Sabtu, 31 Januari 2015

NEGERI BERDARAH

Dengan segala kemurnian hati, aku berdiri di sini. Memandangi barisan para pejuang yang berlari untuk menegakkan keadilan yang tak mustahil adanya. Keadilan seperti apa? Mungkin mereka menyebutnya kebijaksanaan. Kelompok yang tidak pernah letih menyongsong hari esok. Meski sekedar membuka cakrawala yang sudah lama tertutup. Mereka tumbuh seperti pohon beringin yang sangat menyejukkan. Laksana naungan keteduhan akan bisingnya telinga dari teriakan kalimat sejahtera. Jika usaha yang mereka lakukan tak berarti, hentikanlah.
Aku mendesah dalam tanpa gerangan. Agaknya sangat tidak perlu untuk menertawakan kebodohan diri sendiri. Disuguhi segala wejangan yang mereka sebut adalah pesta demokrasi. Pemandangan apa yang terjadi? Mereka menerima itu semua dengan lapang dada, manut-manut saja. Tiada usaha untuk menghilangkan keresahan yang sudah turun-temurun diwariskan. Ibarat sebuah penyakit berbahaya, mereka menuruti saja meski segalanya terlihat salah.
“Kenapa kamu diam Zet? Apakah ada yang salah dengan negeri ini?” ujar Nisa yang datang mendekat sambil menyodorkan dua buah buku yang aku pesan tiga hari yang lalu.
Aku terdiam, keningku berkerut tak sempurna. Nisa tidak sadar dengan mental para pendendam yang terjajah sejak jaman kerajaan. Lantas aku berpikir jika aksi itu adalah kesempatan untuk meluapkan bakat akting yang terpendam, mungkin. Aku diam-diam menggolongkan diri sebagai orang terdidik yang pandai memberi komentar. Rakyat terlalu polos untuk dibodohi, karena memang sebagian dari mereka tidak mengerti. Mereka tidak butuh obralan janji palsu yang seraya berubah menjadi kenangan hampa masa lalu. Mereka takkan bisa menjadi sejahtera karena kebodohan yang masih mendera. Terlalu naif bila mengatakan mereka bijaksana, belum ada bukti. Janji-janji itu masih mengawang bak awan di langit senja. Sungguh masih jauh jika harus disandingkan dengan kata bijaksana. Tumpukan masalah masih meraung berteriak bak macan lapar di tengah hutan.
Maaf, itulah kata yang tersisa tiap kali aku mengingatmu. Negeri dengan segala keistimewaan yang hingga kini masih terjajah. Aku enggan menjadi manusia munafik yang terpaksa mengatakan bila bangsa ini telah merdeka. Belum! Bangsa ini masih terjajah. Terjajah dengan segala belitan hutang yang menyiksakan luka penduduknya. Betapa pun banyak lisan yang mengatakan negeri ini merdeka, aku tidak percaya. Aku masih menyaksikan mereka rela saling caci untuk mendapatkan apa yang mereka suka. Mata ini sering menjadi saksi melihat sosok-sosok berdasi menjadi pemimpin yang tamak. Seharusnya banyak sekali alasan yang bisa diucapkan untuk mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Tapi, itu semua sepertinya masih jauh dari harapanku. Seperti Nisa yang berharap bahagia namun kegelapan datang melanda hidupnya.
“Sudahlah Zet, abaikan saja apa yang menjadi inginmu. Itu hanya bayangan ilusi yang takkan pernah menjadi kenyataan. Kau hanya butuh sedikit sikap realistis ketika berbicara tentang negeri ini.”
“Kenapa Nisa? Kenapa? Kenapa aku harus diam dan tertunduk lesu memandang segalanya dari negeri ini? Tidakkah aku bisa memperjuangkan negeri berdarah ini?” suaraku mulai parau. Aku tidak ingin sikap optimisku berkurang. Imajinasiku masih berharap negeri ini akan berubah. Seperti setiap iklan televisi yang pernah aku tonton. Negeri ini bisa menjadi negeri ternama di dunia.
“Kamu harus sadar Zet bahwa segala apa yang kamu pikirkan tentang negeri ini sulit sekali terwujud. Cobalah perhatikan deretan mobil mewah yang melaju kencang di ibukota, adakah mereka memikirkan nasib kita? Tidak Zet, tidak! Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri.” Dengan luapan emosi Nisa menuturkan itu di hadapanku.
“Kamu seharusnya sadar bahwa negeri ini pantas mendapatkan julukan negeri berdarah Zet. Lihatlah nasib penduduknya, jauh sekali dari sebutan sejahtera seperti janji-janji yang mereka umbar ketika hendak duduk di kursi jabatan. Mereka hadir dengan wajah manis menawarkan segala kenikmatan atas nama rakyat. Tapi nyatanya, dimana mereka letakkan janji-janji mereka? Aku tidak habis pikir dengan tingkah mereka Zet, aku terlalu kecewa.”
“Apakah kecewamu itu hingga kini tidak terobati Nisa?” tanyaku datar masih dengan wajah antusias untuk mendengarkan jawaban gadis manis itu.
“Ya, aku sungguh kecewa dengan mereka semua. Aku tidak akan pernah menyebutnya INDONESIA jika di dalamnya masih terdapat wajah-wajah rakus yang mengeruk segala kekayaan negeri ini untuk mempertebal dompet mereka. Tidak akan Zet, tidak akan!” suara Nisa seperti letupan peluru tajam yang terbang dan jatuh tepat sasaran.

Gumpalan embun mulai menghitam. Tetes demi tetes air itu kemudian turun menghujam tubuh kami. Tubuhku terasa lengket. Tak lama berselang, Nisa berlari meninggalkanku. Ia mencari tempat yang teduh untuk berlindung dari cercaan hujan yang jatuh semakin deras. Aku mengikuti langkah gemulai itu. Kemudian duduk dengan jarak tidak terlalu jauh. Sepertinya Nisa benar dengan apa yang ia katakan di hadapanku tadi. Hujan ini seolah menjadi saksi pembenaran kalimat-kalimat yang ia ungkapkan tadi. Bumi pun seraya menangis. Negeri ini masih berdarah, negeri ini masih krisis. Negeri ini masih rusak dengan kebiasaan mereka yang suka korupsi. Negeri ini masih berdarah karena banyaknya penguasa yang tidak peduli dengan nasib warganya. Aku mencoba menutup mataku, melupakan semua kisah pilu negeri ini. Meski benar, biarlah! Negeri ini masih berdarah. Kelak aku akan hadir sebagai sosok pembangkit segala kebusukan yang pernah ada. Aku akan hadir mengusap darah-darah liar itu. Aku akan menjadi pemburu kemerdekaan yang kini masih terenggut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...