Minggu, 12 April 2020

Belajar Toleransi dari Mahasiswaku Sendiri.


Sejak menetap di Pontianak dari tahun 2017 lalu, jujur aku mengakui banyak sekali hal yang dapat aku pelajari dari kota yang memiliki cuaca sangat panas ini. Ya, belajar apa arti tenggang rasa dan saling menghargai dalam aktivitas kehidupan bersosial. Mungkin banyak yang sudah familiar bahwa di Pontianak ini kita dapat menemukan 3 etnis yang biasa dikenal dengan sebutan Tidayu (Tiongkok, Dayak, dan Melayu) yang menjadikan kota ini menjadi khas dan sangat spesial. Mereka ketiga etnis ini dapat hidup berdampingan dan harmonis dalam menjaga hubungan baik satu sama lain. Buat aku justru tidak hanya 3 etnis yang dapat aku temui di sini, aku juga menemukan banyak majoriti etnis Jawa dan Madura. Coba saja berkeliling di sekitaran Sepakat 2 Ayani, pasti akan bertemu banya sekali warga madura. Bahkan ada juga yang menyebut daerah ini adalah kawasan kampung madura. Begitu juga dengan etnis Jawa, aku sering sekali bertemu dengan banyak warga Jawa di Pontianak. Mulai dari penjual masakan Lamongan, sate, putu bambu, tahu gejrot, pedagang kaki lima, dan masih banyak lagi. Masih ada lagi suku yang lain, tapi menurutku itu minoritas. Hanya Tidayu Raja (Tiongkok, Dayak, Melayu, Madura, dan Jawa) yang paling banyak menurutku. CMIIW

Keberagaman ini juga aku temui pada kegiatan mengajar di dalam kelas. Sebut saja aku masuk mengajar di prodi HI semester 4 atau 6 misalnya, ada beberapa dari mereka yang ber-etnis Melayu, ada juga yang Dayak, serta ada yang Tionghoa. Selalu, buatku bagian paling romantis saat mengajar mereka adalah ketika akan memulai kegiatan belajar. Aku meminta mereka untuk membaca do'a sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Indah sekali melihat mereka, ada yang beragam Budha, Kristen, Islam dan semuanya bermunajat sesuai dengan ajaran mereka. Bahkan aku juga menemui banyak dari mahasiswa yang bersahabat lintas budaya, unik dan mereka bisa akrab sekali. Saat adzan datang, yang kristiani paham dan sabar menanti temannya yang muslim menjalankan ibadah sholat. Pun demikian saat Sabtu dan Minggu tiba. Si Muslim dengan senang hati mempersilahkan sahabatnya yang kristiani untuk mendatangi gereja untuk melakukan ibadah. Seindah itu pemandangan yang aku saksikan. Hidup berdampingan meski berbeda tapi tetap bisa saling kasih-mengasihi, hormat menghormati, dan bisa saling berbagi kebahagian melalui perbedaan.

Aku sendiri pernah merasakan hal yang sama. Dulu aku pernah begitu akrab dengan salah satu mahasiswa. Meski sekarang dia sudah tidak melanjutkan kuliah lagi, tapi aku belajar banyak hal tentang tenggang rasa dari dia. Yang kalau jalan bareng, dia pasti tahu kapan harus berhenti, jam berapa adzan lalu ia akan meminta diri untuk istirahat dan mempersilahkanku untuk melakukan sholat. Beberapa kali ia sempat bilang
"Bapak bisa disiplin banget sholat, apalagi sehari 5 kali. Baru aja kayaknya selesai sholat dzuhur, eh udah adzan lagi dan harus sholat lagi. Emang nggak bosen ya Pak?"
"Enggaklah, justru ini menenangkan. Tiap kali aku menyebut nama Tuhanku, aku mendapatkan energi baru. Tiap kali aku meminta, Tuhanku memberikan harapan baru. Jadi tenang dan senang, ya meskipun kadang bisa telat dan enggak selalu tepat waktu."
"Aku yang cuma seminggu sekali aja kayaknya susah, males gitu mau ke gereja."
"Yaudah, masuk Islam aja biar sehari kamu sholat 5 kali. Gimana?"
Ia tertawa sambil menghidupkan motor dan kami bergegas pergi.

Jika hari Sabtu dan Minggu tiba, aku sudah sangat paham, tidak mungkin aku ajak dia jalan-jalan. Mungkin beberapa kali memastikan bahwa ia akan ke gereja, menemui Tuhannya.

Bagian yang paling suka tetap sama, seperti yang kusebutkan sebelumnya, saat meminta mahasiswa untuk berdo'a. Ketika mengawas ujian misalnya. Sungguh view yang yang luar biasa. Aku belajar budaya toleransi dari mahasiswaku sendiri. Mereka sudah sangat menginspirasi. Pontianak ini sudah banyak mengajarkan arti toleransi yang sesungguhnya. Menghargai perbedaan dan menerima persamaan untuk bisa saling hidup rukun dan berdampingan.

Oiya, aku ingat setahun yang lalu sepertinya aku pernah baca tulisan di wall Facebook mahasiswa tentang hidup dalam keberagaman. Mungkin kurang lebih seperti ini bunyinya:

Kami tinggal berlima
masing-masing berbeda agama
meyakini masing-masing Tuhannya
yang paling kasih dan kuasa
ketika kau jatuh sakit tiba-tiba
kami seketika berdo'a
manakala akhirnya kau sembuh
kami tidak saling berdebat do'a siapa yang paling ampuh
karena kami tahu apa yang tidak kami tahu
(5 Tuhan karya Norman Adi Satria)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...