Kamis, 08 Februari 2018

Bagaimana Rasanya?

Bagaimana rasanya jika, saat senja kau justru tak melihat warna matahari ingin menghilang pergi?
Bagaimana rasanya jika, saat pagi menyapa kau tak merasakan hangatnya mentari?
Bagaimana jika ternyata saat hujan, sinar matahari tidak tertutup awan?
Bagaimana jika saat malam tiba, mentari justru masih setia menyinari bumi?
Bagaimana jika aku bukan menjadi seperti seharusnya aku?
Bagaimana jika kamu tidak menjadi seperti seharusnya kamu?
Bagaimana jika?

Bagaimana jika hantu di masa lalu datang lagi atau tidak pernah benar beranjak pergi?
Bagaimana jika tiba-tiba aku mengenangmu di tengah malam buka. Saat gelap gulita, kemana harus kukejar bayangmu agar  rindu ini bisa berhenti mengalir deras. Setelah lama berkutat dan bertanya pada diri sendiri, aku membiarkan dirimu pergi. Mencari arah yang kau suka dan hilang untuk tidak lagi menghantui masa depan yang telah kupilih sendiri. Aku akan bersembunyi dari segala kenang dan ingat tentangmu. Tentang jari manis nan lembut yang suka mengusap rindang rambut halusku. Aku ingat renyah tawa dan khas suaramu saat menangis. Namun, itu adalah bagian dari kisah masa lalu. Lalu, bagaimana jika kemudian apa yang terjadi tidak sesuai seperti apa yang kita pinta?

Tentang kamu,
Segala tentangmu yang selalu menjadi memori indah yang datang menyeruak pagi dan malam di langit kamarku. Tentang kesadaran dan harapan bahwa wujudmu memang bukan lagi menjadi harapan hari-hari. Tentang tenang yang kini sudah kembali kutemui, dan tentang sekeping hati yang sudah tak mampu lagi untuk kau curi. Tentang rindu yang sudah menjadi larangan. Tentang saling bagi seonggak senyum yang sudah hanyut. Tentang luka merindu yang selalu akan berada sendiri tanpa pundak dan tanpa tangan dan akan selalu berjalan sendirian. Tanpa kamu. Tanpa kamu aku akan tetap hangat dan tidak menggigil kedinginan. Tanpa kamu aku akan tetap bisa tertawa sendirian. Tanpa kamu aku bisa terus berdiri tegap menatap masa depan. Tanpa teduh wajahmu yang dulu bisa sangat menenangkan saat dadaku terasa begitu sesak dan membosankan.


Kini, segalanya telah menjadi darah bernanah yang takkan pernah kembali seperti dulu. Lalu, masing-masing begitu leluasa menyembunyikan nanar kebencian dan berkata di belakang. Sebab, itu bukan lagi menyakitkan. Karena kita, sudah tidak saling mencari saat sepi dan tidak saling menemukan saat hilang. Sebab kita, sudah tidak saling tertawa saat bahagia dan tidak saling sapa saat bercengkrama. Perihal dekatmu dan jauhku bukan semata soal asmara yang membuat kita jatuh bangun, naik turun, luka dan bahagia. Namun tentang bagaimana satu sama lain sudah tidak merasa seperti semula. Kita bisa apa saat langit menurunkan hujan namun matahari tidak tertutup awan?

Seketika langit siang pun menangisimu, yang pergi menjauh dan kian menjauh. Aku tidak pernah memintamu jauh, sebab dekatku tidak lagi berarti begitu pun hadirmu disini. Satu sama lain saling meninggalkan segala pelik dan luka. Saling menjemput singasana yang masih tersedia untuk segala kebaikan dan bahagia. Telah tiba masa, aku pergi bukan berarti benci, juga kau menjauh bukan berarti kau jenuh. Menuju suatu tempat yang lebih nyaman, yang kita sebut kehidupan masa depan. Semoga lelap dan lena, dalam peluk Tuhan Semesta alam, selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...