Subuh terasa
begitu hening, fajar menyingsing ketika terdengar sahut kokok ayam satu sama
lain. Malam sudah berlalu bersama hilangnya cahaya kelip bintang dan ocehan
rembulan yang tak bergeming. Seketika hening sempurna datang memeluk. Tidak ada
suara sahut kokok ayam, terdiam. Fajar itu kemudian redup, seperti dibasahi
embun pagi, yang kemudian redup karena rindu datang mendekat, mengetuk seluruh
bagian kehidupan. Kita bisa apa?
Aku masih simpan semua keping kenangan yang kau punya.
Ketika manis senyum sederhana hinggap dan memberiku banyak makna untuk hidup.
Tentang kisah klasik penuh bahagia ketika jemari kita masih menggenggam erat.
Saat hujan datang, dan kuberikan jaket untuk melindungi tubuh cantikmu Jinggaku. Kenapa rindu datang menggilas dinding kokoh yang
pernah ada? Kemudian kau hancurkan semua relung berisi sejuta ingatan
tentang kita. Tentang senyum sederhana bahagia yang
terpikat dalam setiap derap langkah. Menyusuri liku perjalanan yang masih
panjang kemudian kita terhenti sejenak. Masih aku ingat, saat alunan lagu indah
itu mengudara di dalam mimpimu, membawamu terbang jauh, hingga kau sadar
pelukan-pelukan manja masih kau dapatkan. Tentang belai-belai manja setiap aku
duduk terdiam meski tidak sesengukan di depanmu. Ketika gumpal tebal ingatan
datang menyapamu untuk mengetuk tawa lepas dari mulutku. Haruskah terkujur
kaku? Kemudian inikah yang kau beri nama rindu?
Kita seperti mendaki anak tangga, aku selalu memberikanmu
ruang pertama untuk melengkapi kepingan tangga kecil itu hingga kau bisa
tertawa. Kemudian kita duduk manis saling menenangkan dan berkata bahwa bahagia
itu milik kita. Kabut hujan tiba-tiba menyingkir, reda itu kemudian hadir. Berpetualang
dengan rengekan kata tulus tuk menikmati indah senyum mulus. Seperti itulah
hakikat cinta, berteman dengan penuh kehangatan, meski jauh jarak menjadi sekat
batas yang nyata. Sudah tiada lagi kebencian, waktulah yang kini menjadi
penenang segala ingatan. Kau itu sungguh istimewa, punya seribu alasan untuk
selalu bisa tersenyum manis di depan manusia. Cobaan itu menjadikanmu kuat,
berjalan mendaki hidup penuh harap. Tuhan punya banyak cara menjadikanmu
manusia luar biasa bukan? Kenapa kau harus malu? Mengalihkan segala apa yang
kita punya dan terjebak dalam satu nuansa tak terkira.
Jika kau masih saja malu, biarkan aku menuntunmu
berjalan. Melaju menjalani indahnya hidup dengan segala kesederhanaan yang kita
punya. Jangan bersembunyi Jingga, mari berkata jujur dengan apa yang kita punya. Tentang
alasan kenapa kita bertahan, lalu ketakutanmu itu hilang perlahan. Tentang
tugas yang kita punya, untuk saling menjaga dan mengemas rasa yang pernah ada. Tentang
lekuk senyum mesra yang dahulu kau berikan. Tentang derap langkahmu yang
terkadang membingungkan. Tak usah kau ragu, melangkahlah maju ke depan. Berhentilah
untuk bertapi-tapi, temani aku berjalan tanpa berjika-jika. Kita perlu
menikmati segala apa yang kita punya tanpa perlu berandai-andai. Dunia ini akan
lebih baik ketika tanpa rasa takut…
“Senja datang tanpa diundang, pagi pergi tanpa permisi.” Itulah kalimat yang sering kau ungkapkan. Saat hatimu
penuh gemuruh dan terasa sesak akan kecemasan dan genggam tangan yang tak lagi
erat. Ketika satu persatu menjauh tanpa suara peluh. Tidak mampu seperti dulu
di saat kita bisa saling kejar. Seperti tak pernah henti memberikan kejut
senyum menyenangkan. Tentang rasa yang berlebih ketika kita sudah mulai
tersisih dengan waktu dan kesenangan yang memilukan. Meski terkadang seperti
bersembunyi, namun aku mengagumimu dalam-dalam. Tidak
terkira betapa besar asa yang pernah hadir, meski itu dulu. Ketika berdekatan,
kau laksana putri malu tertutup pesonamu yang menggiurkan.
Entah kenapa dengan
memperhatikanmu selalu bisa membuatku bahagia. Tersenyum lepas tanpa beban di
pundak yang dulu sering kau jadikan sandaran saat kau lelah. Bertanyalah
sejenak, aku akan menjawab dengan penuh harap. Perasaan hatimu yang penuh rona, kan kuhadiahi mahkota cinta. Izinkan aku memelukmu erat seperti dulu. Mengalir tanpa
luka dan lara yang pernah ada. Ketika deritamu sudah tidak lagi berbekas. Sapalah
dengan manis wahai Jinggaku, jadikan dirimu
sesosok manusia penuh empati tak berduri. Menerima dengan baik segala yang
tersurat dan melangkah dengan hati yang terarah.
Senja selalu istimewa dengan
hadirmu. Seperti dulu ketika senja ditemani rintik hujan tak berdebu. Kau
pegang tanganku ketika malam menyapamu. Tentang bintang gemintang yang
diam-diam memperhatikan gerak-gerikmu. Rembulan pun malu menyapamu, ia seperti
cemburu. Tak kuasa menatap mata indahmu malam itu. Suara dering ponselmu
menyadarkanku, malam telah larut,
aku
harus mengantarkanmu kembali. Ditemani kilauan lampu lampion, kau pamit dan
berkata “Aku senang bisa mengenalmu.”
“Kau kenapa Rayyan, ada apa denganmu? Kelihatan murung
sekali wajahmu,” tiba-tiba suara Arin mengagetkanku yang sedang duduk di balkon
rumah susun senja itu.
“Tidak Arin, aku sedang mengingat kenanganku dengan
Jingga. Sosok wanita terbaik yang pernah hadir dalam mimpi dan kenangan hidup
panjangku. Resah menikam ulu hatiku ini terasa begitu perih Rin. Ketika
mengingatnya, senyumnya, dan semua yang indah dalam memoriku tentang dia.”
Arin terdiam, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Duduk, berdiri, kemudian mondar-mandir dengan kepala dipenuhi kecemasan. Ia termangu
dalam lisan yang tidak bisa berkata-kata.
Terhitung akhir tahun lalu kau terakhir menghubungiku
Jingga. Entahlah, apa sebenarnya kini yang sedang aku alami. Tapi aku tersadar,
aku masih menantikan sapa manismu di sini. Layangan kabar
bahwa kau dalam keadaan baik di sana. Memberitahuku apa
yang sedang kau lakukan sambil sesekali mendengar suaramu tertawa akan masa
lalu yang pernah membawa kita terbang jauh mengudara penuh rasa bahagia. Aku
yakin, kesedihanku akan sirna jika senyum manismu kau berikan Jingga. Izinkan air mataku sirna sejenak ketika mengenangmu seraya
meluapkan rasa penuh harap bahwa kau akan tetap tersenyum untukku Jingga.
Selamat menempuh hidup baru sayang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar