Siang sudah berlalu sempurna,
kini senja datang menyapa sebelum malam pekat hadir dengan hiasan bintang
kejora. Indah sekali dan selalu menawan di hati. Siang bukan berlalu tanpa
makna, ia bahkan mengantarkan lagu rindu yang masih aku simpan di dalam relung
sanubari terdalam bersama harapan yang mesra. Ingin hidup bersamamu dan
menjalani hari penuh dengan suka dan tawa. Apakah kau berkenan berkenalan
dengan ruang hatiku yang terdalam? Ada banyak sekali senyum yang hadir di bibir
indahmu, mungkin juga di dalam hatimu yang sangat luas. Seluas rasa dan benih
cinta yang aku simpan untukmu bidadari. Engkau selalu hidup di dalam pikiran
sebagai wanita terbaik yang pernah aku puja. Karena indahnya pesonamu, aku
selalu meminta pada Tuhan agar menjadikanmu insan yang paling mengerti aku. Meminta
pada yang kuasa agar meluluhkan hatimu dan berkenan bersanding denganku.
Setelah rasa itu hadir dan
menjadi benih cinta, kau masih saja bisa diam tanpa memikirkannya dan berkata
jujur di hadapanku. Dengan kelapangan dadamu, kau simpan segalanya dan berharap
semua akan menjadi indah jika Tuhan memberi waktu bagi kita untuk berjalan
berdampingan. Kita pernah bertemu untuk beberapa saat yang lalu. Namun, kau
bisa menjaga matamu, menyisihkan segala benih rindu yang menyiksa dan
melenyapkan segala rasa karena belum tiba masanya. Entah sudah berapa kali aku
meminta, kau masih saja terlihat santai dengan tidak memberikan jawaban apa-apa
atas itu semua.
Laksana langit dan bumi, kita
terlihat jauh dan tidak memiliki kekuatan untuk bersama, namun kita yakin, kita
bisa berjuang untuk mewujudkan ingin itu. Aku akan menjadi langit yang akan
mengayomimu dengan sejuk dan setia. Menjagamu agar terhindar dari sengatan
panas dan menjadikanmu bidadari manis sepanjang masa. Sementara kau masih saja
diam dan tak memberikan kepastian apa-apa atas segala pinta lelaki tak punya
kuasa sepertiku.
“Dia wanita yang luar biasa,
belum pernah aku bertemu dengan wanita sepertinya,” desak Yuli tanpa banyak
bicara.
“Mungkin sosok sepertinya akan
menjadi dambaan setiap lelaki di dunia ini,” ungkap Icha dengan wajah polos
tanpa kupinta.
“Wanita tangguh yang bisa
menjadi teladan bagi semua,” ungkap yang lain.
Senja itu aku merasa tak
berdaya memikirkan dirimu. Kau masih saja anggun dengan segala sikap dan
keteladanmu. Ketika gerimis mulai menyapa hingga seolah runtuh dengan sempurna,
aku masih saja menjadi lelaki yang mengagumimu sejadi-jadinya. Tidak ada yang
berani menghujat setiap perbuatan yang aku lakukan di depan mereka. Meskipun
kau tak pernah membalasnya dengan jujur saat lisan manismu itu terbuka. Kau
hanya membahasakan semuanya dengan senyum manis, gelengan kepala, atau sesekali
dahi putihmu itu menyergit tidak sempurna. Aku kian sadar bahwa aku ini mungkin
hanya sosok lelaki yang bisa menjadikanmu wanita yang akan aku puja dari
deretan langkah yang masih tersisa. Salahkah aku jika melangkah maju dan
mengagumi setiap jengkal keanggunanmu itu?
Waktu berlalu perlahan setelah
aku mencoba menjadi lelaki yang paling sabar dalam memujamu. Kini aku
benar-benar merasakan detakan berbeda dari yang dulu pernah aku rasakan
sebelumnya. Kesabaran itu telah berubah menjadi benih penantian yang tidak bisa
aku ucapkan. Saat kau hadir dengan segala perubahan dan keinginanmu untuk
selalu kupuja, aku justru merasa menjadi lelaki berdosa jika harus memujamu
terlalu cepat. Berulang kali pinta itu datang menyerang, namun aku berusaha
jujur dengan apa yang aku rasakan saat ini. Berulang kali rindu itu datang,
namun aku menahan segalanya untuk maju, aku tahu, ini bukan waktu yang tepat
untuk mengungkapkan rasa itu. Aku tidak mau kau berubah hanya karena ribuan
kata manis yang pernah aku layangkan.
“Kau kenapa berubah, apakah ada
yang salah dengan aku,” tanyamu seolah ingin semuanya terjadi seperti yang kau
inginkan.
Aku terdiam, aku bingung jika
berhadapan denganmu. Semua kata yang sudah aku persiapkan rasanya runtuh hilang
melayang saat menatap wajahmu. Bidadari, maafkanlah aku, bukan maksudku untuk
menyakitimu, tak bisakah kau sabar sebentar saja? Hingga nanti kita akan
melangkah pada poros yang sudah tepat. Bukankah janji Tuhan itu selalu benar
dan takkan hilang ditelan masa?
“Kau kenapa? Apakah semua sudah
berlalu dan tidak seindah inginmu dulu?”
“Tidak bidadari, aku masih baik
seperti yang kau saksikan ini. Aku tak tahu bagaimana harus berkata padamu.
Lidahku kelu untuk mengungkapkan segalanya.”
Kau justru berlari
meninggalkanku di sudut malam itu tanpa maaf. Kau masih saja terisak setiap
kali temanmu memberitahuku akan keadaanmu. Dengarkanlah aku bidadari, bukan aku
tidak mencintaimu, namun ini bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan segala
bentuk cinta kita. Aku ingin alur cinta yang halal, bukan yang dilarang dan
dimurkai Tuhan. Bukan aku tak merindukanmu dan mengungkapkan rinduku dalam
bait-bait puisi, namun aku takut itu akan menjadi petaka karena Tuhan belum
mengizinkannya. Sungguh aku ingin kau kembali seperti dulu, meski kita saling
dekat, namun kita seolah tak bernyawa. Aku sadar sikapmu itu adalah perisai
agar kita sampai pada puncak cinta yang benar-benar bahagia. Bukan cinta sesaat
yang diperdaya nafsu dan birahi belaka. Telah aku titipkan rindu padamu, nanti
kita akan bersama menyemainya saat cinta hadir di musim penuh bahagia.
Aku kian luruh dalam sedih
membahana jika kau meminta ungkapan cinta itu saat ini bidadariku. Biarlah
nyawa cinta itu dalam genggaman Tuhan hingga nanti saat musim akan berganti. Bukan
aku tidak mencintaimu, namun aku ingin cintaku halal dalam naungan rida Tuhan,
itu saja. Maka untuk saat ini, dengarkanlah suara hatimu bidadari, agar kau
bisa tetap tersenyum indah dan bersedia menanti saat itu tiba. Biarkan aku
menjadi kekasih tak bernyawa untukmu. Sabarlah menungguku, masa indah itu akan
tiba untukmu, untukku, untuk kita. Aku masih sama seperti dulu, padamu masih
kutitipkan rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar