Langit malam itu hitam pekat,
aku tak bisa membuka mataku dengan sempurna. Seluruh tubuhku terasa begitu berat
untuk digerakkan. Mencoba menatap sekeliling isi kamar itu, sepi. Tidak ada
seorang pun di sana. Malam itu datang sebagai pengiring segala rasa sakit yang
tersimpan. Tenggorokanku tersekat, ingin meneguk segelas air, namun tidak ada
yang bisa membantuku mengambilkan air saat itu. Seperti benteng yang berusaha
untuk berdiri kokoh, namun malam itu harus terjatuh. Bagai sedang berjalan pada
pergantian musim di awal tahun, namun hujan datang menghujamku. Aku perlahan
surut, tak kuasa melakukan apapun. Dengan hati yang mencoba menerima, aku
ikhlas untuk gugur dan bersahabat dengan ruang penuh alat medis malam itu.
Kejadian itu selalu menuntutku berdamai dengan masa, kemudian kenyataan datang
memaksa merelakan segalanya. Melepaskan erat genggaman luka yang masih
menganga. Benarkah masih ada kebahagiaan baru yang akan tercipta?
Chandra kemudian datang
membawakan plastik hitam berisikan roti dan minuman. Ia adalah tetangga di
perumahan yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Malam itu Chandra
hadir bersama kekasihnya, Yuni Ismi Alviani. Mereka rela menemani dan
menghabiskan waktu untuk menghibur dan merawat manusia yang sedang dalam
keadaan lemah sepertiku. “Entahlah, apa yang salah dari hidup ini, mengapa
Tuhan mengirimkan cobaan yang begitu berat untuk dilalui. Saat aku berusaha
untuk mengenangnya lebih banyak, otakku selalu berontak dan berkata tidak.
Padahal, aku ingin melepaskan segalanya hingga tidak ada lagi rasa luka yang
tersisa.”
Mungkin kali ini harus menjadi
pengangguran, berhenti memikirkan semuanya. Bertahan, melangkah dan membenahi
segala yang masih tertinggal dan bisa untuk dibenahi. Tuhan tidak membiarkanku
untuk berjuang sendirian. Walaupun terlihat sulit, masih ada rindu, tawa dan
cinta yang akan setia menjadi teman. Semarak resah gelisah itu akan terhapus
bersama hilangnya sakit yang aku rasakan. Aku masih ingin bermimpi panjang,
mengajak tiap hiasan mimpi itu menjadi kenangan. Meski harus menahan duka
merindu, aku masih percaya semua itu akan membuahkan tawa, meski tidak
sekarang. Masih adakah luka yang lebih berat yang harus berkenalan dengan
kehidupanku? Dawai angin sendu malam itu membawaku berpikir jauh untuk
melepaskan segalanya. Meski mereka menganggap itu adalah kepingan ketololan
dalam hidup, aku sudah menerimanya dengan ikhlas. Biarlah berlalu, terhempas
gelombang besar pantai dan angin malam, agar semua hilang tanpa ada lagi
kenangan tersisa untuk masa lalu yang tidak layak untuk dikenang. Bukankah
duduk sendiri menyepi di tempat yang sepi adalah solusi terbaik saat bisingnya
dunia tak lagi berteman baik? Bagaimana pun, riuh suara penderitaan yang pernah
melaju akan hilang dan takkan lagi bergema. Riuhnya akan mati, hilang ditelan
masa.
“Sudahlah, buanglah semua
cemasmu untuk memikirkan segalanya, hidup kita akan baik-baik saja,” ungkap
Chandra dengan nada ringan sambil menjulurkan obat yang harus aku habiskan. Ia
seperti mampu membaca apa yang sedang aku rasakan. Padahal, aku sama sekali
tidak bercerita apa-apa padanya. Sejak awal memasuki ruangan di rumah sakit
ini, kami bahkan tidak banyak berungkap kata. Ia dan Yunis memintaku untuk
banyak beristirahat dan segara kembali melakukan rutinitas seperti biasa.
“Ini adalah waktu untukmu
beristirahat Mas, jadi nikmati saja
dulu. Ini adalah awal untuk kembali lagi seperti sebelumnya, melakukan banyak
rutinitas di sepanjang hari yang berlalu. Ini kesempatan untukmu,” tutur Yunis
sembari meletakkan gadget
kesayangannya di atas ranjang tepat di sebelah aku terbaring saat itu.
“Jika kau pernah merasakan ini
sebelumnya, kau akan semakin tertempa untuk bangkit dan beranjak dari cerita
hidup lama. Tenanglah sejenak, rasa takut itu tidak selalu menawarkan
kesedihan. Rasa takut itu sudah lama berlalu meninggalkanmu. Meninggalkanmu
dalam gigil dan pengapnya dunia sepanjang sisa waktu malam tadi beradu.”
Mereka terlalu baik untuk
memeluk hening satu sama lain. Sementara malam akan terus berlalu tanpa meminta
dan pamit sebelum ia berlalu. Kesunyian itu sudah tidak lagi ada, ia hilang
bersama terpaan deras angin sebelum fajar datang mendekat. Sesaat aku tersadar,
ini adalah bagian cerita untuk awal kehidupan yang akan terus melaju dengan
harapan-harapan mulia yang masih tersisa. Redup cahaya lampu neon itu menjadi
saksi untuk akhir cerita yang tak ingin lagi terulang dalam sisa nafas yang
ada. Meski dinding lapuk akan dimakan usia, awal cerita ini akan terus
bergulir, hingga malam tak lagi datang, dan matahari tak lagi bersinar. Aku
kembali pada poros awal dan larut dalam cerita dan kepingan mimpi-mimpi yang
sudah tertuliskan. Meski detik-detik berlalu terasa menyebalkan, awal langkah
baru ini akan menjadi catatan perjuangan.
Kali ini langkah harus
berpindah dengan masa yang lebih indah. Seperti indahnya Chandra dan Yunis yang
selalu hadir dengan segala kebaikan mereka. Aku harap suasana awal perjalanan
ini akan terus berpindah menjadi kenyataan baik dan berita bahagia. Titik
kecemasan itu adalah akhir dari segalanya, masa depan masih menyimpan kejutan. Aku
memutuskan pergi, berpaling dari bayang-bayang semu yang aku anggap sebagai
penghalang segala impian. Meski harus kembali, aku akan hadir dengan perasaan
nyata, bukan lagi seperti dulu. berpindah, adalah keputusan akhir yang menjadi
awal untuk kembali memulai segalanya. Dan menutup lembaran masa lalu, adalah
awal untuk akhir yang tak perlu lagi untuk disesali. Karena semua ada masanya,
aku ingin awal yang nyata, bukan khayalan dan harapan kosong yang tak bernama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar