Selasa, 17 November 2015

KEKASIH TAK BERNYAWA

Siang sudah berlalu sempurna, kini senja datang menyapa sebelum malam pekat hadir dengan hiasan bintang kejora. Indah sekali dan selalu menawan di hati. Siang bukan berlalu tanpa makna, ia bahkan mengantarkan lagu rindu yang masih aku simpan di dalam relung sanubari terdalam bersama harapan yang mesra. Ingin hidup bersamamu dan menjalani hari penuh dengan suka dan tawa. Apakah kau berkenan berkenalan dengan ruang hatiku yang terdalam? Ada banyak sekali senyum yang hadir di bibir indahmu, mungkin juga di dalam hatimu yang sangat luas. Seluas rasa dan benih cinta yang aku simpan untukmu bidadari. Engkau selalu hidup di dalam pikiran sebagai wanita terbaik yang pernah aku puja. Karena indahnya pesonamu, aku selalu meminta pada Tuhan agar menjadikanmu insan yang paling mengerti aku. Meminta pada yang kuasa agar meluluhkan hatimu dan berkenan bersanding denganku.
Setelah rasa itu hadir dan menjadi benih cinta, kau masih saja bisa diam tanpa memikirkannya dan berkata jujur di hadapanku. Dengan kelapangan dadamu, kau simpan segalanya dan berharap semua akan menjadi indah jika Tuhan memberi waktu bagi kita untuk berjalan berdampingan. Kita pernah bertemu untuk beberapa saat yang lalu. Namun, kau bisa menjaga matamu, menyisihkan segala benih rindu yang menyiksa dan melenyapkan segala rasa karena belum tiba masanya. Entah sudah berapa kali aku meminta, kau masih saja terlihat santai dengan tidak memberikan jawaban apa-apa atas itu semua.
Laksana langit dan bumi, kita terlihat jauh dan tidak memiliki kekuatan untuk bersama, namun kita yakin, kita bisa berjuang untuk mewujudkan ingin itu. Aku akan menjadi langit yang akan mengayomimu dengan sejuk dan setia. Menjagamu agar terhindar dari sengatan panas dan menjadikanmu bidadari manis sepanjang masa. Sementara kau masih saja diam dan tak memberikan kepastian apa-apa atas segala pinta lelaki tak punya kuasa sepertiku.
“Dia wanita yang luar biasa, belum pernah aku bertemu dengan wanita sepertinya,” desak Yuli tanpa banyak bicara.
“Mungkin sosok sepertinya akan menjadi dambaan setiap lelaki di dunia ini,” ungkap Icha dengan wajah polos tanpa kupinta.
“Wanita tangguh yang bisa menjadi teladan bagi semua,” ungkap yang lain.
Senja itu aku merasa tak berdaya memikirkan dirimu. Kau masih saja anggun dengan segala sikap dan keteladanmu. Ketika gerimis mulai menyapa hingga seolah runtuh dengan sempurna, aku masih saja menjadi lelaki yang mengagumimu sejadi-jadinya. Tidak ada yang berani menghujat setiap perbuatan yang aku lakukan di depan mereka. Meskipun kau tak pernah membalasnya dengan jujur saat lisan manismu itu terbuka. Kau hanya membahasakan semuanya dengan senyum manis, gelengan kepala, atau sesekali dahi putihmu itu menyergit tidak sempurna. Aku kian sadar bahwa aku ini mungkin hanya sosok lelaki yang bisa menjadikanmu wanita yang akan aku puja dari deretan langkah yang masih tersisa. Salahkah aku jika melangkah maju dan mengagumi setiap jengkal keanggunanmu itu?
Waktu berlalu perlahan setelah aku mencoba menjadi lelaki yang paling sabar dalam memujamu. Kini aku benar-benar merasakan detakan berbeda dari yang dulu pernah aku rasakan sebelumnya. Kesabaran itu telah berubah menjadi benih penantian yang tidak bisa aku ucapkan. Saat kau hadir dengan segala perubahan dan keinginanmu untuk selalu kupuja, aku justru merasa menjadi lelaki berdosa jika harus memujamu terlalu cepat. Berulang kali pinta itu datang menyerang, namun aku berusaha jujur dengan apa yang aku rasakan saat ini. Berulang kali rindu itu datang, namun aku menahan segalanya untuk maju, aku tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa itu. Aku tidak mau kau berubah hanya karena ribuan kata manis yang pernah aku layangkan.
“Kau kenapa berubah, apakah ada yang salah dengan aku,” tanyamu seolah ingin semuanya terjadi seperti yang kau inginkan.
Aku terdiam, aku bingung jika berhadapan denganmu. Semua kata yang sudah aku persiapkan rasanya runtuh hilang melayang saat menatap wajahmu. Bidadari, maafkanlah aku, bukan maksudku untuk menyakitimu, tak bisakah kau sabar sebentar saja? Hingga nanti kita akan melangkah pada poros yang sudah tepat. Bukankah janji Tuhan itu selalu benar dan takkan hilang ditelan masa?
“Kau kenapa? Apakah semua sudah berlalu dan tidak seindah inginmu dulu?”
“Tidak bidadari, aku masih baik seperti yang kau saksikan ini. Aku tak tahu bagaimana harus berkata padamu. Lidahku kelu untuk mengungkapkan segalanya.”
Kau justru berlari meninggalkanku di sudut malam itu tanpa maaf. Kau masih saja terisak setiap kali temanmu memberitahuku akan keadaanmu. Dengarkanlah aku bidadari, bukan aku tidak mencintaimu, namun ini bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan segala bentuk cinta kita. Aku ingin alur cinta yang halal, bukan yang dilarang dan dimurkai Tuhan. Bukan aku tak merindukanmu dan mengungkapkan rinduku dalam bait-bait puisi, namun aku takut itu akan menjadi petaka karena Tuhan belum mengizinkannya. Sungguh aku ingin kau kembali seperti dulu, meski kita saling dekat, namun kita seolah tak bernyawa. Aku sadar sikapmu itu adalah perisai agar kita sampai pada puncak cinta yang benar-benar bahagia. Bukan cinta sesaat yang diperdaya nafsu dan birahi belaka. Telah aku titipkan rindu padamu, nanti kita akan bersama menyemainya saat cinta hadir di musim penuh bahagia.

Aku kian luruh dalam sedih membahana jika kau meminta ungkapan cinta itu saat ini bidadariku. Biarlah nyawa cinta itu dalam genggaman Tuhan hingga nanti saat musim akan berganti. Bukan aku tidak mencintaimu, namun aku ingin cintaku halal dalam naungan rida Tuhan, itu saja. Maka untuk saat ini, dengarkanlah suara hatimu bidadari, agar kau bisa tetap tersenyum indah dan bersedia menanti saat itu tiba. Biarkan aku menjadi kekasih tak bernyawa untukmu. Sabarlah menungguku, masa indah itu akan tiba untukmu, untukku, untuk kita. Aku masih sama seperti dulu, padamu masih kutitipkan rindu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...