Dengan segala kemurnian
hati, aku berdiri di sini. Memandangi barisan para pejuang yang berlari untuk
menegakkan keadilan yang tak mustahil adanya. Keadilan seperti apa? Mungkin
mereka menyebutnya kebijaksanaan. Kelompok yang tidak pernah letih menyongsong
hari esok. Meski sekedar membuka cakrawala yang sudah lama tertutup. Mereka
tumbuh seperti pohon beringin yang sangat menyejukkan. Laksana naungan
keteduhan akan bisingnya telinga dari teriakan kalimat sejahtera. Jika usaha
yang mereka lakukan tak berarti, hentikanlah.
Aku mendesah dalam
tanpa gerangan. Agaknya sangat tidak perlu untuk menertawakan kebodohan diri
sendiri. Disuguhi segala wejangan yang mereka sebut adalah pesta demokrasi.
Pemandangan apa yang terjadi? Mereka menerima itu semua dengan lapang dada,
manut-manut saja. Tiada usaha untuk menghilangkan keresahan yang sudah
turun-temurun diwariskan. Ibarat sebuah penyakit berbahaya, mereka menuruti
saja meski segalanya terlihat salah.
“Kenapa kamu diam Zet? Apakah
ada yang salah dengan negeri ini?” ujar Nisa yang datang mendekat sambil
menyodorkan dua buah buku yang aku pesan tiga hari yang lalu.
Aku terdiam, keningku berkerut
tak sempurna. Nisa tidak sadar dengan mental para pendendam yang terjajah sejak
jaman kerajaan. Lantas aku berpikir jika aksi itu adalah kesempatan untuk
meluapkan bakat akting yang terpendam, mungkin. Aku diam-diam menggolongkan
diri sebagai orang terdidik yang pandai memberi komentar. Rakyat terlalu polos
untuk dibodohi, karena memang sebagian dari mereka tidak mengerti. Mereka tidak
butuh obralan janji palsu yang seraya berubah menjadi kenangan hampa masa lalu.
Mereka takkan bisa menjadi sejahtera karena kebodohan yang masih mendera. Terlalu
naif bila mengatakan mereka bijaksana, belum ada bukti. Janji-janji itu masih
mengawang bak awan di langit senja. Sungguh masih jauh jika harus disandingkan
dengan kata bijaksana. Tumpukan masalah masih meraung berteriak bak macan lapar
di tengah hutan.
Maaf, itulah kata yang tersisa
tiap kali aku mengingatmu. Negeri dengan segala keistimewaan yang hingga kini
masih terjajah. Aku enggan menjadi manusia munafik yang terpaksa mengatakan
bila bangsa ini telah merdeka. Belum! Bangsa ini masih terjajah. Terjajah
dengan segala belitan hutang yang menyiksakan luka penduduknya. Betapa pun
banyak lisan yang mengatakan negeri ini merdeka, aku tidak percaya. Aku masih
menyaksikan mereka rela saling caci untuk mendapatkan apa yang mereka suka.
Mata ini sering menjadi saksi melihat sosok-sosok berdasi menjadi pemimpin yang
tamak. Seharusnya banyak sekali alasan yang bisa diucapkan untuk mewujudkan
kemerdekaan negeri ini. Tapi, itu semua sepertinya masih jauh dari harapanku.
Seperti Nisa yang berharap bahagia namun kegelapan datang melanda hidupnya.
“Sudahlah Zet, abaikan saja apa
yang menjadi inginmu. Itu hanya bayangan ilusi yang takkan pernah menjadi
kenyataan. Kau hanya butuh sedikit sikap realistis ketika berbicara tentang
negeri ini.”
“Kenapa Nisa? Kenapa? Kenapa aku
harus diam dan tertunduk lesu memandang segalanya dari negeri ini? Tidakkah aku
bisa memperjuangkan negeri berdarah ini?” suaraku mulai parau. Aku tidak ingin
sikap optimisku berkurang. Imajinasiku masih berharap negeri ini akan berubah.
Seperti setiap iklan televisi yang pernah aku tonton. Negeri ini bisa menjadi
negeri ternama di dunia.
“Kamu harus sadar Zet bahwa
segala apa yang kamu pikirkan tentang negeri ini sulit sekali terwujud. Cobalah
perhatikan deretan mobil mewah yang melaju kencang di ibukota, adakah mereka
memikirkan nasib kita? Tidak Zet, tidak! Mereka sibuk dengan urusan mereka
sendiri.” Dengan luapan emosi Nisa menuturkan itu di hadapanku.
“Kamu seharusnya sadar bahwa
negeri ini pantas mendapatkan julukan negeri berdarah Zet. Lihatlah nasib
penduduknya, jauh sekali dari sebutan sejahtera seperti janji-janji yang mereka
umbar ketika hendak duduk di kursi jabatan. Mereka hadir dengan wajah manis
menawarkan segala kenikmatan atas nama rakyat. Tapi nyatanya, dimana mereka
letakkan janji-janji mereka? Aku tidak habis pikir dengan tingkah mereka Zet,
aku terlalu kecewa.”
“Apakah kecewamu itu hingga
kini tidak terobati Nisa?” tanyaku datar masih dengan wajah antusias untuk
mendengarkan jawaban gadis manis itu.
“Ya, aku sungguh kecewa dengan
mereka semua. Aku tidak akan pernah menyebutnya INDONESIA jika di dalamnya
masih terdapat wajah-wajah rakus yang mengeruk segala kekayaan negeri ini untuk
mempertebal dompet mereka. Tidak akan Zet, tidak akan!” suara Nisa seperti letupan
peluru tajam yang terbang dan jatuh tepat sasaran.
Gumpalan embun mulai menghitam.
Tetes demi tetes air itu kemudian turun menghujam tubuh kami. Tubuhku terasa
lengket. Tak lama berselang, Nisa berlari meninggalkanku. Ia mencari tempat
yang teduh untuk berlindung dari cercaan hujan yang jatuh semakin deras. Aku
mengikuti langkah gemulai itu. Kemudian duduk dengan jarak tidak terlalu jauh.
Sepertinya Nisa benar dengan apa yang ia katakan di hadapanku tadi. Hujan ini
seolah menjadi saksi pembenaran kalimat-kalimat yang ia ungkapkan tadi. Bumi
pun seraya menangis. Negeri ini masih berdarah, negeri ini masih krisis. Negeri
ini masih rusak dengan kebiasaan mereka yang suka korupsi. Negeri ini masih berdarah
karena banyaknya penguasa yang tidak peduli dengan nasib warganya. Aku mencoba
menutup mataku, melupakan semua kisah pilu negeri ini. Meski benar, biarlah!
Negeri ini masih berdarah. Kelak aku akan hadir sebagai sosok pembangkit segala
kebusukan yang pernah ada. Aku akan hadir mengusap darah-darah liar itu. Aku
akan menjadi pemburu kemerdekaan yang kini masih terenggut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar