Aku ingin dekapmu dalam menerjang panasnya jalan cerita. Menjadikannya
sebagai pelukan paling hangat untuk menemani gigil yang berseruak saat senja
tiba. Kadang langit begitu kuasa menjatuhkan hujan, membuat hari-hari begitu
basah oleh bulir yang menggenang. Kuyakin yang kita butuhkan hanya sabar yang
berlebih, untuk menghadapi segala keluh kesah dan perih. Maafkan aku yang belum
bisa mendamaikan dentuman keras pada perasaan. Hingga kau bisa lupa bagaimana
bisa tertawa begitu lepas, juga segelitik senyum yang mengulas begitu lama saat
kita tidak berjumpa. Aku berharap semoga matamu tidak menjatuhkan anak sungai
yang mengalir deras. Pun aku akan selalu tegap menyediakan bahu ini sebagai
tempat sandaranmu yang paling nyaman. Semua masih tergambar jelas dalam sebuah
mozaik kisah, sementara aku terus percaya bahwa kau kuat menghadapi segalanya.
Sayang, adakah tangis itu menyeruak bersama hilangnya mentari pagi
tadi? Sebagaimana rengekan yang selalu kau suguhkan ketika membiarkan semua itu
terjadi. Aku tak berharap Tuhan mencipta air mata. Biarlah kita dibawah senja
menikmati gempita senja berlalu sempurna. Tertawalah lepas, aku yakin kau
kuasa. Meski hujan lebat di pelupuk mata itu belum reda, aku akan terus
menemani lebih lama. Peluk hangat dari lelaki yang selalu menjadikanmu nomor
satu diatas segala bahagia. Detik demi detik memang kadang begitu menyebalkan.
Namun kita selalu bisa larut dalam senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar