Sejak menetap di Pontianak dari tahun 2017 lalu, jujur
aku mengakui banyak sekali hal yang dapat aku pelajari dari kota yang memiliki
cuaca sangat panas ini. Ya, belajar apa arti tenggang rasa dan saling
menghargai dalam aktivitas kehidupan bersosial. Mungkin banyak yang sudah
familiar bahwa di Pontianak ini kita dapat menemukan 3 etnis yang biasa dikenal
dengan sebutan Tidayu (Tiongkok, Dayak, dan Melayu) yang menjadikan kota ini
menjadi khas dan sangat spesial. Mereka ketiga etnis ini dapat hidup
berdampingan dan harmonis dalam menjaga hubungan baik satu sama lain. Buat aku
justru tidak hanya 3 etnis yang dapat aku temui di sini, aku juga menemukan
banyak majoriti etnis Jawa dan Madura. Coba saja berkeliling di sekitaran
Sepakat 2 Ayani, pasti akan bertemu banya sekali warga madura. Bahkan ada juga
yang menyebut daerah ini adalah kawasan kampung madura. Begitu juga dengan
etnis Jawa, aku sering sekali bertemu dengan banyak warga Jawa di Pontianak.
Mulai dari penjual masakan Lamongan, sate, putu bambu, tahu gejrot, pedagang
kaki lima, dan masih banyak lagi. Masih ada lagi suku yang lain, tapi menurutku
itu minoritas. Hanya Tidayu Raja (Tiongkok, Dayak, Melayu, Madura, dan Jawa)
yang paling banyak menurutku. CMIIW
Keberagaman ini juga aku temui pada kegiatan mengajar di
dalam kelas. Sebut saja aku masuk mengajar di prodi HI semester 4 atau 6
misalnya, ada beberapa dari mereka yang ber-etnis Melayu, ada juga yang Dayak,
serta ada yang Tionghoa. Selalu, buatku bagian paling romantis saat mengajar
mereka adalah ketika akan memulai kegiatan belajar. Aku meminta mereka untuk
membaca do'a sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Indah sekali
melihat mereka, ada yang beragam Budha, Kristen, Islam dan semuanya bermunajat
sesuai dengan ajaran mereka. Bahkan aku juga menemui banyak dari mahasiswa yang
bersahabat lintas budaya, unik dan mereka bisa akrab sekali. Saat adzan datang,
yang kristiani paham dan sabar menanti temannya yang muslim menjalankan ibadah
sholat. Pun demikian saat Sabtu dan Minggu tiba. Si Muslim dengan senang hati
mempersilahkan sahabatnya yang kristiani untuk mendatangi gereja untuk
melakukan ibadah. Seindah itu pemandangan yang aku saksikan. Hidup berdampingan
meski berbeda tapi tetap bisa saling kasih-mengasihi, hormat menghormati, dan
bisa saling berbagi kebahagian melalui perbedaan.
Aku sendiri pernah merasakan hal yang sama. Dulu aku
pernah begitu akrab dengan salah satu mahasiswa. Meski sekarang dia sudah tidak
melanjutkan kuliah lagi, tapi aku belajar banyak hal tentang tenggang rasa dari
dia. Yang kalau jalan bareng, dia pasti tahu kapan harus berhenti, jam berapa
adzan lalu ia akan meminta diri untuk istirahat dan mempersilahkanku untuk
melakukan sholat. Beberapa kali ia sempat bilang
"Bapak bisa disiplin banget sholat, apalagi sehari 5
kali. Baru aja kayaknya selesai sholat dzuhur, eh udah adzan lagi dan harus
sholat lagi. Emang nggak bosen ya Pak?"
"Enggaklah, justru ini menenangkan. Tiap kali aku
menyebut nama Tuhanku, aku mendapatkan energi baru. Tiap kali aku meminta,
Tuhanku memberikan harapan baru. Jadi tenang dan senang, ya meskipun kadang
bisa telat dan enggak selalu tepat waktu."
"Aku yang cuma seminggu sekali aja kayaknya susah,
males gitu mau ke gereja."
"Yaudah, masuk Islam aja biar sehari kamu sholat 5
kali. Gimana?"
Ia tertawa sambil menghidupkan motor dan kami bergegas
pergi.
Jika hari Sabtu dan Minggu tiba, aku sudah sangat paham,
tidak mungkin aku ajak dia jalan-jalan. Mungkin beberapa kali memastikan bahwa
ia akan ke gereja, menemui Tuhannya.
Bagian yang paling suka tetap sama, seperti yang
kusebutkan sebelumnya, saat meminta mahasiswa untuk berdo'a. Ketika mengawas
ujian misalnya. Sungguh view yang yang luar biasa. Aku belajar budaya toleransi
dari mahasiswaku sendiri. Mereka sudah sangat menginspirasi. Pontianak ini
sudah banyak mengajarkan arti toleransi yang sesungguhnya. Menghargai perbedaan
dan menerima persamaan untuk bisa saling hidup rukun dan berdampingan.
Oiya, aku ingat setahun yang lalu sepertinya aku pernah
baca tulisan di wall Facebook mahasiswa tentang hidup dalam keberagaman.
Mungkin kurang lebih seperti ini bunyinya:
Kami tinggal berlima
masing-masing berbeda agama
meyakini masing-masing Tuhannya
yang paling kasih dan kuasa
ketika kau jatuh sakit tiba-tiba
kami seketika berdo'a
manakala akhirnya kau sembuh
kami tidak saling berdebat do'a siapa yang paling ampuh
karena kami tahu apa yang tidak kami tahu
(5 Tuhan karya Norman Adi Satria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar