Selasa, 14 April 2020

Jalan Tol Menuju Kesuksesan


Jatuh cintalah dengan terhormat agar kau bisa merasakan mewahnya cinta kelas atas.’

Istilah itu yang sering terniang-niang di kepalaku saat ingin merasakan kehidupan seperti orang lain. Menjalani apapun harus ada dasarnya hingga tidak menjadi percuma apa yang dijalani. Apalagi jika ingin merasakan kesuksesan seperti yang dijalani oleh orang lain. Bukan cuma jatuh cinta dengan lawan jenis saja yang harus pikir-pikir. Lebih dari itu, jatuh cinta dengan kehidupan pun harus dengan terhormat agar bisa menjadi orang baik dan bermanfaat. Ibuku adalah sosok yang sederhana. Ia selalu memotivasi agar tidak berlebihan dalam menjalani dan mencintai segala sesuatu. Hal itu ia wujudkan dengan memberikan fasilitas secukupnya dalam menjalani kehidupan kampus dan saat terjun ke dunia kerja. Aku bahkan sampai dua kali pernah merasakan kegagalan dan kecewa dengan hasil tes studi lanjut S3 ke Turki dan Australia karena tidak mengantongi restu Ibu. Sedih berkecamuk seperti down menjadi satu saat itu. Lama kelamaan aku baru sadar bahwa memang kegagalan itu yang mengantarku bisa mendapatkan apa yang saat ini aku dapatkan. Hidup memang selalu seperti itu adanya, kadang senang, kadang sedih, mungkin juga kadang galau berkepanjangan. Kini aku sadar bahwa hikmah dari suatu kejadian akan baru terasa nanti dan nanti. Ketika aku merasakan hidup kini semakin mudah, betapa aku bersyukur dan bahagia dulu aku pernah tidak terpilih untuk melanjutkan studi S3. Berkali-kali aku ucapkan alhamdulilaah. Hati Ibu memang tidak pernah putus ada dan ia adalah yang terakhir putus harapan dengan tingkah laku anak-anaknya. So far for what happened, I am so grateful for having you Mom. Restumu jalan tolku menuju bahagia.
Dulu saat kuliah hingga lulus S2, ibu tidak pernah memberikan izin padaku untuk membawa motor seperti teman-teman yang lain. Alasan beliau simple, aku akan kebanyakan main daripada belajar ketika aku punya semua fasilitas. Laptop saja aku baru punya saat aku duduk di semester tiga. Kedua orang tuaku bukan tipe manusia yang main-main dengan pendidikan anaknya. Itu terbukti dengan hukuman yang aku terima saat peringkatku merosot dari peringkat pertama menjadi peringkat kedua. Lebih baik segera pergi dari rumah saja daripada bertemu dengan mereka. Aku bakal jadi makanan empuk dengan nasihat panjang tanpa henti. Bisa jadi kalah curhatan mama dedeh. Dulu, aku kira itu wujud bencinya mereka terhadapku, tapi lagi-lagi aku salah. Sebegitu pedulinya mereka kepadaku hingga mereka tidak mau jika aku ini kalah saing dengan anak-anak yang lain. Harus selalu terdepan. Mereka juga selalu mengajarkan bahwa di balik semua kesulitan pasti ada banyak kemudahan. Sama seperti yang diajarkan Allah dalam surat Insyirah. After hardship comes ease. Hanya kami sebagai anaknya harus betul-betul merasakan dan mempercayai hal itu.
Mereka juga mengajarkan kami, kalau mau mendapatkan segala sesuatu harus usaha dulu. Tidak boleh langsung instan. Terbukti, dari jaman sekolah SD sudah harus jalan kaki dengan jarak yang cukup lumayan. Kalau siswa lain saat jam istirahat bisa main dan santai, kami jualan. Buat apa? Nambah uang jajan. Jualan jeruk, jambu, dan nanas di halaman sekolah. Hal itu berlanjut ketika jam sekolah sudah usai. Kami tidak boleh banyak main, beresin rumah, nyuci, ke kebun nyari jeruk dan jambu untuk kemudian dijual lagi besoknya. Aku ingat banget kalau hari Sabtu seusai jam sekolah kami harus segera mencuci pakaian sekolah dan sepatu. Setelah makan siang ke kebun atau menyelesaikan pekerjaan rumah. We are different at all. Hal-hal yang demikian yang menjadikan kami sangat tahan banting dengan keadaan dan ujian saat menempuh pendidikan. Tidak mudah mengeluh apalagi menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan Tuhan. Tidak akan, tidak bisa, tidak pernah. Kebiasaan yang sudah kami lalui itu pula yang membentuk kami bisa menjadi seperti sekarang. Well, actually we proud for having both of them. Meski hidup sudah seperti pendidikan militer yang setiap hari diberikan pressure yang begitu berarti, tetapi itu pula yang mengantarkan kami bisa merasakan menjadi ‘orang’ seperti yang Ibu dan Almarhum Bapak inginkan.  
Aku baru sadar sekarang bahwa ini adalah masa-masa aku bisa leyeh-leyeh dari CCTV orang tua, dari kejaran deadline yang tiada henti. Bejibun tiada akhir permintaan mereka. Memang tiada permintaan mereka yang negatif, serba positif. Buuuuuuuut, habis energi dan tenaga aku untuk memenuhi permintaan mereka. Sampai pada tahap dimana aku benar-benar berterima kasih dengan semua permintaan mereka dan nasehat yang melebihi kajian keislaman di tipi-tipi. They always provide the best things for us as long as they can. So we have to thank God for sending them to our life. How about you?
Ridho mereka juga yang mengantar aku bisa merasakan hidup di Pontianak saat ini, terutama Ibu. Beberapa kali aku meminta untuk merantau jauh, ia seperti keberatan. Hingga aku pernah merasakan jobless karena tidak menuruti permintaan salah satu saudara untuk mengajar di dua kampus ternama di Jakarta. Jelas aku menolak keduanya. Aku pikir, mendapatkan sesuatu dari hasil kedekatan dengan orang dalam dan atau menyogok apalagi menggunakan power atas nama keluarga adalah tidak worth it. Hal itu seketika berubah saat aku meminta izin pada Ibu untuk melanjutkan perjalanan hidup di Kalimantan Barat. Tanpa pikir panjang, ibu dengan suara bahagia mengiyakan apa yang aku minta. Entah ada angin dari mana yang berhembus menyusup telinga Ibu kala itu. Ia benar-benar bahagia saat aku mendapatkan pekerjaan di kota yang terkenan dengan hawa panas ini. Seperti ada atmosfer yang lain yang aku rasakan saat ibu memberikan restu untuk pergi di Pontianak. Bahagia dan penasaran akan seperti apa perjalanan kisah hidup di Pontianak. Antara gugup dan tidak percaya karena rotasi seketika akan berbeda. “Ah, setidaknya derita selama dua bulan tidur tidak menggunakan kasur akan berakhir. Selamat tinggal Ibu kota. Terima kasih Jakarta. Pontianak aku datang dengan semangat yang akan selalu menyala untuk bisa bermanfaat bagi banyak manusia. Insya Allah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...