Senja selalu
menawarkan hal yang istimewa. Entah karena aku terlanjur suka atau memang
banyak kejutan ketika senja telah tiba. Saat senja, sinar mentari akan berlari
meminta diri. Sengatan terik itu berlalu kemudian digantikan rona langit
berkabut namun belum tertutup sempurna. Saat senja tiba, kehidupan akan terasa
berlari meninggalkan kejamnya takdir yang tidak mungkin dihindarkan. Senja
selalu mengajarkanku bagaimana menikmati sisa hidup, berjalan dengan langkah
manis menelusuri sisa detak waktu yang masih terus berputar. Senja ini bibirku
masih mengucap syukur atas kesan senyum manis yang dulu pernah ditorehkan
seorang pria. Aku tak bisa mendustai jika ia memang memiliki paras yang tampan dan
sangat memesona. Rasanya ia adalah lelaki yang pertama kali aku temukan dan
langsung membuatku jatuh cinta.
Tidak terasa,
perkenalan dengannya telah membius setiap waktu senja yang aku punya. Menghisap
setiap jejak langkah untuk selalu memikirkan dirinya. Kadang termenung seperti
tidak punya keberanian untuk bertanya tentang kabarnya. Bahkan, tak jarang aku
harus merenung untuk menyegarkan rasa dan berharap hari-harinya akan melaju
penuh syahdu cinta. Waktu terus berpacu tanpa terasa kini kau sudah tiada. Kau
pergi bersama seribu bayang yang masih nyata kemudian duduk manis menemani
waktu senjaku berlalu sempurna. Tak bisakah waktu aku putar mundur kemudian
menjalani segalanya kembali seperti dulu?
“Jingga ayo kita
pulang, Ayahmu pasti sudah menunggumu di rumah,” terdengar suara Zahira memecah
kesunyian pelantaran sawah yang terbentang luas.
“Kamu pulanglah
lebih awal Ra, aku masih ingin menikmati waktu senja ini berlalu sempurna di
sini. Sambil memandangi hijaunya petakan sawah memanjang hingga tatapanku
lenyap di ufuk senja.”
“Nanti jika Ayah bertanya
tentangmu, aku harus jawab apa? Kamu baik-baik saja kan Jingga?” Zahira
bertanya dan meyakinkanku.
“Katakan pada Ayah,
aku masih memetik sayuran untuk makan malam nanti. Sudah jangan banyak tanya
Ra. Aku sedang tidak ingin berdebat panjang denganmu kali ini. Pulanglah!”
Zahira berlalu
tanpa suara. Kata-kataku terhadapnya barusan seperti tersengat emosi bercampur
darah panas hingga ke ubun-ubun. Ia sama sekali tidak menunjukkan perlawanan. Zahira
selalu saja mengganggu jika aku sedang menikmati waktu senja berlalu. Sifatnya
yang suka banyak tanya membuatku kadang tidak nyaman jika harus bekerja bersama
dengannya. Untuk masalah hati dan perasaanku saat ini ia bisa apa? Sering kali
sepasang matanya hanya melihat apa yang tampak. Tidak pernah mencoba merasakan
bagaimana kacaunya suasana hati yang sedang tidak bersahabat.
Memikirkanmu selalu
membuatku urung untuk kembali pulang lebih cepat. Meski dari jauh, pesonamu
selalu bisa membuatku berdamai dan secara spontan membuat dada ini berdebar. Andai
saja malam tidak akan hadir, aku pasti tersenyum bahagia karena bisa
mengingatmu lebih lama. Membuang jauh segala rasa yang telah membeku dan duduk
manis larut dalam kenangan indah bersamamu. Randa, masihkah tersisa belas
kasihan di hatimu untuk datang mendekat kepadaku meski sebentar? Logikaku sulit
berdamai saat mencoba melupakanku dan balutan kisah masa silam.
Geming rindu sering
kali datang mendekat kala memikirkanmu, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Lamunan tentangmu sontak hilang saat aku sadar jika semua sudah tidak seperti
dulu. Memandang susun petakan sawah ini membuatku yakin bahwa rasaku masih tersusun
rapi untukmu. Meski harapan dan asa itu kemudian hancur berkeping-keping ketika
aku sadar kau sudah menjauh dan takkan kembali menjalani hari bersamaku. Sungguh
kadang aku meratap penuh harap, menantimu hadir dan membawaku dalam lelap.
Namun, tak jarang aku berharap kau pergi jauh hingga tidak ada lagi duka yang
akan tersisa di hidupku. Sepanjang hari aku meminta kepada Tuhan agar
memberikanku kembali senyum manis yang pernah mengembang. Sesaat kemudian
tersadar, senyum manis itu telah kau renggut dan kau bawa lari jauh dari
jangkauan tanganku. Lantas, inikah yang harus aku sebut rindu? Mencoba
melupakan namun aku masih mengingatmu.
Tak lama kemudian
ponselku bergetar, ada panggilan masuk. Nama Ayah terpampang di layar ponsel
mungil itu. Panggilan tersambung.
“Kamu di mana
Jingga? Ada yang mencarimu di rumah, lekaslah pulang.”
“Siapa yang
mencariku Ayah?” tanyaku ingin tahu.
“Ayah juga tidak
mengenalnya, katanya ia adalah temanmu.” Sambungan terputus.
Apakah itu adalah
dirimu Randa? Mungkinkah kau menantiku di rumah dan akan mengembalikan ribuan
senyumku yang pernah hilang? Tuhan, benarkah Randa hadir menemuiku? Bolehkah
aku berharap terlalu lancang di hadapanmu?
Dengan nafas
terengah aku mengayuh sepeda tua itu untuk bisa secepat mungkin sampai di
rumah. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Randa. Aku yakin Randa pasti
sudah menantiku sejak lama. Aku akan mengajaknya menikmati hari berlalu
bahagia. Duduk manis di beranda rumah saling berhadapan dan berujar akan rindu
yang sudah lama terpendam. Berbicara panjang tentang cinta berbingkai setia
dengan bongkah-bongkah ratap penuh rindu.
Sesampainya di
rumah aku tidak menemukan tamu yang dimaksudkan Ayah. Ayah justru menuturkan
berita pahit jika tamu yang tadi datang membawa kabar bahwa Randa telah tiada.
Aku tak kuasa menahan tangisku. Senja ini langit seolah runtuh saat aku sadar
kau telah pergi jauh. Aku meratap tanpa harap saat tersadar semua kenangan
silam takkan mungkin lagi terulang. Rindu itu kini hilang bersama terbenamnya
matahari mengiringi kepergianmu. Titah-titah cinta itu telah larut bersama
pekatnya gelap malam. Selamat jalan Randa, terima kasih untuk cinta yang pernah
ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar