Selasa, 30 September 2014

Selamat dan Sukses!

Aku dulu pernah kesal. Kesal yang membuatku susah untuk mengungkapkan segala bentuk peduli dan harapan baik yang membuatnya bisa tersadar. Entah, mungkin masa-masa gemilangnya telah redup ditelan malam yang panjang. Sepertinya jiwa itu sudah lelah. Padahal, rembulan belum berucap pamit pada setiap rentang panjang penuh kilas harap. Mentari tidak jenuh untuk bersinar. Selalu, setiap hari ia datang menerangi bumi. Jiwa itu kenapa? Entahlah, jangan tanyakan aku!
“Akan selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah proses. Sulit, susah, jatuh, terpuruk menjadikan ihwal perjalanan semakin terasa tak memudar.” Hari ini, perjalanan panjang itu telah terlewati. Setelah sekian lama aku memendam rasa penuh harap agar masa-masa itu tiba, ternyata benar. Hari ini masa itu hadir menyapa kami. Setelah berjalan beberapa saat di depan gedung putih itu, aku menghentikan langkah. Aku sibuk menekan tombol HP yang aku pegang. Mencari deretan nama kontak yang aku maksud untuk bisa memastikan peristiwa penuh haru itu pasti akan terjadi. Ya, hari ini, aku yakin. Janji Tuhan tidak akan meleset, hasil tidak akan mendustai usaha. Sekali lagi aku yakin.
“Kak di mana?”
“Di kampus lagi nungguin Bang Gia ujian dek.” Suara itu berbeda. Siapa? Kok bisa?
“Iya, di gedung mana kak?”
“Di Lab hUkum lantai 2 gedung syari’ah. Mau kesini kah?”
“Iya kak, ini aku lagi di UIN.”
Dengan langkah pasti aku mendekati bangunan berwarna hijau dan putih itu. Memasuki gedung di mana peristiwa haru hari ini akan terjadi, begitulah harapku. Dengan semangat aku menaiki tangga demi tangga hingga sampai di tempat yang aku cari. Ya, lantai 2 di Lab Hukum. Mataku sibuk mencari dan memandang orang yang sedang duduk di depan kelas itu. Beberapa detik kemudian, mata ini tertuju kepada dua sosok yang sedang saling bercakap tak jauh dari tempat aku berdiri. Mendekat dan menyapa mereka. Iya benar, itu mereka yang aku cari. Setelah bercakap sejenak, kembali berbalik badan dan menyaksikan lelaki yang sedang duduk menghadap tiga dosen penguji itu. “Yaa Tuhan, permudahlah, jangan Engkau persulit.”
“Yaa Allah gimana ya Bang, aku kok gugup,” ujar Yuli.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ya itu, Bang Gia lagi ujian. Aku nanti gimana ya? Akhirnya Bang Gia ujian juga ya?”
“Sudah biasa aja dek. Bisa kok. Ujian skripsi itu tidak susah seperti yang dibayangkan.”
“Iya dek, cuma kayak presentasi biasa aja. Cuma dosennya bakal nanyain, ini kok kayak gini, di halaman sekian datanya begini dan begini, coba dijelaskan, gitu-gitu aja dek,” ujar Kak Septi.
“Kakak malah dulu ujian gak didampingi sama dosen pembimbing, jadi berjuang sendirian.” Ujarnya lagi.
“Sebentar lagi, kamu akan jadi sarjana Bang, aku ikut bangga. Akhirnya kita bisa jadi sarjana,” gumamku lirih. Dengan perlahan tapi pelan, harapan dan do’a itu merasuk terbang jauh melayang. Masih menginginkan keajaiban adalah teman kami untuk bisa pulang. Cahaya demi cahaya datang memasuki ruang ujian itu. Yaa Tuhan, betapa besarnya kuasamu hari ini. Meski sepi, aku masih berdiskusi dengan lirihnya suara hati yang memilih menemani langkah akhir ini. Entahlah, semoga kemerdekaan itu akan menjadi milikmu hari ini.
Tidak lama berselang, ia datang mendekat. Seperti lelah seraya kaget melihatku ada di di antara dua bidadari yang sedari tadi menemani langkahnya. Aku menyalaminya. Guratan wajah itu belum hilang, hasilnya masih didiskusikan. Tapi aku yakin pada janji Tuhan.
“Sebentar lagi, masih nunggu panggilan masuk buat tau hasilnya,” ujarnya tenang.
Akhirnya selesai juga ujian itu. Lima menit? Tidak, tidak sampai. Belum tepat lima menit, ia masuk dan duduk di depan dosen penguji itu. Kemudian, berbalik badan dan hadir dengan senyum ceria meski tidak sempurna.
“Lulus, aku dapat nilai B+”
“Yaa Allah, Alhamdulillah. Ingin rasanya sujud di sini. Tidak, jangan! Lelah perjalanan kemarin, tadi seperti sudah hilang.”
Aku mengintip lembaran-lembaran tugas akhir itu. Tak sengaja lembar persembahan menjadi awal lembar yang aku buka. “Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tua yang telah berjasa besar dalam hidupku.” Begitulah kurang lebih goresan tinta itu. Mata ini hampir saja menumpahkan beban yang sudah tidak kuasa aku tahan. Untung aku lelaki, tidak mungkin aku menangis di sini. Aku baca ulang lembaran itu. “Yaa Allah, semoga Ayah bahagia di alam sana melihat anaknya ini sudah menjadi sarjana. Ibu, restumu selalu menjadi penyemangat kami dalam melangkah.” Huh! Sungguh aku terharu, aku tidak bisa berbohong untuk itu.
Singkat sekali kalimat yang sudah ia tuliskan. Tapi, itu sungguh amat bermakna dalam. Bahkan sedalam lautan yang ada di bumi yang telah Tuhan ciptakan ini.
Dulu kau pernah terjatuh, terpuruk bahkan mungkin sulit untuk bangkit. Tapi, jiwa yang hadir menjadi teman hidupmu telah menjadikan hari ini hari bahagiamu. Memasang senyum simpul atas keberhasilanmu menjalankan apa yang menjadi kewajiban. Hari ini kami menyaksikan tentang nikmatnya dari proses panjang. Hari ini kami berujar tentang makna sebuah perjuangan penuh makna. Tentang jatuh bangun dalam melangkah kemudian mampu berdiri tegak. Tentang keindahan di kanan kiri jalan yang dulu penuh ranjau namun terlewati dengan baik. Tentang terjalnya medan penuh batu kerikil yang mampu kau taklukkan. Tentang peluh dan air mata yang pernah ada kemudian menitik menjadi serangkaian senyum ringan ketika kau mampu menjemput impian. Lantas, dengan bangga kau berkata “Alhamdulillah, aku lulus.” Dan aku menambahkan dalam diamku “Kau kini sarjana Bang.”
Menjalani semua itu bukanlah perkara mudah. Tidak seperti yang nyaman kita bayangkan. Selamat untuk setiap pijakan jejak langkah yang pernah kau ayunkan. Untuk tangan yang selalu menengadah untuk diberikan kemudahan oleh Tuhan. Sepasang kaki yang mungkin pernah lelah tapi bisa bangkit dan berjalan meski terlihat sulit untuk berlari. Nikmatilah! Teriakkan dengan bangga bahwa hari ini mimpimu yang pernah kau tuliskan dulu sudah menjadi nyata. Jiwa diperbolehkan, mungkin gedung putih itu akan banjir jika air mata kami meleleh karena melihatmu lulus. Sungguh, aku terharu. Hari ini aku bangga sekali melihatmu berjalan, melangkah menjemput dan membuktikan hal yang membahagiakan Ibu di rumah.
Sekali lagi aku yakin, janji Tuhan itu pasti. Begitu pun hari ini. Hasil tidak akan pernah mendustai usahanya. Hari ini seperti terjebak di dalam aksara kumpulan rindu di ufuk senja. Memahat sayunya asmara kata jika Ayah sedang ada bersama kita. Tahukah kau, Ayah pasti bangga melihatmu hari ini, menjadi seorang sarjana, meski ia tidak bisa menjabat tanganmu, memelukmu dan berkata “Selamat Nak, hari ini kamu jadi sarjana!” Ayah pasti bangga melihatmu menjadi sosok yang kami kagumi hari ini, ia pasti tersenyum melihat anaknya menjadi pribadi yang dibanggakan. Lelah dan peluh yang dulu pernah ia rasakan, hari ini berubah menjadi bahagia, meski ia tidak ada di samping kita. Aku yakin, Ibu pasti menangis karena tak kuasa menahan haru yang sore ini datang mendekat menyapanya. Berbisik bahwa anaknya hari ini sudah menjadi seorang sarjana. Beliau pasti bangga, bersyukur pada Tuhan karena do’a yang setiap malam ia panjatkan dengan tangan yang tak pernah lelah, dengan hati yang selalu hadir, hari ini telah terjawab. Sebentar lagi, yudisium tanda pengukuhan seorang sarjana akan kau jalani. Toga sebagai pakaian kebesaran akan kau kenakan. Tidak hentinya hari bersyukur mengingatmu telah sampai pada garis finish. Untuk segala proses yang telah lalu, semoga mengajarkan pengalaman hidup yang berarti. Semoga terus melangkah maju dan selalu berhasil dalam setiap angan dan mimpi yang telah kau tuliskan. Selamat dan sukses untukmu saudaraku, Bahagia Putra SD, S.Hi 

Congratulations. Nothing to fear for now, let’s fly and take trip to a thousand moon!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...