Sabtu, 31 Januari 2015

PARA PEMUDA PENGGAGAS PERUBAHAN

Detak-detik waktu berpacu, tak terasa sudah sebulan aku menempati rumah ini. Rumah kecil yang kini aku jadikan sebagai teman dalam mengarungi bahtera kehidupan. Menghabiskan deretan malam panjang dengan mengukir kenangan baru bersama barisan para pejuang. Membuka mata serta mengayunkan langkah demi pesona hidup yang kini terasa membeku. Bukan ingin meratap mengingat yang telah lewat, namun inilah satu poros yang harus kutempuh. Hingga nanti ketika aku pergi, ada banyak nyawa yang akan merindukan. Tidak seperti janji mentari yang akan selalu datang, hidup ini amat berbeda. Masa silam sudah tidak mungkin lagi datang menyapa. Meski dirindukan dengan penuh damba, waktu tidak akan pernah bisa diputar mundur.
Aku memandangi anak-anak yang sedang bermain di petakan sawah hijau itu. Memperhatikan mereka kemudian keningku seperti berkerut seraya tertunduk lesu. Sepanjang hari mereka habiskan waktu hanya untuk bermain. Batinku tersudut ketika berhadapan dengan wajah-wajah polos itu. Aku seperti terpental karena tidak mampu memberikan bantuan apapun demi pendidikan mereka. Padahal seharusnya ketika matahari mulai naik seperti ini mereka sedang duduk di dalam kelas. Kesetiaan seperti apa yang bisa aku berikan untuk negeri ini, jika aku tak mampu membantu pendidikan mereka? Laksana langit dengan bumi. Aku terus mencoba untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin, namun mereka tetap berada pada titik ketidaktahuan. Aku memilih untuk diam tiap kali Candra, Didik, dan Widi mencoba berujar tentang kehidupan pilu anak-anak itu. Seperti tak kuasa wajahku untuk saling berhadapan dengan mereka dan mencoba untuk mengungkapkan rangkaian kata. Sungguh aku merasa malu.
Selepas hari itu berlalu sempurna, aku mengajak ketiga temanku berbicara melalui hati. Membuka pintu kesempatan bagi mereka untuk bisa merasakan indahnya bisa mengenyam pendidikan. Meminta keluh kesah itu untuk mundur dan merasuk menjadi keberanian dalam melangkah. Aku yakin masa depan mereka masih bisa diperjuangkan. Bingkai keberanian itu masih layak untuk dipertaruhkan, masih sangat layak. Ini bukan tentang langkah kaki yang lancang berjalan. Bukan pula tentang ingatan yang dipaksa untuk berkembang. Tapi, ini tentang kemauan yang pernah larut namun belum terbenam. Aku yakin kami pasti bisa memperjuangkan pendidikan mereka. Karena yang aku tahu, mata mereka penuh harapan ketika bertemu pandang dan saling tatap.
“Didik, bolehkah aku meminta tolong padamu? Jika kau tak keberatan, aku ingin mengajakmu menjadi pengajar di gubuk kecilku. Terhitung mulai besok malam jika kau ada waktu, datanglah.”
“Siapa yang mau belajar di tempatmu Fer?” tanya Didik sambil meletakkan buku yang sedang ia baca ke dalam tasnya.
“Anak-anak di sekitar rumah Dik. Seperti Ihsan, Salma, Difa, bahkan mungkin Ibu pemilik rumah jika ia tidak keberatan.”
“Ide bagus, aku setuju denganmu Fer. Aku juga sangat prihatin dengan pendidikan mereka selama ini. Bukankah seharusnya anak seusia mereka sedang duduk di bangku sekolah dasar?” respon Candra penuh antusias.
Berujar tentang pendidikan, ketiga temanku pun setuju dengan usulanku untuk mengadakan kelas belajar mandiri di rumah. Ini hanya tentang harapan yang masih berkisar antara mau atau tidak untuk saling memperjuangkan. Sebab majunya bangsa ini ada di tangan para pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin masa depan. Maka jika hanya sebagian saja yang merasakan pendidikan yang layak, sepertinya bangsa ini belum dalam keadaan seimbang.
Aku berbicara sebagai seorang yang ingin semuanya bisa merasakan indahnya dunia belajar. Bahwa masih banyak hal yang sebenarnya harus bisa aku perjuangkan. Aku rindu mereka yang bisa membaca, sibuk berhitung, saling mengeja. Menurutku rindu itu masih sangat pantas untuk dimuliakan. Kerinduanku pada pesona dunia pendidikan adalah hal yang wajar. Aku ingin generasi yang akan datang akan terus maju dan berkembang. Waktu akan tetap menjadi saksi, meski ia tidak akan pernah kembali. Banyak sekali hal yang akan berubah demi perubahan yang tidak perlu untuk terlalu dipermasalahkan. Aku yakin, setiap hati kecil kita pasti ingin menjadikan bangsa ini bangsa yang maju. Sebab perubahan itu pasti selalu bisa diusahakan.
Sejak hari itu, gubuk kecilku mulai ramai didatangi anak-anak kecil untuk belajar. Meski ruang itu terlihat sempit dan menyesakkan, namun dari tempat itulah kebaikan hidup mereka dimulai. Aku bangga memandangi mereka yang punya semangat besar untuk belajar. Menghafal huruf demi huruf yang disampaikan oleh Candra dan Widi setiap malam. Sementara Didik, ia mengajari anak-anak itu mengaji setiap malam Kamis dan Sabtu. Aku yakin setiap usaha pasti akan menuai hasil jika para pejuangnya selalu percaya. Tepat satu minggu kegiatan itu berjalan, kami mendapatkan banyak bantuan dari warga sekitar. Mereka senang dengan kegiatan yang kami laksanakan.
Seperti malam, jangan biarkan ia berlalu tanpa alasan. Malam menghilang karena fajar akan menjadi pengganti gelapnya kehidupan. Begitu pun kehidupan, hidup adalah sebuah kebahagiaan jika kita mau berjuang. Bukan seberapa lama kita duduk dan mendiami langit malam dengan kumpulan bintang. Tapi, seberapa mampu kita mengubah ruang yang gelap agar terlihat pancaran cahaya terang. Bagiku, merasakan pendidikan tinggi adalah sebuah anugerah Tuhan. Serta, mampu membantu mereka untuk merasakan hal yang sama adalah kenikmatan. Aku bangga kini melihat Ihsan, Salma, Difa, Roni dan anak-anak lainnya yang sudah bisa membaca.

Kini senyum manis pun mulai mengembang dari bibir mereka. Karena aku sadar hidup mereka kini istimewa. Seperti istimewanya Candra, Didik, dan Widi yang sudah mau berbagi dan menjadi pemuda penggagas pendidikan bagi mereka. Sungguh hidup ini adalah anugerah. Anugerah terindah karena aku bisa mengenal mereka dan menjalani hari berlalu bersama. Aku yakin pasti selalu ada kesempatan baru untuk bisa tumbuh dan berkembang bagi mereka yang berusaha. Membuat impian menjadi nyata dengan memanfaatkan kesempatan dalam menggapai segala cita dan harapan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...