Sabtu, 31 Januari 2015

UNGKAPAN CINTAKU UNTUK IBU

Berujar tentang Ibu, aku teringat betapa besar jasanya mengasuhku hingga aku menjadi seperti sekarang. Masa remaja hingga dewasa telah membentuk pemikiran dan tingkah laku yang berbeda, begitu juga kisah teman-temanku yang selama ini aku perhatikan dengan seksama. Aku memperhatikan tak jarang mereka tega berperilaku yang kurang terpuji di depan orang tua mereka, terutama Ibu. Mereka tidak malu menyakiti perasaan Ibu mereka sendiri di depan banyak pasang mata yang sedang menyaksikan kisah itu berlalu sempurna. Bukankah Ibu adalah sosok wanita dengan kasih sayang yang tidak pernah putus? Mengapa mereka berani menentang Ibu mereka sendiri? Mungkinkah mereka lupa dengan segala hal yang telah dilakukan Ibu ketika mereka masih kecil dulu?
Aku mendesah dalam seraya diam tak bergeming kemudian melanjutkan aktivitasku untuk bercerita bersama Ibu. Ada kenikmatan tersendiri setiap berada di sampingnya, apalagi ditemani secangkir teh hangat spesial buatan Ibu. Ia menuturkan bahwa teh itu diaduk dengan hangatnya rasa cinta seorang Ibu untuk anak kesayangannya. Aku tak kuasa menahan tawaku malam itu. Ibu selalu mampu mencairkan suasana saat sedang berkumpul bersama anaknya.
Langit malam terlihat pekat sempurna. Sepertinya awan sedang berkumpul mencipta mendung. Bintang masih enggan menemani rembulan yang terlihat redup. Entahlah, yang pasti malam itu aku merasa bahagia bisa menatap wajah Ibu penuh senyum. Rinai matanya seolah berkata tidak ingin jauh apalagi terpisah dengan anaknya. Canda Ibu seolah menjadi pelita malam yang gelap. Tidak ada rasa sepi apalagi hening yang memeluk. Semua terasa indah jika Ibu sedang duduk dan bercerita di depanku.
“Tidak terasa ya Nak, kini kau sudah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemarin aku mengajarkanmu merangkak, berjalan, meniup balon. Kini kau sudah tumbuh menjadi lelaki yang gagah anakku,” Ibu mulai berucap melepas balutan rindu yang ia simpan selama ini.
“Ibu bisa saja, kan Wira sudah menginjak usia 22. Itu adalah waktu yang terbilang lama Bu.”
“Jika kau sudah menemukan pendamping hidupmu, apakah kau akan meninggalkan Ibu Nak?” ucapnya serius yang membuat mataku terbelalak. Aku tidak mengira pertanyaan itu akan terucap dari bibir manisnya. Sebenarnya ingin aku berujar bahwa setiap lakon kisah yang aku lalui selalu menyisakan rindu yang teramat sangat untuk Ibu. Namun, aku jarang bahkan hampir tidak pernah memiliki keberanian untuk mengucapkan itu di hadapannya. Seperti malam ini, sungguh aku ingin sekali menumpahkan butir-butir rindu yang aku punya. Namun, entah kenapa lisan ini terasa kelu untuk mengucapkan itu semua. Apakah rindu itu yang selalu mengetuk relung dada dan membuat Ibu merasa ingin berjumpa dengan anaknya?
“Kenapa Ibu bertanya demikian?”
“Tidak Nak, Ibu hanya ingin tahu apa jawabanmu. Ibu perhatikan banyak sekali pemuda yang kemudian meninggalkan Ibunya manakala sudah berjumpa dengan kekasih hati yang ia anggap pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.”
“Ibu, aku tidak seperti mereka. Aku akan menemani Ibu hingga hari tua nanti. Ibu harus percaya itu. Tawa yang terdengar selama ini adalah tangis yang berusaha kusimpan setiap kali aku merindukanmu Ibu. Aku tidak ingin Ibu kepikiran tentang aku di sana,” gumamku sambil melayangkan senyum manis untuk wanita luar biasa yang ada di hadapanku.
“Aku akan menjaga Ibu baik-baik, percayalah Bu.”
Malam itu berlalu dengan romantis setelah aku menyanyikan sebuah lagu untuknya. Tak lama berselang, Ibu pamit ingin istirahat lebih awal. Aku tidak bisa menahan, kedua mata Ibu sudah memberikan sinyal bahwa kelopak mata atas dan kelopak mata bawah itu ingin segera berjumpa. Bersatu dengan pekat malam dan berakhir di dermaga mimpi indah. “Selamat malam Ibuku sayang, selamat istirahat, mimpi indah ya,” ucapku mesra sebagai penghantar waktu istirahat malam untuk Ibu. Meski tanpa kecupan manis di keningnya, aku yakin Ibu pasti bahagia.
Besok aku akan mengungkapkan rindu untuk Ibu. Rindu teramat sangat yang selama ini aku simpan. Telah aku tata rapi hingga nanti akan aku ucapkan dengan tawa haru biru. Angin malam berdesir ditemani gemuruh petir yang semakin mengundang kantuk. Aku bergegas masuk kamar dan mempersiapkan segala kejutan untuk Ibu. Tak lupa aku menghubungi teman-teman agar berkenan hadir dan menambah ramai suasana hari bahagia Ibuku besok. Setelah memastikan segalanya berjalan mulus, bintang malam mengajakku untuk menyusul Ibu berlabuh di dermaga ayu menyambut mimpi sebelum fajar dan mentari pagi hadir kembali…
Keesokan harinya, tepat pukul tujuh pagi teman-teman sudah berkumpul di ruang tamu. Aku memanggil Ibu yang masih sibuk di dapur.
“Ibu ada tamu di depan, mereka sudah menanti Ibu sejak tadi.”
“Iya sebentar Nak, Ibu cuci tangan dulu. Setelah itu Ibu akan menyusulmu ke ruang tamu.”
Tak lama menanti, terdengar langkah Ibu datang mendekati kami. Sebelum tiba di ruang tamu itu, aku mengejutkannya. “Selamat ulang tahun Ibu, panjang umur dan sehat selalu ya. Wira sayang Ibu selalu.” Teman-teman kemudian menyusul di belakangku sambil menghidupkan lilin di atas kue tart besar bertuliskan “Happy Birthday Ibu” seraya berkata “Selamat ulang tahun ya Buk.” Pagi itu aku memeluk Ibu erat seolah takut akan kembali terpisah. Sebelum Ibu melepaskan pelukan itu, aku mengecup keningnya sambil berkata “Selamat ulang tahun Ibuku sayang, aku sayang Ibu sampai akhir hayatku.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...