Selasa, 17 November 2015

Cinta Generasi Masa Depan

“Mengajar adalah profesi mulia yang melahirkan banyak profesi yang lain. Mengajar adalah pengabdian, mengajar adalah bukti cinta, mengajar adalah bentuk peduli. Mengajar adalah seni tanpa batasan usia.”
Secercah harapan membuncah mengantarkanku pada suatu masa yang begitu sulit untuk diterka. Karena pada titik itu aku akan sadar betapa dunia pendidikan indah dan menyenangkan. Jalan yang  kutempuh ini tidak sama dengan narasi cinta, yang berkata tentang sedih atau bahagia. Ini jalan positif yang pernah menjadi kenangan manis saat aku memutuskan untuk berjuang bersama dengan teman tercinta. Mengusap satu demi satu noktah kepedihan dan berada di puncak lini masa depan. Zona ini adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidup yang membuatku berani melangkah, menyusun kata baris demi baris hingga membentuk sebuah naskah yang akan sama-sama dipertanggung jawabkan. Kami tenang, karena masing-masing kami tidak berdiri sendiri, kami akan berjuang bersama untuk bisa menaklukkan waktu dan menggapai asa yang pernah kami tulis.
Aku biasa menyebut tempat ini sebagai rumah kedua, menjadi hiasan dalam sukma mimpi kala kita saling jauh dan memaksa untuk kembali bersua. Tempat di mana kita menemukan sosok-sosok manusia yang membuat langkah kita terasa nyaman dan berharga. Riak waktu berjalan sekencang mungkin, sekuat langkah-langkah yang kita persiapkan untuk menjemput impian. Dengan segala persiapan, kita sudah siap untuk saling bercerita tentang perjuangan. Rasanya terlalu berat, ah tidak. Kita memiliki banyak nyawa yang bisa diajak untuk berlelah-lelah. Ocehan mereka akan menjadi semangat yang terus menyala, menyegarkan tiap niat yang sudah kita agungkan. Terkadang kita merasa malu, tapi Tuhan tahu, bagaimana kami harus saling mengadu. Aku yakin, mereka mengatakan hal yang membuat kami semakin kuat dalam melangkah.
Traveling and Teaching atau yang biasa kami sebut tnt ini adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas 1000 guru Jogja. Aku mengenal komunitas ini dari instagram berkat penuturan seorang teman dengan banyaknya postingan-postingan seputar kegiatan tnt. Setelah tahu akun IG nya, aku sering mengikuti postingan dari komunitas ini. Di awal Agustus lalu, aku melihat bahwa komunitas 1000 guru regional Jogja sedang open recruitment volunteer untuk kegiatan tnt #6, dimana kegiatan teaching dilakukan MI Muhammadiyah Wonosobo, Gunung Kidul dan traveling ke bukit Kosakora serta pantai Drini. Karena aku suka mengajar, memiliki passion di bidang pendidikan dan suka jalan-jalan, hari itu juga saya putuskan untuk mendaftar dalam kegiatan tersebut. Singkat cerita, aku pun dinyatakan lolos dan bergabung menjadi salah satu bagian dari komunitas seribu guru.
Konsep kegiatan tnt ini bagiku sangat menarik, di samping kami bakal traveling untuk memanjakan mata alias piknik, kami juga bakal berbagi keceriaan dengan para siswa di sekolah. Kegiatan tnt #6 ini juga didukung dengan mobil JEP milik VES Community Jogja. Jadi, kami berangkat menuju desa yang masih tergolong pedalaman itu dengan mengendarai 11 mobil yang sudah disediakan tim inti 1000 guru Jogja. Volunteer dari kegiatan kali ini juga beragam, ada yang dari Public Relation hotel, Wiraswasta dari Surakarta, Reporter dari media online, Dokter Muda, mahasiswa, Trainer Outbond. Aku sendiri adalah asisten dosen yang bergabung karena tertarik dengan kegiatan yang menurut saya sangat positif bagi para volunteer. Di tnt #6 kali ini, ada juga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Turki, namanya kak Nuha. Walau dari latar belakang dan daerah asal yang berbeda, kami memiliki tujuan dan harapan yang sama, memajukan pendidikan pedalaman. Keberangkatan kami menuju lokasi sedikit terlambat karena menunggu salah satu volunteer yang datang jauh-jauh dari Surabaya, namanya kak Risnanda Akbar.
Ada pemandangan yang berbeda saat perjalanan dimulai, yakni kawalan 11 mobil yang berjejer di sepanjang jalan menuju lokasi tujuan kami melaksanakan kegiatan. Melewati Bukit Bintang, Dlinggo, hingga masuk daerah pelosok. Setelah melewati perjalanan panjang dan memakan waktu kurang lebih 3 jam, akhirnya kami sampai di tempat penginapan. Setibanya di lokasi, kami menurunkan barang, membereskan rumah, menata peralatan, dan makan malam bersama-sama. Hingga jarum jam menunjukkan pukul 24.00 WIB, baik tim 1000 guru mau pun volunteer masih berdiskusi sambil menyeruput kopi untuk mempersiapkan alat mengajar yang akan digunakan esok harinya. Sebenarnya kantuk telah lama menghinggapi mata kami, tapi kebersamaan dan kekeluargaan ini susah untuk ditemui hingga kantuk itu pun hilang melayang.
Keesokan harinya, setelah nyaring kokok ayam terdengar, kami pun bergegas bersih-bersih diri dan mempersiapkan keperluan mengajar. Udara di pelosok memang khas, masih sejuk, belum bercampur dengan polusi seperti di kota. Karena kamar mandi di tempat penginapan cuma satu, kami para lelaki memutuskan untuk mandi di masjid yang terletak tidak jauh dari basecamp. Seperti memulai kehidupan yang tidak biasa, berbeda, tapi inilah perjuangan kami sebagai wujud peduli bagi generasi masa depan yang tinggal di pedalaman.
Usai sarapan, kami berkumpul di depan rumah dan bergegas berangkat menuju MI Muhammadiyah Wonosobo. Sebelum berangkat kami membentuk lingkaran dan berteriak “Merdeka” sebagai awal semangat kami menjalani kegiatan TnT kali ini. Pose cantik dan keren para tim dan volunteer pun sudah diabadikan oleh Mas Gilang dan Mas Bagus yang merupakan spesialis dokumentasi kegiatan kami kali ini. Dengan langkah gagah dan senyum sumringah kami berjalan berjejer menuju lokasi tempat mengajar. Ternyata adik-adik MI Muhammadiyah sudah menunggu kami dan saat tiba di sana, mereka berlarian meraih tangan kami untuk bersalaman dan mengucapkan salam. Terlihat wajah polos mereka, wajah-wajah pemimpin masa depan bangsa ini. Kami pun berusaha membaur dan memberikan semangat kepada seluruh siswa. Setelah selesai, kami mendatangi para guru sekolah tersebut untuk saling bersalaman.
Ada enam ruang kelas di MI Wonosobo, empat kelas yang sudah butuh perbaikan, dan hanya dua kelas yang sepertinya baru dibangun karena gedungnya terlihat masih bagus serta lantainya juga sudah keramik. Dari ruang kelas satu hingga kelas empat, kondisi kelasnya cukup memprihatinkan, apalagi ruang kelas dua dan kelas tiga. Lantai, pintu, dan mejanya sudah minta diganti dengan yang lebih layak lagi. Saat itu, aku, kak Putri dan kak Ines diberikan kesempatan untuk mengajar di kelas lima, dan aku merasakan bahwa memang mereka membutuhkan perhatian dalam bidang pendidikan.
Di kelas lima hanya ada 10 siswa, dan kebetulan hari itu yang masuk hanya 9 karena satu siswa sedang absen. Sebelum kami mengajar, kami bertanya tentang pelajaran yang paling gampang mengenai sains, tetapi ternyata mereka tidak tahu. Kami bertiga memahami keadaan mereka. Dengan senyum tulus kami terus mengajar dan bercerita tentang cita-cita. Dari kesembilan siswa itu, semua memiliki cita-cita yang sangat tinggi, seperti Dewi yang ingin jadi dokter, Dea ingin jadi dokter hewan, Amel ingin jadi polwan, putri ingin jadi guru, Fani ingin jadi perawat, dan Geri ingin jadi tentara. Saat ditanya bagaimana agar cita-cita mereka bisa terwujud, mereka menjawab bahwa mereka akan belajar dengan rajin, kuliah yang tinggi, dan berdoa. Mendengar penuturan para siswa tersebut, kami seperti tersentuh dan merasakan betapa seharusnya pemerintah menjamin dan memberikan pendidikan yang lebih baik bagi mereka, terutama dalam hal fasilitas belajar.
Usai mengajar, kami bercerita dan memotivasi adik-adik di dalam kelas tersebut agar terus giat belajar dan berdoa hingga mereka bisa menggapai mimpi mereka. Setelah kegiatan belajar selesai, tim 1000 guru juga memberikan bantuan berupa tas untuk setiap siswa yang di dalam tas tersebut sudah berisikan alat tulis yang kiranya bisa membantu kegiatan belajar mereka. Kami menyaksikan mereka tersenyum bahagia, mereka senang karena tim 1000 guru bersama teman-teman volunteer bisa mengunjungi mereka untuk saling berbagi dan memotivasi. “Semoga kalian sukses dan bahagia dik!” harapku kala itu.
Hal membahagiakan yang lain adalah saat jam pelajaran sudah selesai, semua siswa berkumpul di halaman sekolah, kami mengajak mereka untuk membentuk barisan dengan formasi 70 sesuai dengan angka kemerdekaan bangsa kita yang ke 70 tahun di tahun 2015. Aksi itu berlangsung sangat khidmat ditambah lagi dengan aksi tiga siswa yang mengganti bendera yang sudah tua dengan bendera baru yang dibawa oleh komunitas 1000 guru. Di akhir-akhir nyanyian Indonesia raya yang kami nyanyikan secara bersama-sama, kami sadar bahwa hari itu adalah hari yang begitu menyentuh bagi kami para volunteer dan juga bagi para guru yang ada di sana. Hari itu kebahagiaan hadir di wajah para siswa, guratan sedih belajar dengan alat sederhana itu kini telah berganti menjadi riak tawa senyum yang tak terbendung lagi. Bukan hanya kami yang bahagia melihat aksi itu terlaksana dengan baik dan sempurna, para dewan guru juga bangga dengan rasa peduli yang masih tersisa dari sosok-sosok anak muda seperti kami. Mereka mengaku senang karena kami turut bisa mengunjungi sekolah tersebut dan berbagi bersama para siswa di sana.
Setelah beberapa saat kemudian, para siswa kembali dihebohkan dan dibuat tertawa dengan aksi salah satu volunteer, kak Ismoyo Mardhika. Ia adalah salah satu relawan yang sudah terbiasa melakukan perjalanan untuk berbagi dengan para siswa-siswa di Surakarta. Kelihaiannya untuk bernyanyi telah mampu menghipnotis semua siswa yang saat itu sedang berkumpul dengan para relawan pendamping di ruang kelas enam. Mulai dari bernyanyi, bercerita, hingga memimpin permainan di kelas, kak Ismoyo selalu memberikan gerakan yang totalitas. Adalah aksi yang membuat sakit perut para relawan, saat ia memanggil para siswa untuk berkumpul dan mengajak mereka untuk berfoto bersama dengan gaya bebas yang tidak kami duga dan kami pikirkan sebelumnya. Jika saat ini orang sering menyebutnya dengan istilah selfie, grufie, dll. Siswa yang tidak terbiasa, bahkan mungkin tidak pernah merasakan hal tersebut akhirnya tersenyum lebar dan berterima kasih pada kak Ismoyo yang sudah mengajarkan mereka banyak hal baru saat itu.
Kisah di sekolah semakin sempurna, saat Mas Bagus dan Mas Dee keliling dari satu kelas ke kelas yang lain untuk mengabadikan setiap momen yang terjadi. Mereka berdua dengan sabar menanti ekspresi terbaik yang keluar dari setiap siswa yang hadir. Tanpa lupa memberikan senyum santun, keduanya dengan gigih bertanya dan menjalani tugas mereka dengan baik. Hal itu pula yang dilakukan oleh kak Lina dan Ulfa, keduanya begitu sabar mengajari anak didik mereka. Tanpa lelah dan ungkapan sulit, keduanya tampil dengan gaya yang patut ditiru oleh semua siswanya. Bahagia sekali hari itu melihat pemandangan yang ada di depan mata. Satu sama lain saling bahu membahu untuk memberikan pengabdian terbaik mereka. Melihat cita-cita yang mereka tuliskan, kami seolah sedang berdoa dengan khusyuk dan mengharapkan agar mimpi-mimpi mereka menjadi nyata. Tanpa melihat latar belakang mereka saat ini, kami yakin mereka pasti bisa menjadi insan pilihan, pemimpin masa depan yang gemilang.
Usai mengajar di sekolah, kami langsung menuju masjid untuk melaksanakan salat dzuhur kemudian kembali ke rumah penginapan. Acara santap makan siang kala itu sedikit berbeda. Ditemani senyuman manis dan gelak tawa haru, ruang makan siang itu benar-benar menyala. Satu sama lain saling bercerita dan berbagi pengalaman saat mengajar di sekolah. Sambil terus menghabiskan nasi yang tersedia di piring, masing-masing kami mengucap syukur yang tak terkira karena perjalanan berbagi dalam rangka memerdekakan pendidikan pedalaman di Indonesia telah berjalan sesuai dengan rencana kami semua. Semilir angin kemudian hinggap seperti berkisah singkat, bahwa bahagia itu kini sudah tersebar di seluruh penjuru tempat yang kami singgahi. Tak ada lagi rasa bimbang dan takut menghantui hari-hari mereka untuk bisa belajar dengan baik dan nyaman. Tak henti-hentinya kami saling menyemangati sesama relawan untuk bisa terus menginspirasi mereka.   
Perjalanan kami tidak hanya berhenti di sana, setelah makan siang, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju pantai Drini dan akan tracking ke bukit Kosakora untuk bisa menyaksikan sunset yang indah ditemani deburan ombak di pantai yang begitu memanjakan mata tersebut. Tak lama menanti, sunset menawan penuh takjub itu pun tiba menyapa kami. Hingga tidak kuat rasanya menahan, pose-pose indah pun akhirnya bertebaran di bukit Kosakora itu. Senja itu berlalu penuh tawa bahagia karena lelah tak lagi berteman di antara pundak yang sudah bebas untuk bercengkerama melihat pantai luas, lepas, seraya mengucapkan syukur atas kebersamaan dan nikmat Tuhan yang tiada tara.
Kemudian kembali, mandi, dan bersiap untuk membangun tenda di samping pantai lepas yang sudah kami lalui sebelumnya. Tidak terlalu jauh dari tempat mobil kami diparkirkan. Mandi di sana harus antri, karena kamar mandinya terbatas dengan jumlah jiwa yang lumayan banyak. Tapi, di sana lah sensasi kebersamaan, kesabarannya terasa. Mandi antri, makan pakai bungkus nasi padang, dengan lauk dan menu seadanya, tapi nikmat banget. Beneran, rasanya beda, kebersamaannya itu loh, langka. Sungguh saat itu kami merasakan apa yang tidak biasa kami rasakan. Meski awalnya prosesnya terlihat begitu sulit dan melelahkan, namun fakta yang ada berbeda. Kami justru ingin kegiatan ini kembali diulang, diperpanjang, agar kami bisa menumbuhkan banyak semangat bagi siswa-siswa di pedalaman.
Malam itu, walaupun masih malam kedua kita kumpul bersama, tapi kami sudah lama saling kenal satu sama lain. Keakraban sudah terjalin, mulai dari makan, bakar-bakar ikan di depan tenda, hingga menanti waktu memejamkan mata sambil menikmati syahdunya pemandangan langit malam penuh bintang ditemani debur ombak di pantai. Masing-masing kami saling bercerita tentang pelajaran hidup yang didapat dari banyaknya pengalaman yang sudah dirasakan. Berbagi tawa, berbagi kisah asmara yang mengundang gelak tawa tak berbatas namun berbekas di setiap kisah yang sudah terlewati bersama.
Puncak kegiatan traveling nya adalah saat mentari pagi telah bersinar, kami semua sudah mengenakan pakaian yang sama yaitu kaos berwarna putih. Kegiatan pagi itu adalah main bola dengan kaki diikat menggunakan tali rapia, kebayang kan nendangnya susah-susah gimana gitu. Yang kalah dapat hukuman nyanyi sambil joget di depan umum. Tanpa rasa malu, kelompok yang kalah pun segera maju menaiki pentas yang sudah disediakan panitia. Mereka yang kalah kemudian bernyanyi dan berjoget dengan santai dan percaya diri. Meski baru dua hari kenal, kami sudah seperti keluarga sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan lomba makan kerupuk yang sudah melempem, bak sedang makan rendang Padang bagi mereka yang ikut lomba saat itu. Kehebohan saat lomba, saling tarik peserta yang satu dengan yang lain semakin menambah serunya lomba. Tidak bisa dipungkiri, semuanya sudah sangat dekat tanpa butuh waktu lebih lama untuk saling mempererat jalinan kebersamaan.
Akhirnya, kami main lempar-lemparan serbuk sambil berlarian yang biasanya dikenal dengan colour run sambil photo-photo di pinggir pantai. Semua relawan yang sudah memakai kaos putih harus kena lemparan serbuk agar akhir dari kegiatan itu benar-benar membekas. Tidak hanya membekas karena semua peserta sudah seperti saudara, tetapi juga agar serbuk yang tinggal di kaos yang kami kenakan menjadi pengingat akan perjalanan yang sudah kami lakukan dan kami lalui bersama. Siang itu kami seperti mendengar deburan ombak pantai yang tak ingin kami tinggal. Kami bangga bisa melakukan perubahan dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menikmati hamparan semesta yang tak terbilang indahnya. Meski tinggal hitungan jam kami akan kembali, rasa betah masih saja menghinggapi dan akhirnya meminta kami untuk bisa lebih lama tinggal di sana. Tidak hanya sepi yang akan tiba jika sudah kembali, namun semangat perubahan juga akan cemas saat kami akan terpisahkan.
Pasir-pasir pinggir pantai seolah berbisik, ciptaan Tuhan itu takkan terusik jika kami masih ingin lama bersama mereka. Air seolah berhenti mengalir dan deburan ombak takkan lagi datang menyambar jika kami memutuskan untuk pergi kembali. Bukit hijau nan menawan tempat kami mendirikan tenda juga tak sudi melepaskan penguat tenda-tenda itu. Ia masih ingin kami berada di sana lebih lama lagi, memberikan banyak kebahagiaan untuk banyak siswa dan juga kebersamaan untuk sesama relawan yang sudah menetapkan hatinya mengikuti perjalanan singkat itu. Huh, andai waktu bisa diajak kompromi dan bisa membawa kami kembali pada rangkaian kegiatan dua hari yang lalu, tidak akan secepat ini perpisahan terjadi.
Semua barang sudah dikemas dan masuk ke dalam mobil JEP yang siap mengangkut kami untuk kembali pulang. Kembali kepada realita hidup masing-masing profesi yang sudah kami genggam. Menjalani hari tanpa sengatan semangat dari para relawan dan tim inti yang sudah sangat dekat dengan kami. Dan lagi, perpisahan selalu menjadi akhir yang pahit saat pertemuan yang tak diduga harus diakhiri dengan segera. Perpisahan begitu kejam memutuskan kebersamaan yang sudah tercipta. Ia dengan mudah menghentikan detakan langkah dan berkata bahwa semua rangkaian peristiwa sudah berlalu dan berakhir.
Kegiatan tnt #6 ini menjadi pengalaman yang berharga, di samping peduli pendidikan pedalaman, kami juga saling berbagi tentang kisah perjalanan hidup. Hampir dua hari dengan fasilitas seadanya, ternyata kita bisa membentuk keluarga baru yang begitu akrab. Semoga kegiatan ini membuka mata pemerintah untuk bisa menyalurkan perhatian dan peduli terhadap generasi-generasi yang tinggal di pedalaman. Sehingga, banyak peserta didik yang akan lahir dan tumbuh menjadi pemimpin masa depan negeri ini.
Sungguh syukur yang tak terkira dan tak terjumlah dengan hitungan angka, saat diberikan kesempatan untuk bertemu dengan tim inti dan para relawan komunitas seribu guru Jogja. Dengan latar belakang yang sungguh berbeda satu sama lain, kami dipersatukan dengan satu tujuan, kami ingin memerdekakan pendidikan pedalaman. Kami peduli kemajuan pendidikan pedalaman. Dengan angka kemerdekaan yang sudah genap dalam hitungan 70 tahun, kami ingin pendidikan Indonesia lebih baik dan lebih merata. Tidak hanya tenaga pengajar yang kompeten, tetapi juga akses dan fasilitas belajar yang kami perhatikan untuk mereka siswa-siswa di daerah pedalaman.
Gerakan seribu guru ini adalah salah satu wujud peduli terhadap realita kemerdekaan yang sesungguhnya. Berbekal pengetahuan dan tekad yang sama, inilah wujud cinta kami terhadap Indonesia yang kami sanjung, kami banggakan, dan kami jaga. Kami cinta terhadap Indonesia dan kami coba mengekspresikan cinta kami dengan saling berbagi dengan mereka yang hari ini masih membutuhkan uluran tangan kami. Kami peduli terhadap Indonesia dan kami mencoba untuk meredam semua ego yang ada agar kemerdekaan Indonesia memang layak diakui, dijunjung tinggi, dan dipelihara.
Kami adalah bagian dari Indonesia yang kaya akan budaya, yang beragam bahasa, yang berlatar belakang berbeda, namun bisa menjadi satu dalam memperjuangkan nasib sesama anak bangsa. Kami maju dan menjadi satu dalam memperjuangkan masa depan putra putri bangsa Indonesia yang berada di pedalaman dan membutuhkan kepedulian. Dengan satu tujuan yang masih sama, kami ingin bangsa ini merdeka di segala lini kehidupan. Kami bangga menjadi darah daging Indonesia yang majemuk. Perjalanan ini adalah wujud kebanggaan atas kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur, yang sudah berusia, yang sudah terpaut tua. Perjalanan mengajar ini adalah penghargaan bagi para pejuang dan juga pahlawan Indonesia yang sudah membela bangsa. Keberagaman ini menjadi motivasi bagi kami untuk bisa terus peduli terhadap pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu sektor yang harus terus dibenahi demi kemajuan bangsa.
Buat kakak-kakak tim 1000 guru Jogja, Mas Dee, Mas Bagus, Mas Juple, Mas Satriawan, Kak Yosi, Kak Rosi, Kak Ayu, Kak Nisa, Kak Naj, Kak Cadika, Kak Ayub, terima kasih banyak untuk kesempatan yang telah diberikan kepada kami. Bagi rekan-rekan volunteer, kalian luar biasa. Tetap jaga silaturahmi kita ya teman-teman 1000 guru. Senang bisa mengenal kalian, kalian semua keren. Tetap bergerak aktif, positif, dan menginspirasi di mana pun kalian berada. Mari menginspirasi dan terinspirasi, karena aku, kamu, kami semua cinta Indonesia. Tanah air kebanggaan yang akan selalu kami jaga dan kami lestarikan.
Merdu Kumandang adzan siang itu seolah memberikan semangat baru sekaligus saksi perjalanan mereka dalam meraih asa dan menjemput masa depan siswa di daerah pedalaman. Saat senja itu datang, kami kembali ke peraduan untuk mewujudkan mimpi-mimpi masa depan yang sudah tertuliskan. Kami yakin, cinta kami untuk Indonesia akan selalu tumbuh subur, takkan luntur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...