Sabtu, 31 Januari 2015

AKHIR SEBUAH AWAL, AWAL SEBUAH AKHIR

Langit malam itu hitam pekat, aku tak bisa membuka mataku dengan sempurna. Seluruh tubuhku terasa begitu berat untuk digerakkan. Mencoba menatap sekeliling isi kamar itu, sepi. Tidak ada seorang pun di sana. Malam itu datang sebagai pengiring segala rasa sakit yang tersimpan. Tenggorokanku tersekat, ingin meneguk segelas air, namun tidak ada yang bisa membantuku mengambilkan air saat itu. Seperti benteng yang berusaha untuk berdiri kokoh, namun malam itu harus terjatuh. Bagai sedang berjalan pada pergantian musim di awal tahun, namun hujan datang menghujamku. Aku perlahan surut, tak kuasa melakukan apapun. Dengan hati yang mencoba menerima, aku ikhlas untuk gugur dan bersahabat dengan ruang penuh alat medis malam itu. Kejadian itu selalu menuntutku berdamai dengan masa, kemudian kenyataan datang memaksa merelakan segalanya. Melepaskan erat genggaman luka yang masih menganga. Benarkah masih ada kebahagiaan baru yang akan tercipta?
Chandra kemudian datang membawakan plastik hitam berisikan roti dan minuman. Ia adalah tetangga di perumahan yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Malam itu Chandra hadir bersama kekasihnya, Yuni Ismi Alviani. Mereka rela menemani dan menghabiskan waktu untuk menghibur dan merawat manusia yang sedang dalam keadaan lemah sepertiku. “Entahlah, apa yang salah dari hidup ini, mengapa Tuhan mengirimkan cobaan yang begitu berat untuk dilalui. Saat aku berusaha untuk mengenangnya lebih banyak, otakku selalu berontak dan berkata tidak. Padahal, aku ingin melepaskan segalanya hingga tidak ada lagi rasa luka yang tersisa.”
Mungkin kali ini harus menjadi pengangguran, berhenti memikirkan semuanya. Bertahan, melangkah dan membenahi segala yang masih tertinggal dan bisa untuk dibenahi. Tuhan tidak membiarkanku untuk berjuang sendirian. Walaupun terlihat sulit, masih ada rindu, tawa dan cinta yang akan setia menjadi teman. Semarak resah gelisah itu akan terhapus bersama hilangnya sakit yang aku rasakan. Aku masih ingin bermimpi panjang, mengajak tiap hiasan mimpi itu menjadi kenangan. Meski harus menahan duka merindu, aku masih percaya semua itu akan membuahkan tawa, meski tidak sekarang. Masih adakah luka yang lebih berat yang harus berkenalan dengan kehidupanku? Dawai angin sendu malam itu membawaku berpikir jauh untuk melepaskan segalanya. Meski mereka menganggap itu adalah kepingan ketololan dalam hidup, aku sudah menerimanya dengan ikhlas. Biarlah berlalu, terhempas gelombang besar pantai dan angin malam, agar semua hilang tanpa ada lagi kenangan tersisa untuk masa lalu yang tidak layak untuk dikenang. Bukankah duduk sendiri menyepi di tempat yang sepi adalah solusi terbaik saat bisingnya dunia tak lagi berteman baik? Bagaimana pun, riuh suara penderitaan yang pernah melaju akan hilang dan takkan lagi bergema. Riuhnya akan mati, hilang ditelan masa.
“Sudahlah, buanglah semua cemasmu untuk memikirkan segalanya, hidup kita akan baik-baik saja,” ungkap Chandra dengan nada ringan sambil menjulurkan obat yang harus aku habiskan. Ia seperti mampu membaca apa yang sedang aku rasakan. Padahal, aku sama sekali tidak bercerita apa-apa padanya. Sejak awal memasuki ruangan di rumah sakit ini, kami bahkan tidak banyak berungkap kata. Ia dan Yunis memintaku untuk banyak beristirahat dan segara kembali melakukan rutinitas seperti biasa.
“Ini adalah waktu untukmu beristirahat Mas, jadi nikmati saja dulu. Ini adalah awal untuk kembali lagi seperti sebelumnya, melakukan banyak rutinitas di sepanjang hari yang berlalu. Ini kesempatan untukmu,” tutur Yunis sembari meletakkan gadget kesayangannya di atas ranjang tepat di sebelah aku terbaring saat itu.
“Jika kau pernah merasakan ini sebelumnya, kau akan semakin tertempa untuk bangkit dan beranjak dari cerita hidup lama. Tenanglah sejenak, rasa takut itu tidak selalu menawarkan kesedihan. Rasa takut itu sudah lama berlalu meninggalkanmu. Meninggalkanmu dalam gigil dan pengapnya dunia sepanjang sisa waktu malam tadi beradu.”
Mereka terlalu baik untuk memeluk hening satu sama lain. Sementara malam akan terus berlalu tanpa meminta dan pamit sebelum ia berlalu. Kesunyian itu sudah tidak lagi ada, ia hilang bersama terpaan deras angin sebelum fajar datang mendekat. Sesaat aku tersadar, ini adalah bagian cerita untuk awal kehidupan yang akan terus melaju dengan harapan-harapan mulia yang masih tersisa. Redup cahaya lampu neon itu menjadi saksi untuk akhir cerita yang tak ingin lagi terulang dalam sisa nafas yang ada. Meski dinding lapuk akan dimakan usia, awal cerita ini akan terus bergulir, hingga malam tak lagi datang, dan matahari tak lagi bersinar. Aku kembali pada poros awal dan larut dalam cerita dan kepingan mimpi-mimpi yang sudah tertuliskan. Meski detik-detik berlalu terasa menyebalkan, awal langkah baru ini akan menjadi catatan perjuangan.

Kali ini langkah harus berpindah dengan masa yang lebih indah. Seperti indahnya Chandra dan Yunis yang selalu hadir dengan segala kebaikan mereka. Aku harap suasana awal perjalanan ini akan terus berpindah menjadi kenyataan baik dan berita bahagia. Titik kecemasan itu adalah akhir dari segalanya, masa depan masih menyimpan kejutan. Aku memutuskan pergi, berpaling dari bayang-bayang semu yang aku anggap sebagai penghalang segala impian. Meski harus kembali, aku akan hadir dengan perasaan nyata, bukan lagi seperti dulu. berpindah, adalah keputusan akhir yang menjadi awal untuk kembali memulai segalanya. Dan menutup lembaran masa lalu, adalah awal untuk akhir yang tak perlu lagi untuk disesali. Karena semua ada masanya, aku ingin awal yang nyata, bukan khayalan dan harapan kosong yang tak bernama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...