong
pedalaman itu dengan mengendarai 11 mobil yang sudah disediakan tim inti 1000
guru Jogja. Volunteer dari kegiatan
kali ini juga beragam, ada yang dari Public
Relation hotel, Wiraswasta dari Surakarta, Reporter dari media online, Dokter Muda, mahasiswa, Trainer Outbond. Aku sendiri adalah
asisten dosen yang bergabung karena tertarik dengan kegiatan yang menurut saya
sangat positif bagi para volunteer.
Di tnt #6 kali ini, ada juga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Turki,
namanya kak Nuha. Walau dari latar belakang dan daerah asal yang berbeda, kami
memiliki tujuan dan harapan yang sama, memajukan pendidikan pedalaman.
Keberangkatan kami menuju lokasi sedikit terlambat karena menunggu salah satu volunteer yang datang jauh-jauh dari
Surabaya, namanya kak Risnanda Akbar.
Ada pemandangan yang berbeda
saat perjalanan dimulai, yakni kawalan 11 mobil yang berjejer di sepanjang
jalan menuju lokasi tujuan kami melaksanakan kegiatan. Melewati Bukit Bintang,
Dlinggo, hingga masuk daerah pelosok. Setelah melewati perjalanan panjang dan
memakan waktu kurang lebih 3 jam, akhirnya kami sampai di tempat penginapan.
Setibanya di lokasi, kami menurunkan barang, membereskan rumah, menata
peralatan, dan makan malam bersama-sama. Hingga jarum jam menunjukkan pukul
24.00 WIB, baik tim 1000 guru mau pun volunteer
masih berdiskusi sambil menyeruput kopi untuk mempersiapkan alat mengajar yang
akan digunakan esok harinya. Sebenarnya kantuk telah lama menghinggapi mata
kami, tapi kebersamaan dan kekeluargaan ini susah untuk ditemui hingga kantuk
itu pun hilang melayang.
Keesokan harinya, setelah
nyaring kokok ayam terdengar, kami pun bergegas bersih-bersih diri dan
mempersiapkan keperluan mengajar. Udara di pelosok memang khas, masih sejuk,
belum bercampur dengan polusi seperti di kota. Karena kamar mandi di tempat
penginapan cuma satu, kami para lelaki memutuskan untuk mandi di masjid yang
terletak tidak jauh dari basecamp.
Seperti memulai kehidupan yang tidak biasa, berbeda, tapi inilah perjuangan
kami sebagai wujud peduli bagi generasi masa depan yang tinggal di pedalaman.
Usai sarapan, kami berkumpul di
depan rumah dan bergegas berangkat menuju MI Muhammadiyah Wonosobo. Sebelum
berangkat kami membentuk lingkaran dan berteriak “Merdeka” sebagai awal
semangat kami menjalani kegiatan TnT kali ini. Pose cantik dan keren para tim
dan volunteer pun sudah diabadikan
oleh Mas Gilang dan Mas Bagus yang merupakan spesialis dokumentasi kegiatan
kami kali ini. Dengan langkah gagah dan senyum sumringah kami berjalan berjejer
menuju lokasi tempat mengajar. Ternyata adik-adik MI Muhammadiyah sudah menunggu
kami dan saat tiba di sana, mereka berlarian meraih tangan kami untuk
bersalaman dan mengucapkan salam. Terlihat wajah polos mereka, wajah-wajah
pemimpin masa depan bangsa ini. Kami pun berusaha membaur dan memberikan
semangat kepada seluruh siswa. Setelah selesai, kami mendatangi para guru
sekolah tersebut untuk saling bersalaman.
Ada enam ruang kelas di MI
Wonosobo, empat kelas yang sudah butuh perbaikan, dan hanya dua kelas yang
sepertinya baru dibangun karena gedungnya terlihat masih bagus serta lantainya
juga sudah keramik. Dari ruang kelas satu hingga kelas empat, kondisi kelasnya
cukup memprihatinkan, apalagi ruang kelas dua dan kelas tiga. Lantai, pintu,
dan mejanya sudah minta diganti dengan yang lebih layak lagi. Saat itu, aku, kak
Putri dan kak Ines diberikan kesempatan untuk mengajar di kelas lima, dan aku
merasakan bahwa memang mereka membutuhkan perhatian dalam bidang pendidikan.
Di kelas lima hanya ada 10
siswa, dan kebetulan hari itu yang masuk hanya 9 karena satu siswa sedang
absen. Sebelum kami mengajar, kami bertanya tentang pelajaran yang paling
gampang mengenai sains, tetapi ternyata mereka tidak tahu. Kami bertiga
memahami keadaan mereka. Dengan senyum tulus kami terus mengajar dan bercerita
tentang cita-cita. Dari kesembilan siswa itu, semua memiliki cita-cita yang
sangat tinggi, seperti Dewi yang ingin jadi dokter, Dea ingin jadi dokter
hewan, Amel ingin jadi polwan, putri ingin jadi guru, Fani ingin jadi perawat,
dan Geri ingin jadi tentara. Saat ditanya bagaimana agar cita-cita mereka bisa
terwujud, mereka menjawab bahwa mereka akan belajar dengan rajin, kuliah yang
tinggi, dan berdoa. Mendengar penuturan para siswa tersebut, kami seperti
tersentuh dan merasakan betapa seharusnya pemerintah menjamin dan memberikan
pendidikan yang lebih baik bagi mereka, terutama dalam hal fasilitas belajar.
Usai mengajar, kami bercerita
dan memotivasi adik-adik di dalam kelas tersebut agar terus giat belajar dan
berdoa hingga mereka bisa menggapai mimpi mereka. Setelah kegiatan belajar
selesai, tim 1000 guru juga memberikan bantuan berupa tas untuk setiap siswa
yang di dalam tas tersebut sudah berisikan alat tulis yang kiranya bisa
membantu kegiatan belajar mereka. Kami menyaksikan mereka tersenyum bahagia,
mereka senang karena tim 1000 guru bersama teman-teman volunteer bisa mengunjungi mereka untuk saling berbagi dan
memotivasi. “Semoga kalian sukses dan bahagia dik!” harapku kala itu.
Hal membahagiakan yang lain
adalah saat jam pelajaran sudah selesai, semua siswa berkumpul di halaman
sekolah, kami mengajak mereka untuk membentuk barisan dengan formasi 70 sesuai
dengan angka kemerdekaan bangsa kita yang ke 70 tahun di tahun 2015. Aksi itu
berlangsung sangat khidmat ditambah lagi dengan aksi tiga siswa yang mengganti
bendera yang sudah tua dengan bendera baru yang dibawa oleh komunitas 1000
guru. Di akhir-akhir nyanyian Indonesia raya yang kami nyanyikan secara
bersama-sama, kami sadar bahwa hari itu adalah hari yang begitu menyentuh bagi
kami para volunteer dan juga bagi
para guru yang ada di sana. Hari itu kebahagiaan hadir di wajah para siswa,
guratan sedih belajar dengan alat sederhana itu kini telah berganti menjadi
riak tawa senyum yang tak terbendung lagi. Bukan hanya kami yang bahagia
melihat aksi itu terlaksana dengan baik dan sempurna, para dewan guru juga
bangga dengan rasa peduli yang masih tersisa dari sosok-sosok anak muda seperti
kami. Mereka mengaku senang karena kami turut bisa mengunjungi sekolah tersebut
dan berbagi bersama para siswa di sana.
Setelah beberapa saat kemudian,
para siswa kembali dihebohkan dan dibuat tertawa dengan aksi salah satu volunteer, kak Ismoyo Mardhika. Ia
adalah salah satu relawan yang sudah terbiasa melakukan perjalanan untuk
berbagi dengan para siswa-siswa di Surakarta. Kelihaiannya untuk bernyanyi
telah mampu menghipnotis semua siswa yang saat itu sedang berkumpul dengan para
relawan pendamping di ruang kelas enam. Mulai dari bernyanyi, bercerita, hingga
memimpin permainan di kelas, kak Ismoyo selalu memberikan gerakan yang
totalitas. Adalah aksi yang membuat sakit perut para relawan, saat ia memanggil
para siswa untuk berkumpul dan mengajak mereka untuk berfoto bersama dengan
gaya bebas yang tidak kami duga dan kami pikirkan sebelumnya. Jika saat ini
orang sering menyebutnya dengan istilah selfie,
grufie, dll. Siswa yang tidak terbiasa, bahkan mungkin tidak pernah
merasakan hal tersebut akhirnya tersenyum lebar dan berterima kasih pada kak
Ismoyo yang sudah mengajarkan mereka banyak hal baru saat itu.
Kisah di sekolah semakin
sempurna, saat Mas Bagus dan Mas Dee keliling dari satu kelas ke kelas yang
lain untuk mengabadikan setiap momen yang terjadi. Mereka berdua dengan sabar
menanti ekspresi terbaik yang keluar dari setiap siswa yang hadir. Tanpa lupa
memberikan senyum santun, keduanya dengan gigih bertanya dan menjalani tugas
mereka dengan baik. Hal itu pula yang dilakukan oleh kak Lina dan Ulfa,
keduanya begitu sabar mengajari anak didik mereka. Tanpa lelah dan ungkapan
sulit, keduanya tampil dengan gaya yang patut ditiru oleh semua siswanya.
Bahagia sekali hari itu melihat pemandangan yang ada di depan mata. Satu sama
lain saling bahu membahu untuk memberikan pengabdian terbaik mereka. Melihat
cita-cita yang mereka tuliskan, kami seolah sedang berdoa dengan khusyuk dan
mengharapkan agar mimpi-mimpi mereka menjadi nyata. Tanpa melihat latar
belakang mereka saat ini, kami yakin mereka pasti bisa menjadi insan pilihan,
pemimpin masa depan yang gemilang.
Usai mengajar di sekolah, kami
langsung menuju masjid untuk melaksanakan salat dzuhur kemudian kembali ke rumah penginapan. Acara santap makan
siang kala itu sedikit berbeda. Ditemani senyuman manis dan gelak tawa haru,
ruang makan siang itu benar-benar menyala. Satu sama lain saling bercerita dan
berbagi pengalaman saat mengajar di sekolah. Sambil terus menghabiskan nasi
yang tersedia di piring, masing-masing kami mengucap syukur yang tak terkira
karena perjalanan berbagi dalam rangka memerdekakan pendidikan pedalaman di
Indonesia telah berjalan sesuai dengan rencana kami semua. Semilir angin
kemudian hinggap seperti berkisah singkat, bahwa bahagia itu kini sudah
tersebar di seluruh penjuru tempat yang kami singgahi. Tak ada lagi rasa
bimbang dan takut menghantui hari-hari mereka untuk bisa belajar dengan baik
dan nyaman. Tak henti-hentinya kami saling menyemangati sesama relawan untuk
bisa terus menginspirasi mereka.
Perjalanan kami tidak hanya
berhenti di sana, setelah makan siang, kami kemudian melanjutkan perjalanan
menuju pantai Drini dan akan tracking
ke bukit Kosakora untuk bisa menyaksikan sunset
yang indah ditemani deburan ombak di pantai yang begitu memanjakan mata
tersebut. Tak lama menanti, sunset
menawan penuh takjub itu pun tiba menyapa kami. Hingga tidak kuat rasanya
menahan, pose-pose indah pun akhirnya bertebaran di bukit Kosakora itu. Senja
itu berlalu penuh tawa bahagia karena lelah tak lagi berteman di antara pundak
yang sudah bebas untuk bercengkerama melihat pantai luas, lepas, seraya
mengucapkan syukur atas kebersamaan dan nikmat Tuhan yang tiada tara.
Kemudian kembali, mandi, dan
bersiap untuk membangun tenda di samping pantai lepas yang sudah kami lalui
sebelumnya. Tidak terlalu jauh dari tempat mobil kami diparkirkan. Mandi di
sana harus antri, karena kamar mandinya terbatas dengan jumlah jiwa yang lumayan
banyak. Tapi, di sana lah sensasi kebersamaan, kesabarannya terasa. Mandi
antri, makan pakai bungkus nasi padang, dengan lauk dan menu seadanya, tapi
nikmat banget. Beneran, rasanya beda,
kebersamaannya itu loh, langka. Sungguh saat itu kami merasakan apa yang tidak
biasa kami rasakan. Meski awalnya prosesnya terlihat begitu sulit dan
melelahkan, namun fakta yang ada berbeda. Kami justru ingin kegiatan ini
kembali diulang, diperpanjang, agar kami bisa menumbuhkan banyak semangat bagi
siswa-siswa di pedalaman.
Malam itu, walaupun masih malam
kedua kita kumpul bersama, tapi kami sudah lama saling kenal satu sama lain.
Keakraban sudah terjalin, mulai dari makan, bakar-bakar ikan di depan tenda,
hingga menanti waktu memejamkan mata sambil menikmati syahdunya pemandangan
langit malam penuh bintang ditemani debur ombak di pantai. Masing-masing kami
saling bercerita tentang pelajaran hidup yang didapat dari banyaknya pengalaman
yang sudah dirasakan. Berbagi tawa, berbagi kisah asmara yang mengundang gelak
tawa tak berbatas namun berbekas di setiap kisah yang sudah terlewati bersama.
Puncak kegiatan traveling nya adalah saat mentari pagi
telah bersinar, kami semua sudah mengenakan pakaian yang sama yaitu kaos
berwarna putih. Kegiatan pagi itu adalah main bola dengan kaki diikat
menggunakan tali rapia, kebayang kan nendangnya susah-susah gimana gitu. Yang kalah dapat hukuman nyanyi sambil joget di depan
umum. Tanpa rasa malu, kelompok yang kalah pun segera maju menaiki pentas yang
sudah disediakan panitia. Mereka yang kalah kemudian bernyanyi dan berjoget
dengan santai dan percaya diri. Meski baru dua hari kenal, kami sudah seperti
keluarga sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan lomba makan kerupuk yang sudah
melempem, bak sedang makan rendang Padang bagi mereka yang ikut lomba saat itu.
Kehebohan saat lomba, saling tarik peserta yang satu dengan yang lain semakin menambah
serunya lomba. Tidak bisa dipungkiri, semuanya sudah sangat dekat tanpa butuh
waktu lebih lama untuk saling mempererat jalinan kebersamaan.
Akhirnya, kami main lempar-lemparan
serbuk sambil berlarian yang biasanya dikenal dengan colour run sambil photo-photo di pinggir pantai. Semua relawan yang
sudah memakai kaos putih harus kena lemparan serbuk agar akhir dari kegiatan
itu benar-benar membekas. Tidak hanya membekas karena semua peserta sudah
seperti saudara, tetapi juga agar serbuk yang tinggal di kaos yang kami kenakan
menjadi pengingat akan perjalanan yang sudah kami lakukan dan kami lalui
bersama. Siang itu kami seperti mendengar deburan ombak pantai yang tak ingin
kami tinggal. Kami bangga bisa melakukan perubahan dan bersyukur karena
diberikan kesempatan untuk menikmati hamparan semesta yang tak terbilang
indahnya. Meski tinggal hitungan jam kami akan kembali, rasa betah masih saja
menghinggapi dan akhirnya meminta kami untuk bisa lebih lama tinggal di sana.
Tidak hanya sepi yang akan tiba jika sudah kembali, namun semangat perubahan
juga akan cemas saat kami akan terpisahkan.
Pasir-pasir pinggir pantai
seolah berbisik, ciptaan Tuhan itu takkan terusik jika kami masih ingin lama
bersama mereka. Air seolah berhenti mengalir dan deburan ombak takkan lagi
datang menyambar jika kami memutuskan untuk pergi kembali. Bukit hijau nan
menawan tempat kami mendirikan tenda juga tak sudi melepaskan penguat
tenda-tenda itu. Ia masih ingin kami berada di sana lebih lama lagi, memberikan
banyak kebahagiaan untuk banyak siswa dan juga kebersamaan untuk sesama relawan
yang sudah menetapkan hatinya mengikuti perjalanan singkat itu. Huh, andai waktu bisa diajak kompromi
dan bisa membawa kami kembali pada rangkaian kegiatan dua hari yang lalu, tidak
akan secepat ini perpisahan terjadi.
Semua barang sudah dikemas dan
masuk ke dalam mobil JEP yang siap mengangkut kami untuk kembali pulang.
Kembali kepada realita hidup masing-masing profesi yang sudah kami genggam. Menjalani
hari tanpa sengatan semangat dari para relawan dan tim inti yang sudah sangat
dekat dengan kami. Dan lagi, perpisahan selalu menjadi akhir yang pahit saat
pertemuan yang tak diduga harus diakhiri dengan segera. Perpisahan begitu kejam
memutuskan kebersamaan yang sudah tercipta. Ia dengan mudah menghentikan
detakan langkah dan berkata bahwa semua rangkaian peristiwa sudah berlalu dan
berakhir.
Kegiatan tnt #6 ini menjadi
pengalaman yang berharga, di samping peduli pendidikan pedalaman, kami juga
saling berbagi tentang kisah perjalanan hidup. Hampir dua hari dengan fasilitas
seadanya, ternyata kita bisa membentuk
keluarga baru yang begitu akrab. Semoga kegiatan ini membuka mata pemerintah
untuk bisa menyalurkan perhatian dan peduli terhadap generasi-generasi yang
tinggal di pedalaman. Sehingga, banyak peserta didik yang akan lahir dan tumbuh
menjadi pemimpin masa depan negeri ini.
Sungguh syukur yang tak terkira
dan tak terjumlah dengan hitungan angka, saat diberikan kesempatan untuk
bertemu dengan tim inti dan para relawan komunitas seribu guru Jogja. Dengan
latar belakang yang sungguh berbeda satu sama lain, kami dipersatukan dengan
satu tujuan, kami ingin memerdekakan pendidikan pedalaman. Kami peduli kemajuan
pendidikan pedalaman. Dengan angka kemerdekaan yang sudah genap dalam hitungan
70 tahun, kami ingin pendidikan Indonesia lebih baik dan lebih merata. Tidak
hanya tenaga pengajar yang kompeten, tetapi juga akses dan fasilitas belajar
yang kami perhatikan untuk mereka siswa-siswa di daerah pedalaman.
Gerakan seribu guru ini adalah
salah satu wujud peduli terhadap realita kemerdekaan yang sesungguhnya. Berbekal
pengetahuan dan tekad yang sama, inilah wujud cinta kami terhadap Indonesia
yang kami sanjung, kami banggakan, dan kami jaga. Kami cinta terhadap Indonesia
dan kami coba mengekspresikan cinta kami dengan saling berbagi dengan mereka
yang hari ini masih membutuhkan uluran tangan kami. Kami peduli terhadap
Indonesia dan kami mencoba untuk meredam semua ego yang ada agar kemerdekaan
Indonesia memang layak diakui, dijunjung tinggi, dan dipelihara.
Kami adalah bagian dari
Indonesia yang kaya akan budaya, yang beragam bahasa, yang berlatar belakang
berbeda, namun bisa menjadi satu dalam memperjuangkan nasib sesama anak bangsa.
Kami maju dan menjadi satu dalam memperjuangkan masa depan putra putri bangsa
Indonesia yang berada di pedalaman dan membutuhkan kepedulian. Dengan satu
tujuan yang masih sama, kami ingin bangsa ini merdeka di segala lini kehidupan.
Kami bangga menjadi darah daging Indonesia yang majemuk. Perjalanan ini adalah
wujud kebanggaan atas kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur, yang sudah berusia,
yang sudah terpaut tua. Perjalanan mengajar ini adalah penghargaan bagi para
pejuang dan juga pahlawan Indonesia yang sudah membela bangsa. Keberagaman ini
menjadi motivasi bagi kami untuk bisa terus peduli terhadap pendidikan. Karena
pendidikan adalah salah satu sektor yang harus terus dibenahi demi kemajuan
bangsa.
Buat kakak-kakak tim 1000 guru
Jogja, Mas Dee, Mas Bagus, Mas Juple, Mas Satriawan, Kak Yosi, Kak Rosi, Kak
Ayu, Kak Nisa, Kak Naj, Kak Cadika, Kak Ayub, terima kasih banyak untuk kesempatan
yang telah diberikan kepada kami. Bagi rekan-rekan volunteer, kalian luar biasa. Tetap jaga silaturahmi kita ya
teman-teman 1000 guru. Senang bisa mengenal kalian, kalian semua keren. Tetap
bergerak aktif, positif, dan menginspirasi di mana pun kalian berada. Mari
menginspirasi dan terinspirasi, karena aku, kamu, kami semua cinta Indonesia.
Tanah air kebanggaan yang akan selalu kami jaga dan kami lestarikan.
Merdu Kumandang adzan siang itu seolah memberikan
semangat baru sekaligus saksi perjalanan mereka dalam meraih asa dan menjemput
masa depan siswa di daerah pedalaman. Saat senja itu datang, kami kembali ke
peraduan untuk mewujudkan mimpi-mimpi masa depan yang sudah tertuliskan. Kami
yakin, cinta kami untuk Indonesia akan selalu tumbuh subur, takkan luntur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar