Selasa, 17 November 2015

Kau Bukan Milikku

Maafkanlah kekasih ku harus tinggalkanmu…
                                                                                   Meski ku tahu ini menjadikanmu sakit hati...
Relakanlah kekasih, tutup air matamu…
                                                                                 Semua ini aku lakukan tuk kebaikanmu…

Malam ini gerimis kembali turun, dingin sekali. Sudah berapa bulan musim hujan belum saja berganti. Ditemani gerimis yang tak pernah bosan membahasi rerumputan hijau itu, aku masih saja menikmati alunan lirik lagu Charly yang begitu mengingatkanku pada dirinya, sosok wanita yang dulu aku cinta, bahkan sampai kini rasa itu belum sirna…
Tak kusangka, pertemuan di jembatan itu adalah perpisahan panjang bagi kami berdua. Aku rindu dia, sungguh aku rindu. Ingin rasanya aku menangis disini, tapi tak mungkin. Pipiku laksana tendon air yang dijatuhi titik-titik uap air, meleleh. Air mata rindu menjadikan ponsel kesayanganku basah, ah aku malu…
Coba kuusir isak itu, aku kalah. Jujur aku masih sangat mencintainya. Berusaha kutepis semua kenangan itu untuk hilang dan berlalu, namun aku tak mampu. Ia malah jelas tampak datang menghampiri diriku malam ini. Manis wajahnya, indah senyumnya, lesung pipinya, sentuhan tangannya, tawanya, juga tangisnya masih hidup dalam rekaman memoriku…
Aku masih sadar bagaimana wajahnya yang memerah dan sedih ketika dulu kuputuskan untuk mengakhiri hubungan itu. itu semua aku lakukan untuk kami berdua. Aku tak mungkin memaksakan cinta yang dulu menjadi boomerang bagi kami berdua. Keputusan itu telah final dan tak mungkin lagi aku ubah. Dan dia, dia hanya tersungkur dalam diam, beberapa saat kemudian tangis itu pecah. Aku malu pada setiap nyawa yang menyaksikan kami berada di atas jembatan di pojok desa itu. air mata itu tulus mengalir, dia masih mencintaiku, itu bukan air mata kebohongan…
Aku tahu betul bagaimana dia, hatinya sungguh mulia penuh cinta. Tapi, aku tak mungkin lagi bersamanya, terasa berat jika harus melanjutkan semua cinta yang kami miliki saat itu. perpisahan itu aku harap hanya sebentar, agar kami saling pandang, dan berkumpul kembali dengan rasa cinta yang benar-benar sudah mantap dan tak mungkin terpisahkan lagi. Deras air mata itu terus bertambah, bak debit air yang mengalir di sungai ketika musim hujan tiba, mengenang. Tak banyak kata yang mampu ia ucapkan. Dengan tangan lemah dan bibir yang bergetar ia ucapkan “selamat jalan, semoga kau mendapatkan yang lebih baik…”
Saat aku putuskan untuk kembali, ia histeris, tangis itu kembali menjadi saksi perpisahan kami. Tuhan, maafkan aku. Tapi, sungguh aku tak bisa melanjutkan semua ini. Coba kutatap tubuhnya yang jatuh terbujur kaku di atas jembatan itu, seolah tak ada lagi tulang yang mampu mempertahankan langkah kakinya. Sungguh aku iba saat itu. Dengan berat langkah aku putuskan untuk berlalu, walau dalam hati begitu besar beban yang harus kurasakan. Dia terlalu baik untukku, dia terlalu istimewa. “Selamat tinggal Diba, kau akan menemukan yang lebih baik, maafkan aku…”
Aku hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang, aku tak tahu bagaimana keadaan dia, yang jelas dia pasti sangat terluka karena keputusanku tadi. Aku tak mau memperhatikannya, cukup sudah keputusanku membuat dia jatuh tak berdaya. Sudahlah, biar dia kembali, aku yakin dia pasti akan lebih bahagia dengan yang lain, dia tetap istimewa meski kami telah berpisah. Aku hanya mampu mengobati lukaku perlahan, mencoba menghapus semua lara yang kurasakan.
Air mataku masih saja berlinang. Diba, sungguh jujur aku mencintamu. Tapi, kita berada pada dua dunia yang tak seimbang, seolah kamu adalah segalanya dan aku tak bisa berbuat banyak untuk meyakinkan orang tuamu bahwa kita bisa berjalan bersama, bersatu dalam cinta. Diba, maafkan aku, sungguh!
Yaa Tuhan, sulit sekali bagiku menghapus jejaknya di pikiran ini. Bayangannya selalu saja hadir menghantui hari-hariku. Seolah semua itu pertanda bahwa Diba masih sangat mengharapkan hubungan kami kembali seperti dulu. Dia juga manusia, punya hati, pikiran, perasaan, cinta, dan kasih sayang. Kenapa aku begitu tega melukai dirinya yang sungguh teramat tulus mencintaku? Diba sungguh wanita yang sempurna, tidak bisa kuingkari itu semua. Bahkan dia layak aku sebut bidadari surga yang pernah Tuhan kirimkan untukku, beberapa tahun lalu. Dan kini, semua itu telah berlalu. Seperti inikah nasib cinta yang takkan pernah bersatu? Diba, kau bukan milikku…
Hari berlalu, minggu berganti, bulan baru kini menyapaku. Setelah kejadian di jembatan sudut desa itu, aku benar-benar berusaha menjalani hidupku dengan menyibukkan diri bersama teman-temanku. Melewati hari dengan seabrek aktivitas yang harus aku selesaikan. Aku yakin, hal itu mampu membuat pikiranku kembali seperti saat dulu, ketika Diba tidak pernah ada dalam hati dan benakku. Aku memutuskan melangkah pergi, meninggalkannya tanpa jejak.
Sungguh, aku yakin dia juga pasti sama denganku, berusaha menjalani hidupnya dengan segala aktivitas yang bisa menjadikan hatinya lebih bahagia, aku yakin. Aku yakin Diba takkan menyimpan kenangan yang dulu pernah kami rajut bersama. Kamar itu, aku yakin kini sudah tidak lagi seperti dulu. Dia pasti sudah menata ulang susunannya. Sehingga, ribuan kenangan tentangku pun pasti telah dihapusnya dari ruang tidurnya itu..
Bulan demi bulan kulalui dengan suasana yang tidak biasa. Dan sungguh, itu semua membuatku terluka dan tidak merasa bahagia, sedikitpun. Aku sungguh seperti kehilangan aura kehidupan yang dulu pernah aku genggam, aku bak kehilangan semangat yang dulu selalu kupeluk hangat, aku laksana manusia yang kehilangan arah setelah aku dan Diba berpisah. Ternyata aku belum mampu melupakan dirinya, sosok yang sudah bertahun-tahun hidup dalam jiwa dan ragaku.
Diba, aku masih mencintaimu. Dimanakah dirimu kini berada? Seperti ingin berteriak sekuat tenaga, agar mereka tahu bahwa aku ini adalah sosok yang pantas untuk Diba. Akulah lelaki yang layak menjadi menantu bagi orang tua Diba, akulah manusia yang pantas menjadi belahan hati wanita sempurna seperti Diba…
Dua tahun berlalu…
Aku masih seperti manusia yang tidak memiliki semangat untuk hidup. Aku masih menantinya, mencari jejak dimana kini dia berada. Dan sungguh, kenangan dengan dirinya masih aku simpan rapi di dalam sanubariku ini. Yang selalu menyala menemani hariku berlalu adalah wajahnya, senyum manisnya, tangisnya, dan sejuta kenangan lain yang telah kami lalui bersama tiga tahun yang lalu…
Pencarian itu terus berlanjut, belum berakhir. Puluhan SMS aku kirimkan, ternyata tak ada satu pun yang terbalaskan. Sedihnya hidupku. Penyesalan terbesar ketika dulu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan asmara itu. di sisi lain aku berpikir, itu adalah cara Diba untuk bisa berlalu meninggalkanku, melupakanku dan melupakan semua kenangan yang pernah terpahat indah dulu. Aku yakin dia berusaha menepis segala perasaan yang hadir, mencoba menghapus jejakku, sedikit demi sedikit.
Perlahan, namun itu pasti. Hingga aku menyadari bahwa cinta dalam hati ini tak mungkin lagi kembali pada dirinya, karena dia telah berpaling. Itu semua ia lakukan untuk membuktikan bahwa aku memang telah bersalah karena menjadikan perpisahan sebagai akhir dari segalanya. Diba melakukan itu semua agar ia bisa mencegah rasa sakit yang akan muncul karena aku yang dulu mencintainya kini telah berubah...
Ah, biarlah itu menjadi pilihan terbaik bagi Diba, yang aku yakini bahwa perpisahan itu hanya sementara, agar kami bisa lebih baik lagi selanjutnya. Jika Diba memang enggan kembali kepadaku, itu adalah keputusan terbaiknya. Aku tak bisa memaksakan kehendak di atas keputusan yang telah aku ambil sebelumnya. Walau sejujurnya disini aku rindu ia bisa membalas SMS ku, aku hanya ingin tahu bagaimana kabarnya saat ini. Itu saja… Sungguh aku sangat rindu padanya. Rindu itu kembali menghujamku akhir-akhir ini. Ketika kutahu aku tak bisa menjauh darinya, tak bisa melupakannya apalagi mencari penggantinya untukku. Itu tidak mungkin, sulit sekali rasanya. Ah, mengapa bisa sebodoh ini aku…
Sering aku aku bermimpi bahwa ia datang dan kembali seperti dulu, bersamaku. Ia hadir dengan cintanya yang masih bersemayam dihatiku dan sama seperti dulu, tiga tahun lalu. Apakah benar, kini rasa sakit itu berganti menjadi rasa bahagia dan akan kembali terulang keagungan cintaku seperti dulu. Harapku setelah rasa sakit itu adalah ledakan rasa rindu yang akan terbalaskan, walaupun itu harapan semu. Karena aku tak tahu dimana Diba saat ini berada. Atau, apakah itu hanya harapan palsu saja, harapan yang takkan pernah terbalaskan karena aku sudah terlalu menyakitinya. Itu semua aku rasakan karena aku saja yang terlalu berharap dan terlalu mencintai Diba, Tuhan, sakitnya…
Atau, diluar sana Diba kini sedang merasakan indahnya cinta dengan laki-laki lain yang tak pernah aku sangka sebelumnya. Apa benar Diba kini sedang jatuh cinta dengan lelaki lain, bercengkrama penuh tawa, duduk manis merona, dan telah menghapus semua sejarah cinta yang kami punya dulu. Apakah semua kenangan itu telah ia kubur dalam-dalam dan ia buang dari sudut sanubarinya? Oh, sakitnya aku…
Masih saja terkenang sosok itu, sosok wanita lemah lembut yang dulu selalu aku puja. Belum sempurna ingatanku tentangnya, ada SMS masuk. Tanpa nama, aku yakin bukan nomor Diba. Nomornya masih aku simpan rapi di phonebook ponselku dan berada pada urutan ketiga setelah Ayah, Bundaku.
Aku masih belum bisa melupakanmu walau kini aku sudah dengan yang lain..”
Oh Tuhan, kenapa ini? Mengapa ini yang harus aku rasakan. Mengapa Diba datang dengan perasaan ganda yang tak lagi sama seperti dulu. Dia bilang dia belum bisa melupakanku tapi sudah berada dalam pelukan laki-laki lain. Sungguh, sakit sekali rasanya Tuhan. Apakah itu dia lakukan sebagai pelampiasan karena aku tak pernah memberikan kepastian atas hubungan ini. Mengapa harus dia katakan bahwa dia telah memiliki lelaki lain sebagai penggantiku?
Dengan hati ragu dan berharap bahwa isi pesan itu salah, aku lihat kembali isi pesan itu, berulang kali aku baca kata demi kata, dan benar! Diba telah memiliki penggantiku. Dia telah bersama laki-laki lain yang telah dia pilih sebagai penggantiku., “Diba, kau bukan milikku…” aku memaksa hatiku berkata seperti itu dan berusaha sadar atas apa yang sedang kualami. Aku putuskan untuk berhenti, aku takkan menguhubungi dia lagi. Dia sudah bahagia dengan yang lain. Biarlah aku yang akan menjalani semua ini sendiri, tanpa Diba, wanita yang sungguh masih aku harapkan hadirnya, cintanya, senyum tulusnya, kata manisnya, dan seluruh rekaman kenangan tentangnya yang masih bersinar di dalam hatiku.
Hingga malam itu berlalu, aku tak kuasa menahan air mataku meleleh, jatuh menderai di atas tempat tidurku. Ponsel kesayangan itu menjadi saksi segalanya. Di dalam inbox ponsel hitam itu juga masih aku simpan SMS terakhir darinya. “Aku masih belum bisa melupakanmu walau kini aku sudah dengan yang lain…” Lirih kukenang dirinya, Diba…
                                                                        ***
Seminggu kemudian, banyak SMS Diba yang aku terima, dan itu semua menjadikanku tambah merasa sakit karena cinta, ia sudah tunangan dengan orang lain, sebentar lagi mereka akan menikah,. Aku tersungkur tak berdaya dalam kamarku, sakit sekali rasanya.
“Aku sudah tunangan dengan orang lain, tapi kenapa kamu selalu saja hadir dalam mimpiku dan menjadikanku tidak tenang menjalani hidup ini…”
Dia memang tak sama seperti dirimu, tapi kalian memiliki banyak kemiripan. Aku akan berusaha menjadikan dia yang terbaik dalam hidupku, semoga kamu juga mendapatkan yang terbaik, dan yakinlah, dalam hati ini akan selalu ada cinta sampai nanti, sampai aku mati..”
“Tolong jangan hantui aku terus, aku juga ingin hidup bahagia, dan aku do’akan kamu juga akan hidup bahagia dengan yang lain, aku masih tetap seperti dulu, aku masih mencintamu, tapi kita tak mungkin bersatu…”
Aku pasrah membaca SMS darinya, dia kini sudah dengan yang lain. Dia ingin hidup bahagia, dia tak ingin aku mengganggunya lagi. Tapi, kenapa diujung pesan itu dia menuliskan bahwa dia masih mencintaiku? Harus seperti apa aku menafsirkan pesan itu. Diba, apa maksud pesanmu ini. Aku tak mengerti…
Sejak saat itu aku pasrah, aku akan berlalu demi membahagiakan Diba, aku takkan mengganggunya lagi. Aku akan berusaha ikhlas dia berjalan berdampingan dengan yang lain. Dan dengan perlahan, akhirnya aku bisa melupakan dan menghapus sedikit demi sedikit memori tentang dirinya. Rupanya dia kini telah bertunangan dengan seniorku dulu saat di sekolah menengah. Aku tak pernah menyangka, ia akan jatuh kedalam pelukan kakak kelasku itu. sudahlah, aku tak mau membahas itu lagi, aku akan berusaha melupakan semua kenangan tentangnya. Dia sudah punya kehidupan sendiri sekarang. Aku pun begitu, aku akan menjalani hari-hari panjangku tanpa dirinya lagi…
Belum selesai aku berkeluh atas segala kesedihan dan deritaku, SMS Diba kembali menghampiri ponselku… Kali ini aku benar-benar pusing dibuatnya…
Aku memang sudah bertunangan, tapi kalau kamu mau aku membatalkan pernikahanku, aku siap kok. Aku masih sangat menyayangimu, aku belum bisa melupakanmu…”
“Kenapa kamu diam saja dan tak pernah memberikan kepastian atas hubungan kita? Aku masih seperti dulu disini, aku sungguh tak bisa mencintai dia seperti aku mencintamu. Tolong jawablah dan berikan kepastian, aku tak mungkin menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Kamu tahu bagaimana aku dan bagaimana perasaanku kepadamu, aku masih sangat mengharapkanmu….”
Mataku memerah, tangisku tak bisa lagi kubendung kala itu. sungguh, Diba tak bahagia jika harus menikah dengan kekasihnya saat ini. Tapi, aku tak mungkin mengganggu hubungan mereka. Cinta ini sangat tidak sederhana untuk bisa aku artikan. Cinta sangat sulit kumaknai, kujanalani dan kubahasakan. Cinta ini misterius…

Dengan berat hati aku tekan keypad ponsel itu. seperti memaksanya agar bisa segera dengan cepat menuliskan balasan yang akan aku kirimkan pada Diba. dengan jari yang gemetar ketika menuliskan kata demi kata, dengan bibir yang perlahan ikut mengeja dengan baik setiap kalimat yang aku tuliskan, aku rapuh, hati ini hancur. Dengan penuh penyesalan dan pertimbangan aku kirimkan balasan…
Aku akan ikut bahagia jika kamu bersedia melanjutkan kehidupanmu bersamanya. Ingat, kalian sudah tunangan dan sebentar lagi akan bersanding di pelaminan. Aku akan bahagia jika kamu bersedia hidup dengannya. Sudahlah, jangan menyesali segala hal yang pernah terjadi dulu. Berbahagialah bersamanya, dia sudah mapan, dia cocok jadi pendampingmu. dari sudut kota ini aku ikut mendo’akan agar kalian menjadi keluarga yang bahagia, kekal terus sampai kakek nenek dan menjadi keluarga yang SAMARA…”
Tidak ada siapapun yang tahu bahwa ketika pesan itu kukirimkan sesungguhnya hati ini telah tersayat pedihnya luka karena cinta. Tak ada satu pun yang tahu gejolak api cinta yang telah membakar relung kalbuku terdalam. Tak ada satu pun yang ikut menyaksikan, bahwa jasad ini bak tersiram air mendidih karena luka cinta yang mendalam.
Sungguh aku masih sangat mencintai Diba, tapi aku tak mungkin mengganggu hubungan mereka yang hanya tinggal hitungan hari mereka akan hidup bersama. Berbahagia dengan pakaian baru duduk berdua di atas pelaminan sebagai saksi akan agungnya cinta mereka. Diba, maafkan aku, aku masih sangat mencintaimu. Dan aku akan berusaha menjadi lelaki yang tegar setelah kau pergi dengan yang lain. Karena tak mungkin bagiku kembali bersamamu. Jika itu terjadi, sama saja aku memakan daging saudaraku sendiri yang telah menjadikanmu wanita mulia dengan membuktikan besarnya cintanya padamu, yaitu dengan meminangmu…
SMS Diba kembali menghampiriku…
Kenapa kamu kok jahat banget sama aku, nanti hadir ya di pesta pernikahanku…?”
“Aku akan bahagia dan berusaha untuk bisa hadir disana. Kalau pun tidak, aku akan bantu dengan do’a tulus dari sini…” balasku singkat dengan perasaan hancur.
Terhitung dari kejadian itu, hubungan kami putus sudah. Bak tumpukan kayu yang seketika berubah menjadi arang dan berakhir menjadi debu, tidak ada lagi harapan untuk bersatu. Sungguh itu mustahil, itu usaha yang nihil dan takkan berhasil. Hubungan itu sungguh sudah pudar, bahkan di media sosial pun kami sudah tak berteman. Mungkin itu adalah kemauan tunangannya agar Diba tidak lagi mengingatku, agar mereka bisa bersatu selamanya, dan bahagia.
Tiga hari kemudian, aku menerima kabar bahwa undangan pesta pernikahan itu sudah sampai di kediamanku. Sakit sekali rasanya. Tapi sudahlah, aku berharap akan ada cinta lain yang datang dan menjelma menjadi cinta yang lebih indah, seperti cintaku dahulu dengan Diba, bahkan berharap lebih. Walau tak bisa kupungkiri, Diba tetaplah yang terindah…
Diba, aku akan tetap mencintaimu, walaupun cinta itu hanya ada di dalam hatiku saja. Kau tetaplah Diba seperti yang aku kenal dulu. Aku mencintaimu sebesar aku mencintai diriku sendiri, takkan pernah ada yang bisa menggantikan posisimu di hati ini. Sesering apapun aku berkata akan ada wanita yang lebih baik untukku, aku akan tetap berharap bahwa yang terbaik itu hanyalah dirimu. Diba, sungguh cintaku kepadamu takkan bisa kubunuh sampai kapanpun, aku akan berharap kau menjadi milikku walaupun kutahu itu takkan mungkin terjadi. Aku akan terus mengingatmu, mengingat kenangan tentang kita dan sejuta kebahagian yang pernah kita lalui bersama. Karena cintaku punya ruang, kisah, dan sejarah. Ruang, kisah, dan sejarah cintaku, itulah kamu…
Kau bukan milikku, ah benar! Sungguh kau bukan milikku. Maafkanlah kekasih kuharus tinggalkanmu, meski kutahu ini menjadikanmu sakit hati. Relakanlah kekasih, tutup air matamu, semua ini aku lakukan tuk kebaikanmu. Ah, lagu itu, kembali mengingatkanku dan membawaku menyelami jiwa cinta yang pernah aku alami. Di tengah malam yang dingin ini, kembali kudengarkan alunan lagu itu. dan, kembali berulang lagi, silih berganti bayangmu, kenanganmu, wajahmu mengisi ingatanku…

Faradiba Mayza Mutiara aku masih mencintaimu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...