Sabtu, 31 Januari 2015

MEMORI SENJA AKHIR NOVEMBER

Subuh terasa begitu hening, fajar menyingsing ketika terdengar sahut kokok ayam satu sama lain. Malam sudah berlalu bersama hilangnya cahaya kelip bintang dan ocehan rembulan yang tak bergeming. Seketika hening sempurna datang memeluk. Tidak ada suara sahut kokok ayam, terdiam. Fajar itu kemudian redup, seperti dibasahi embun pagi, yang kemudian redup karena rindu datang mendekat, mengetuk seluruh bagian kehidupan. Kita bisa apa?
Aku masih simpan semua keping kenangan yang kau punya. Ketika manis senyum sederhana hinggap dan memberiku banyak makna untuk hidup. Tentang kisah klasik penuh bahagia ketika jemari kita masih menggenggam erat. Saat hujan datang, dan kuberikan jaket untuk melindungi tubuh cantikmu Jinggaku. Kenapa rindu datang menggilas dinding kokoh yang pernah ada? Kemudian kau hancurkan semua relung berisi sejuta ingatan tentang kita. Tentang senyum sederhana bahagia yang terpikat dalam setiap derap langkah. Menyusuri liku perjalanan yang masih panjang kemudian kita terhenti sejenak. Masih aku ingat, saat alunan lagu indah itu mengudara di dalam mimpimu, membawamu terbang jauh, hingga kau sadar pelukan-pelukan manja masih kau dapatkan. Tentang belai-belai manja setiap aku duduk terdiam meski tidak sesengukan di depanmu. Ketika gumpal tebal ingatan datang menyapamu untuk mengetuk tawa lepas dari mulutku. Haruskah terkujur kaku? Kemudian inikah yang kau beri nama rindu?
Kita seperti mendaki anak tangga, aku selalu memberikanmu ruang pertama untuk melengkapi kepingan tangga kecil itu hingga kau bisa tertawa. Kemudian kita duduk manis saling menenangkan dan berkata bahwa bahagia itu milik kita. Kabut hujan tiba-tiba menyingkir, reda itu kemudian hadir. Berpetualang dengan rengekan kata tulus tuk menikmati indah senyum mulus. Seperti itulah hakikat cinta, berteman dengan penuh kehangatan, meski jauh jarak menjadi sekat batas yang nyata. Sudah tiada lagi kebencian, waktulah yang kini menjadi penenang segala ingatan. Kau itu sungguh istimewa, punya seribu alasan untuk selalu bisa tersenyum manis di depan manusia. Cobaan itu menjadikanmu kuat, berjalan mendaki hidup penuh harap. Tuhan punya banyak cara menjadikanmu manusia luar biasa bukan? Kenapa kau harus malu? Mengalihkan segala apa yang kita punya dan terjebak dalam satu nuansa tak terkira.
Jika kau masih saja malu, biarkan aku menuntunmu berjalan. Melaju menjalani indahnya hidup dengan segala kesederhanaan yang kita punya. Jangan bersembunyi Jingga, mari berkata jujur dengan apa yang kita punya. Tentang alasan kenapa kita bertahan, lalu ketakutanmu itu hilang perlahan. Tentang tugas yang kita punya, untuk saling menjaga dan mengemas rasa yang pernah ada. Tentang lekuk senyum mesra yang dahulu kau berikan. Tentang derap langkahmu yang terkadang membingungkan. Tak usah kau ragu, melangkahlah maju ke depan. Berhentilah untuk bertapi-tapi, temani aku berjalan tanpa berjika-jika. Kita perlu menikmati segala apa yang kita punya tanpa perlu berandai-andai. Dunia ini akan lebih baik ketika tanpa rasa takut…
Senja datang tanpa diundang, pagi pergi tanpa permisi. Itulah kalimat yang sering kau ungkapkan. Saat hatimu penuh gemuruh dan terasa sesak akan kecemasan dan genggam tangan yang tak lagi erat. Ketika satu persatu menjauh tanpa suara peluh. Tidak mampu seperti dulu di saat kita bisa saling kejar. Seperti tak pernah henti memberikan kejut senyum menyenangkan. Tentang rasa yang berlebih ketika kita sudah mulai tersisih dengan waktu dan kesenangan yang memilukan. Meski terkadang seperti bersembunyi, namun aku mengagumimu dalam-dalam. Tidak terkira betapa besar asa yang pernah hadir, meski itu dulu. Ketika berdekatan, kau laksana putri malu tertutup pesonamu yang menggiurkan.
Entah kenapa dengan memperhatikanmu selalu bisa membuatku bahagia. Tersenyum lepas tanpa beban di pundak yang dulu sering kau jadikan sandaran saat kau lelah. Bertanyalah sejenak, aku akan menjawab dengan penuh harap. Perasaan hatimu yang penuh rona, kan kuhadiahi mahkota cinta. Izinkan aku memelukmu erat seperti dulu. Mengalir tanpa luka dan lara yang pernah ada. Ketika deritamu sudah tidak lagi berbekas. Sapalah dengan manis wahai Jinggaku, jadikan dirimu sesosok manusia penuh empati tak berduri. Menerima dengan baik segala yang tersurat dan melangkah dengan hati yang terarah.
Senja selalu istimewa dengan hadirmu. Seperti dulu ketika senja ditemani rintik hujan tak berdebu. Kau pegang tanganku ketika malam menyapamu. Tentang bintang gemintang yang diam-diam memperhatikan gerak-gerikmu. Rembulan pun malu menyapamu, ia seperti cemburu. Tak kuasa menatap mata indahmu malam itu. Suara dering ponselmu menyadarkanku, malam telah larut, aku harus mengantarkanmu kembali. Ditemani kilauan lampu lampion, kau pamit dan berkata “Aku senang bisa mengenalmu.
“Kau kenapa Rayyan, ada apa denganmu? Kelihatan murung sekali wajahmu,” tiba-tiba suara Arin mengagetkanku yang sedang duduk di balkon rumah susun senja itu.
“Tidak Arin, aku sedang mengingat kenanganku dengan Jingga. Sosok wanita terbaik yang pernah hadir dalam mimpi dan kenangan hidup panjangku. Resah menikam ulu hatiku ini terasa begitu perih Rin. Ketika mengingatnya, senyumnya, dan semua yang indah dalam memoriku tentang dia.”
Arin terdiam, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Duduk, berdiri, kemudian mondar-mandir dengan kepala dipenuhi kecemasan. Ia termangu dalam lisan yang tidak bisa berkata-kata.

Terhitung akhir tahun lalu kau terakhir menghubungiku Jingga. Entahlah, apa sebenarnya kini yang sedang aku alami. Tapi aku tersadar, aku masih menantikan sapa manismu di sini. Layangan kabar bahwa kau dalam keadaan baik di sana. Memberitahuku apa yang sedang kau lakukan sambil sesekali mendengar suaramu tertawa akan masa lalu yang pernah membawa kita terbang jauh mengudara penuh rasa bahagia. Aku yakin, kesedihanku akan sirna jika senyum manismu kau berikan Jingga. Izinkan air mataku sirna sejenak ketika mengenangmu seraya meluapkan rasa penuh harap bahwa kau akan tetap tersenyum untukku Jingga. Selamat menempuh hidup baru sayang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...