Sabtu, 31 Januari 2015

KABUT SENJA MEMATAHKAN RINDU

Senja selalu menawarkan hal yang istimewa. Entah karena aku terlanjur suka atau memang banyak kejutan ketika senja telah tiba. Saat senja, sinar mentari akan berlari meminta diri. Sengatan terik itu berlalu kemudian digantikan rona langit berkabut namun belum tertutup sempurna. Saat senja tiba, kehidupan akan terasa berlari meninggalkan kejamnya takdir yang tidak mungkin dihindarkan. Senja selalu mengajarkanku bagaimana menikmati sisa hidup, berjalan dengan langkah manis menelusuri sisa detak waktu yang masih terus berputar. Senja ini bibirku masih mengucap syukur atas kesan senyum manis yang dulu pernah ditorehkan seorang pria. Aku tak bisa mendustai jika ia memang memiliki paras yang tampan dan sangat memesona. Rasanya ia adalah lelaki yang pertama kali aku temukan dan langsung membuatku jatuh cinta.
Tidak terasa, perkenalan dengannya telah membius setiap waktu senja yang aku punya. Menghisap setiap jejak langkah untuk selalu memikirkan dirinya. Kadang termenung seperti tidak punya keberanian untuk bertanya tentang kabarnya. Bahkan, tak jarang aku harus merenung untuk menyegarkan rasa dan berharap hari-harinya akan melaju penuh syahdu cinta. Waktu terus berpacu tanpa terasa kini kau sudah tiada. Kau pergi bersama seribu bayang yang masih nyata kemudian duduk manis menemani waktu senjaku berlalu sempurna. Tak bisakah waktu aku putar mundur kemudian menjalani segalanya kembali seperti dulu?
“Jingga ayo kita pulang, Ayahmu pasti sudah menunggumu di rumah,” terdengar suara Zahira memecah kesunyian pelantaran sawah yang terbentang luas.
“Kamu pulanglah lebih awal Ra, aku masih ingin menikmati waktu senja ini berlalu sempurna di sini. Sambil memandangi hijaunya petakan sawah memanjang hingga tatapanku lenyap di ufuk senja.”
“Nanti jika Ayah bertanya tentangmu, aku harus jawab apa? Kamu baik-baik saja kan Jingga?” Zahira bertanya dan meyakinkanku.
“Katakan pada Ayah, aku masih memetik sayuran untuk makan malam nanti. Sudah jangan banyak tanya Ra. Aku sedang tidak ingin berdebat panjang denganmu kali ini. Pulanglah!”
Zahira berlalu tanpa suara. Kata-kataku terhadapnya barusan seperti tersengat emosi bercampur darah panas hingga ke ubun-ubun. Ia sama sekali tidak menunjukkan perlawanan. Zahira selalu saja mengganggu jika aku sedang menikmati waktu senja berlalu. Sifatnya yang suka banyak tanya membuatku kadang tidak nyaman jika harus bekerja bersama dengannya. Untuk masalah hati dan perasaanku saat ini ia bisa apa? Sering kali sepasang matanya hanya melihat apa yang tampak. Tidak pernah mencoba merasakan bagaimana kacaunya suasana hati yang sedang tidak bersahabat.  
Memikirkanmu selalu membuatku urung untuk kembali pulang lebih cepat. Meski dari jauh, pesonamu selalu bisa membuatku berdamai dan secara spontan membuat dada ini berdebar. Andai saja malam tidak akan hadir, aku pasti tersenyum bahagia karena bisa mengingatmu lebih lama. Membuang jauh segala rasa yang telah membeku dan duduk manis larut dalam kenangan indah bersamamu. Randa, masihkah tersisa belas kasihan di hatimu untuk datang mendekat kepadaku meski sebentar? Logikaku sulit berdamai saat mencoba melupakanku dan balutan kisah masa silam.
Geming rindu sering kali datang mendekat kala memikirkanmu, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lamunan tentangmu sontak hilang saat aku sadar jika semua sudah tidak seperti dulu. Memandang susun petakan sawah ini membuatku yakin bahwa rasaku masih tersusun rapi untukmu. Meski harapan dan asa itu kemudian hancur berkeping-keping ketika aku sadar kau sudah menjauh dan takkan kembali menjalani hari bersamaku. Sungguh kadang aku meratap penuh harap, menantimu hadir dan membawaku dalam lelap. Namun, tak jarang aku berharap kau pergi jauh hingga tidak ada lagi duka yang akan tersisa di hidupku. Sepanjang hari aku meminta kepada Tuhan agar memberikanku kembali senyum manis yang pernah mengembang. Sesaat kemudian tersadar, senyum manis itu telah kau renggut dan kau bawa lari jauh dari jangkauan tanganku. Lantas, inikah yang harus aku sebut rindu? Mencoba melupakan namun aku masih mengingatmu.
Tak lama kemudian ponselku bergetar, ada panggilan masuk. Nama Ayah terpampang di layar ponsel mungil itu. Panggilan tersambung.
“Kamu di mana Jingga? Ada yang mencarimu di rumah, lekaslah pulang.”
“Siapa yang mencariku Ayah?” tanyaku ingin tahu.
“Ayah juga tidak mengenalnya, katanya ia adalah temanmu.” Sambungan terputus.
Apakah itu adalah dirimu Randa? Mungkinkah kau menantiku di rumah dan akan mengembalikan ribuan senyumku yang pernah hilang? Tuhan, benarkah Randa hadir menemuiku? Bolehkah aku berharap terlalu lancang di hadapanmu?
Dengan nafas terengah aku mengayuh sepeda tua itu untuk bisa secepat mungkin sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Randa. Aku yakin Randa pasti sudah menantiku sejak lama. Aku akan mengajaknya menikmati hari berlalu bahagia. Duduk manis di beranda rumah saling berhadapan dan berujar akan rindu yang sudah lama terpendam. Berbicara panjang tentang cinta berbingkai setia dengan bongkah-bongkah ratap penuh rindu.
Sesampainya di rumah aku tidak menemukan tamu yang dimaksudkan Ayah. Ayah justru menuturkan berita pahit jika tamu yang tadi datang membawa kabar bahwa Randa telah tiada. Aku tak kuasa menahan tangisku. Senja ini langit seolah runtuh saat aku sadar kau telah pergi jauh. Aku meratap tanpa harap saat tersadar semua kenangan silam takkan mungkin lagi terulang. Rindu itu kini hilang bersama terbenamnya matahari mengiringi kepergianmu. Titah-titah cinta itu telah larut bersama pekatnya gelap malam. Selamat jalan Randa, terima kasih untuk cinta yang pernah ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...