Detak-detik waktu berpacu, tak terasa sudah sebulan aku
menempati rumah ini. Rumah kecil yang kini aku jadikan sebagai teman dalam
mengarungi bahtera kehidupan. Menghabiskan deretan malam panjang dengan
mengukir kenangan baru bersama barisan para pejuang. Membuka mata serta
mengayunkan langkah demi pesona hidup yang kini terasa membeku. Bukan ingin
meratap mengingat yang telah lewat, namun inilah satu poros yang harus
kutempuh. Hingga nanti ketika aku pergi, ada banyak nyawa yang akan merindukan.
Tidak seperti janji mentari yang akan selalu datang, hidup ini amat berbeda.
Masa silam sudah tidak mungkin lagi datang menyapa. Meski dirindukan dengan
penuh damba, waktu tidak akan pernah bisa diputar mundur.
Aku memandangi anak-anak yang sedang bermain di petakan
sawah hijau itu. Memperhatikan mereka kemudian keningku seperti berkerut seraya
tertunduk lesu. Sepanjang hari mereka habiskan waktu hanya untuk bermain. Batinku
tersudut ketika berhadapan dengan wajah-wajah polos itu. Aku seperti terpental
karena tidak mampu memberikan bantuan apapun demi pendidikan mereka. Padahal
seharusnya ketika matahari mulai naik seperti ini mereka sedang duduk di dalam
kelas. Kesetiaan seperti apa yang bisa aku berikan untuk negeri ini, jika aku
tak mampu membantu pendidikan mereka? Laksana langit dengan bumi. Aku terus
mencoba untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin, namun mereka tetap
berada pada titik ketidaktahuan. Aku memilih untuk diam tiap kali Candra,
Didik, dan Widi mencoba berujar tentang kehidupan pilu anak-anak itu. Seperti
tak kuasa wajahku untuk saling berhadapan dengan mereka dan mencoba untuk
mengungkapkan rangkaian kata. Sungguh aku merasa malu.
Selepas hari itu berlalu sempurna, aku mengajak ketiga
temanku berbicara melalui hati. Membuka pintu kesempatan bagi mereka untuk bisa
merasakan indahnya bisa mengenyam pendidikan. Meminta keluh kesah itu untuk
mundur dan merasuk menjadi keberanian dalam melangkah. Aku yakin masa depan
mereka masih bisa diperjuangkan. Bingkai keberanian itu masih layak untuk
dipertaruhkan, masih sangat layak. Ini bukan tentang langkah kaki yang lancang
berjalan. Bukan pula tentang ingatan yang dipaksa untuk berkembang. Tapi, ini
tentang kemauan yang pernah larut namun belum terbenam. Aku yakin kami pasti
bisa memperjuangkan pendidikan mereka. Karena yang aku tahu, mata mereka penuh
harapan ketika bertemu pandang dan saling tatap.
“Didik, bolehkah aku meminta tolong padamu? Jika kau tak
keberatan, aku ingin mengajakmu menjadi pengajar di gubuk kecilku. Terhitung
mulai besok malam jika kau ada waktu, datanglah.”
“Siapa yang mau belajar di tempatmu Fer?” tanya Didik
sambil meletakkan buku yang sedang ia baca ke dalam tasnya.
“Anak-anak di sekitar rumah Dik. Seperti Ihsan, Salma,
Difa, bahkan mungkin Ibu pemilik rumah jika ia tidak keberatan.”
“Ide bagus, aku setuju denganmu Fer. Aku juga sangat
prihatin dengan pendidikan mereka selama ini. Bukankah seharusnya anak seusia
mereka sedang duduk di bangku sekolah dasar?” respon Candra penuh antusias.
Berujar tentang pendidikan, ketiga temanku pun setuju
dengan usulanku untuk mengadakan kelas belajar mandiri di rumah. Ini hanya tentang
harapan yang masih berkisar antara mau atau tidak untuk saling memperjuangkan.
Sebab majunya bangsa ini ada di tangan para pemuda yang kelak akan menjadi
pemimpin masa depan. Maka jika hanya sebagian saja yang merasakan pendidikan
yang layak, sepertinya bangsa ini belum dalam keadaan seimbang.
Aku berbicara sebagai seorang yang ingin semuanya bisa
merasakan indahnya dunia belajar. Bahwa masih banyak hal yang sebenarnya harus
bisa aku perjuangkan. Aku rindu mereka yang bisa membaca, sibuk berhitung,
saling mengeja. Menurutku rindu itu masih sangat pantas untuk dimuliakan.
Kerinduanku pada pesona dunia pendidikan adalah hal yang wajar. Aku ingin
generasi yang akan datang akan terus maju dan berkembang. Waktu akan tetap
menjadi saksi, meski ia tidak akan pernah kembali. Banyak sekali hal yang akan
berubah demi perubahan yang tidak perlu untuk terlalu dipermasalahkan. Aku
yakin, setiap hati kecil kita pasti ingin menjadikan bangsa ini bangsa yang
maju. Sebab perubahan itu pasti selalu bisa diusahakan.
Sejak hari itu, gubuk kecilku mulai ramai didatangi
anak-anak kecil untuk belajar. Meski ruang itu terlihat sempit dan menyesakkan,
namun dari tempat itulah kebaikan hidup mereka dimulai. Aku bangga memandangi
mereka yang punya semangat besar untuk belajar. Menghafal huruf demi huruf yang
disampaikan oleh Candra dan Widi setiap malam. Sementara Didik, ia mengajari
anak-anak itu mengaji setiap malam Kamis dan Sabtu. Aku yakin setiap usaha
pasti akan menuai hasil jika para pejuangnya selalu percaya. Tepat satu minggu kegiatan
itu berjalan, kami mendapatkan banyak bantuan dari warga sekitar. Mereka senang
dengan kegiatan yang kami laksanakan.
Seperti malam, jangan biarkan ia berlalu tanpa alasan.
Malam menghilang karena fajar akan menjadi pengganti gelapnya kehidupan. Begitu
pun kehidupan, hidup adalah sebuah kebahagiaan jika kita mau berjuang. Bukan
seberapa lama kita duduk dan mendiami langit malam dengan kumpulan bintang.
Tapi, seberapa mampu kita mengubah ruang yang gelap agar terlihat pancaran
cahaya terang. Bagiku, merasakan pendidikan tinggi adalah sebuah anugerah
Tuhan. Serta, mampu membantu mereka untuk merasakan hal yang sama adalah
kenikmatan. Aku bangga kini melihat Ihsan, Salma, Difa, Roni dan anak-anak
lainnya yang sudah bisa membaca.
Kini senyum manis pun mulai mengembang dari bibir mereka.
Karena aku sadar hidup mereka kini istimewa. Seperti istimewanya Candra, Didik,
dan Widi yang sudah mau berbagi dan menjadi pemuda penggagas pendidikan bagi
mereka. Sungguh hidup ini adalah anugerah. Anugerah terindah karena aku bisa
mengenal mereka dan menjalani hari berlalu bersama. Aku yakin pasti selalu ada
kesempatan baru untuk bisa tumbuh dan berkembang bagi mereka yang berusaha. Membuat
impian menjadi nyata dengan memanfaatkan kesempatan dalam menggapai segala cita
dan harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar