Jumat, 13 November 2015

Pramugara atau Dosen?

Mungkin kita memang hanya bisa menuliskan apa yang kita inginkan, untuk urusan iya dan diperbolehkan atau tidak, itu akan kembali kepada kehendak Allah. Dahulu, saat masih duduk di bangku SD, aku pernah berkata bahwa aku ingin menjadi seorang dokter, sama seperti anak-anak yang lain yang masih sangat lugu dan polos. Hal itu kemudian berubah saat aku sudah naik jenjang ke bangku sekolah menengah pertama, pikiran untuk menjadi seorang dokter memang masih tersisa, tapi aku tahu untuk mendapatkan itu semua tidak mudah. Saat duduk di bangku Aliyah, ada beberapa pilihan profesi yang saat itu sempat aku tulis di buku cacatanku. Profesi pertama adalah menjadi seorang dokter, dan kebetulan saat itu ada kesempatan untuk mengikuti seleksi siswa berprestasi di tingkat nasional, namun aku gagal.
Next profesi adalah menjadi seorang apoteker, ah ini adalah profesi yang sebenarnya membuat hati terkoyak jika harus diceritakan. Entah berapa banyak air mata yang sudah aku sedekahkan untuk mengikhlaskan kepergian profesi yang satu ini. Oke, mungkin semua itu bisa dimaklumi karena aku sudah punya seorang kakak yang menekuni profesi sebagai seorang Bidan. Meski aku tidak bisa menjadi seorang apoteker, namun aku sering membantunya saat berada di rumah, seperti menuliskan resep obat dan membantu patient conceling. Fixed, profesi ini sudah perlahan hilang dan aku biarkan terkubur. Walaupun tak bisa menjadi anak kedokteran dan farmasi alias anak kesehatan, tapi semangat untuk hidup bersihku mungkin melebihi anak-anak FK, haha. Profesi yang pernah aku tuliskan berikutnya adalah menjadi seorang Engineer, ahli di bidang teknik industri pastinya. Tapi sayangnya itu juga tidak tercapai. Malah Nisa yang ingin masuk HI justru meleset ke teknik industri, and I belok menjadi anak HI. Itu adalah takdir Allah. 
Profesi berikutnya adalah menjadi seorang wartawan, dulu kayaknya asyik aja menjadi seorang wartawan atau jurnalis, keliatan kece begitu kan? Tapi, setelah tahu bagaimana aslinya para wartawan, aku jadi berpikit ulang untuk bisa menjadi seorang kuli tinta itu. Kecuali untuk menjadi presenter acara televisi, itu masih mending dan masih berharap juga. Sejujurnya, memang dulu setelah tamat Aliyah, Bapak memintaku untuk bersabar karena ia ingin aku menjadi seorang pilot. Berat banget keliatannya kalau jadi pilot, mana uangnya lumayan banyak lagi. Dan akhirnya tidak juga. Setelah tamat S1, aku memang pernah melamar bekerja di beberapa perusahaan, bahkan pernah dapat panggilang dari Sampoerna dan Astra dua sekaligus, tapi sayang, itu juga bukan rejekiku karena aku memilih Sampoerna dan meninggalkan Astra. Namun setelah aku diterima di Sampoerna, aku justru keluar dan memilih profesi untuk menjadi seorang dosen. Semakin kesini, semakin kesini aku sadar bahwa ternyata menjadi dosen pun kalau tidak memiliki kemampuan menulis dan sikap ilmiah yang baik, juga akan susah. Dan sekarang, tepatnya satu semester kebelakang, aku berpikir ulang untuk menjadi seorang akademisi. Bahkan, ikut konferensi, menulis di jurnal, menulis di media massa, dll itu hanyalah pelarian, aslinya jiwaku ternyata tida disana. Entahlah, memang banyak pengalaman dan kejadian yang harus dilalui dulu untuk bisa mendapatkan jati diri yang sesungguhnya. 
Dibalik itu semua, sesungguhnya aku ingin menjadi seorang pramugara, meski aku tahu bahwa kekuranganku untuk bisa mengatakan huruf R itu sampai sekarang masih tidak bisa. Lagi-lagi aku yakin bahwa Allah menyelipkan banyak hikmah di setiap kejadian yang aku alami. Tapi hingga saat ini aku masih bersemangat untuk bisa menjadi seorang pramugara, aku tahu aku punya Allah dan Allah akan mengabulkan do'aku perlahan, meski tidak sekarang. Yang penting aku masih punya kesempatan untuk mencoba-mencoba da terus mencoba, selagi muda, selagi ada usia, aku akan mencoba hal positif yang aku bisa. Allah pasti akan mendengar pinta hambaNya dan mengabulkannya jika waktunya telah tiba. Aku masih percaya.
"Karena dengan menjadi pramugara, aku bisa mengajak ibu pergi, terbang jauh, terbang mengelilingi dunia, menjelajah betapa ibu harus tahu bahwa dunia ini luas. Ibu ridhai cita-cita anakmu."
Kalau memang semua sudah tidak mungkin, menjadi dosen pun aku siap, bukan hanya melepaskan kewajiban untuk mengajar di kampus, tapi aku percaya bahwa apa yang telah aku ajarkan akan berpengaruh terhadap masa depan mahasiswaku, masa depan generasi muda, masa depan Indonesia. Tidak hanya itu, dengan mengajar, aku ingin Ayah ikut merasakan pahala yang aku ajarkan sebagai pengganti dari jerih payah dan keringat yang telah ia korbankan demi aku selama ini. Aku ingin pahala terus mengalir untuk Ibu dan Ayah, aku ingin mereka bangga memiliki anak seperti aku, meski kini Ayah sudah tiada. Tapi, petuahnya untuk bisa berpendidikan tinggi dan menuntut ilmu sebanyak mungkin akan tetap tertanam didalam hati. Semoga jika memang menjadi dosen adalah pilihan terakhir, akan banyak kebaikan yang sampai untuk Ibu dan Ayah nantinya. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...