‘Jatuh cintalah dengan terhormat agar kau
bisa merasakan mewahnya cinta kelas atas.’
Istilah
itu yang sering terniang-niang di kepalaku saat ingin merasakan kehidupan
seperti orang lain. Menjalani apapun harus ada dasarnya hingga tidak menjadi
percuma apa yang dijalani. Apalagi jika ingin merasakan kesuksesan seperti yang
dijalani oleh orang lain. Bukan cuma jatuh cinta dengan lawan jenis saja yang
harus pikir-pikir. Lebih dari itu, jatuh cinta dengan kehidupan pun harus
dengan terhormat agar bisa menjadi orang baik dan bermanfaat. Ibuku adalah
sosok yang sederhana. Ia selalu memotivasi agar tidak berlebihan dalam
menjalani dan mencintai segala sesuatu. Hal itu ia wujudkan dengan memberikan
fasilitas secukupnya dalam menjalani kehidupan kampus dan saat terjun ke dunia
kerja. Aku bahkan sampai dua kali pernah merasakan kegagalan dan kecewa dengan
hasil tes studi lanjut S3 ke Turki dan Australia karena tidak mengantongi restu
Ibu. Sedih berkecamuk seperti down menjadi satu saat itu. Lama kelamaan aku
baru sadar bahwa memang kegagalan itu yang mengantarku bisa mendapatkan apa
yang saat ini aku dapatkan. Hidup memang selalu seperti itu adanya, kadang
senang, kadang sedih, mungkin juga kadang galau berkepanjangan. Kini aku sadar
bahwa hikmah dari suatu kejadian akan baru terasa nanti dan nanti. Ketika aku
merasakan hidup kini semakin mudah, betapa aku bersyukur dan bahagia dulu aku
pernah tidak terpilih untuk melanjutkan studi S3. Berkali-kali aku ucapkan
alhamdulilaah. Hati Ibu memang tidak pernah putus ada dan ia adalah yang
terakhir putus harapan dengan tingkah laku anak-anaknya. So far for what
happened, I am so grateful for having you Mom. Restumu jalan tolku menuju
bahagia.
Dulu
saat kuliah hingga lulus S2, ibu tidak pernah memberikan izin padaku untuk
membawa motor seperti teman-teman yang lain. Alasan beliau simple, aku akan
kebanyakan main daripada belajar ketika aku punya semua fasilitas. Laptop saja
aku baru punya saat aku duduk di semester tiga. Kedua orang tuaku bukan tipe
manusia yang main-main dengan pendidikan anaknya. Itu terbukti dengan hukuman
yang aku terima saat peringkatku merosot dari peringkat pertama menjadi
peringkat kedua. Lebih baik segera pergi dari rumah saja daripada bertemu
dengan mereka. Aku bakal jadi makanan empuk dengan nasihat panjang tanpa henti.
Bisa jadi kalah curhatan mama dedeh. Dulu, aku kira itu wujud bencinya mereka
terhadapku, tapi lagi-lagi aku salah. Sebegitu pedulinya mereka kepadaku hingga
mereka tidak mau jika aku ini kalah saing dengan anak-anak yang lain. Harus
selalu terdepan. Mereka juga selalu mengajarkan bahwa di balik semua kesulitan
pasti ada banyak kemudahan. Sama seperti yang diajarkan Allah dalam surat
Insyirah. After hardship comes ease. Hanya kami sebagai anaknya harus
betul-betul merasakan dan mempercayai hal itu.
Mereka
juga mengajarkan kami, kalau mau mendapatkan segala sesuatu harus usaha dulu.
Tidak boleh langsung instan. Terbukti, dari jaman sekolah SD sudah harus jalan
kaki dengan jarak yang cukup lumayan. Kalau siswa lain saat jam istirahat bisa
main dan santai, kami jualan. Buat apa? Nambah uang jajan. Jualan jeruk, jambu,
dan nanas di halaman sekolah. Hal itu berlanjut ketika jam sekolah sudah usai.
Kami tidak boleh banyak main, beresin rumah, nyuci, ke kebun nyari jeruk dan
jambu untuk kemudian dijual lagi besoknya. Aku ingat banget kalau hari Sabtu
seusai jam sekolah kami harus segera mencuci pakaian sekolah dan sepatu.
Setelah makan siang ke kebun atau menyelesaikan pekerjaan rumah. We are
different at all. Hal-hal yang demikian yang menjadikan kami sangat tahan
banting dengan keadaan dan ujian saat menempuh pendidikan. Tidak mudah mengeluh
apalagi menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan Tuhan. Tidak akan, tidak
bisa, tidak pernah. Kebiasaan yang sudah kami lalui itu pula yang membentuk
kami bisa menjadi seperti sekarang. Well, actually we proud for having both of
them. Meski hidup sudah seperti pendidikan militer yang setiap hari diberikan
pressure yang begitu berarti, tetapi itu pula yang mengantarkan kami bisa
merasakan menjadi ‘orang’ seperti yang Ibu dan Almarhum Bapak inginkan.
Aku
baru sadar sekarang bahwa ini adalah masa-masa aku bisa leyeh-leyeh dari CCTV
orang tua, dari kejaran deadline yang tiada henti. Bejibun tiada akhir
permintaan mereka. Memang tiada permintaan mereka yang negatif, serba positif.
Buuuuuuuut, habis energi dan tenaga aku untuk memenuhi permintaan mereka. Sampai
pada tahap dimana aku benar-benar berterima kasih dengan semua permintaan
mereka dan nasehat yang melebihi kajian keislaman di tipi-tipi. They always
provide the best things for us as long as they can. So we have to thank God for
sending them to our life. How about you?
Ridho
mereka juga yang mengantar aku bisa merasakan hidup di Pontianak saat ini,
terutama Ibu. Beberapa kali aku meminta untuk merantau jauh, ia seperti
keberatan. Hingga aku pernah merasakan jobless karena tidak menuruti permintaan
salah satu saudara untuk mengajar di dua kampus ternama di Jakarta. Jelas aku
menolak keduanya. Aku pikir, mendapatkan sesuatu dari hasil kedekatan dengan
orang dalam dan atau menyogok apalagi menggunakan power atas nama keluarga
adalah tidak worth it. Hal itu seketika berubah saat aku meminta izin pada Ibu
untuk melanjutkan perjalanan hidup di Kalimantan Barat. Tanpa pikir panjang,
ibu dengan suara bahagia mengiyakan apa yang aku minta. Entah ada angin dari
mana yang berhembus menyusup telinga Ibu kala itu. Ia benar-benar bahagia saat
aku mendapatkan pekerjaan di kota yang terkenan dengan hawa panas ini. Seperti
ada atmosfer yang lain yang aku rasakan saat ibu memberikan restu untuk pergi
di Pontianak. Bahagia dan penasaran akan seperti apa perjalanan kisah hidup di
Pontianak. Antara gugup dan tidak percaya karena rotasi seketika akan berbeda. “Ah,
setidaknya derita selama dua bulan tidur tidak menggunakan kasur akan berakhir.
Selamat tinggal Ibu kota. Terima kasih Jakarta. Pontianak aku datang dengan
semangat yang akan selalu menyala untuk bisa bermanfaat bagi banyak manusia.
Insya Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar