Sabtu, 31 Januari 2015

BALUTAN KANVAS KENANGAN

Rembulan telah sirna dengan sempurna, fajar menyingsing di ufuk timur bersamaan dengan heningnya suasana langit tanpa rekaman suara kokok ayam. Tidak lama itu bertahan, kicau burung datang saling bersahutan, bernyanyi menyambut hari nan cerah bersama kilauan cahaya mentari pagi. Keindahan hari itu tidak bersahabat baik dengan Novan yang masih saja duduk terdiam, tertunduk dan enggan memandang wajah-wajah saudaranya yang sedari tadi mengajaknya untuk berbicara. Sikap Novan masih dingin, ia tak ingin mengangkat sedikit pun bagian dari wajahnya. Hembusan sisa-sisa awan subuh tadi masih saja dipeluknya dengan erat, enggan untuk melepaskannya. Rona wajahnya mendung, seperti tak berkenan menyambut hari datang. Suara yang ia dengar seperti menyesakkan telinga. Tak biasanya Novan bersikap seperti itu di depan keluarganya.
Ia masih duduk di bawah lampu pijar yang belum dipadamkan, kemudian berlalu sesaat setelah tersorot bayangan lampu remang berukuran besar itu. Keluarganya hanya diam, mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada Novan. Akhir-akhir ini tingkah lakunya sangat susah untuk ditebak. Ia kembali menuju balkon rumah yang berada di lantai rumah paling atas. Lantas duduk termangu, kadang mondar-mandir mengikuti jalur lantai, seketika ia pun kembali terhenti dan memperbaiki posisi duduknya. Sepuluh menit berlalu tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap bangunan yang berdiri megah itu dengan tatapan tak biasa, sambil sesekali menutup kemudian membuka kembali sepasang mata yang dihiasi kacamata itu.
“Seharusnya sekokoh itulah aku sekarang berdiri bersama kalian semua di sini,” Novan mengeluarkan kata, dadanya seperti sesak kemudian membuncah memaksa jiwa itu mengeluarkan segala emosinya. Ia melipat kakinya dan memejamkan mata untuk menghindari kenangan buruk masa lalu yang selalu hadir dalam memori pikirannya.
“Sepuluh tahun yang lalu, saat keadaan rumah masih rindang dengan pesona dan pancaran senyum setiap anggota keluarga yang hadir di sana, semuanya terasa begitu indah. Tak satu pun dari mereka yang bertindak seperti yang terjadi sekarang. Tak bisakah kalian sejenak mengingatnya? Kemudian mengembalikan semua keindahan itu? Mengapa kalian kini sudah berubah? Tolong jelaskan padaku, apa yang salah dari semua ini?” ucap Novan lirih.
“Apa maksud ucapanmu itu Novan?” terdengar suara Fatma yang datang melangkah mendekati posisi duduknya. Ia tidak menyangka langkah kaki saudaranya itu datang begitu cepat. Novan kemudian terdiam. Ia enggan berbicara di depan wanita bertubuh cukup tinggi itu.
“Hei kenapa kau terdiam? Jelaskan padaku apa maksud ucapanmu tadi?” Fatma terus meminta penjelasan dari adiknya dengan wajah memelas sembari menatap adiknya.
“Sepuluh tahun lalu, ketika Ayah masih sehat dan kita semua masih berkumpul bersama, aku merasakan bahagia yang begitu lengkap kak. Tidak ada satu pun dari kita yang berusaha menyakiti satu sama lain, seperti sekarang. Apakah kakak tidak merasakan hal itu berjalan berdampingan dengan kehidupan kita saat ini?” Novan mulai berkata panjang lebar.
“Saling menyakiti bagaimana maksudmu, aku masih belum paham dengan kalimat itu.”
“Sejak ditinggal pergi oleh Ayah, kita saling menjatuhkan satu sama lain. Semuanya hanya mencari kebahagiaan untuk masing-masing saja. Adakah yang tumbuh subur lantas bersikap seperti filosofi padi kak? Tidak ada!” Suara Novan seperti tercekik untuk mengutarakan segalanya.
Fatma terdiam mendengar penjelasan dari adiknya, ia tidak bisa berkutik dengan apa saja yang baru disampaikan Novan. Dengan perasaan takut, Novan mencoba menyampaikan apa yang tersimpan di dalam benaknya. Ia tidak ingin semuanya berlalu dengan luka dan linangan air mata. Sosok yang terkenal manja itu seketika menginginkan perubahan dari keluarganya. Novan tak ingin larut dalam sedihnya masa lalu yang sudah hilang ditelan zaman. Ia ingin semuanya menjadi tenteram seperti dulu. Tidak ada hati yang dilanda resah dan gelisah dalam mengarungi perjalanan waktu berlalu.
“Maafkan aku jika selama ini mata ini terlalu silau memandang segalanya Van, sebenarnya aku pun memiliki pengharapan yang sama dengan apa yang kamu pikirkan,” suara Fatma tak lagi tersekat. Dengan lambat air matanya meleleh membasahi jilbab biru laut yang ia kenakan. Entah mengapa, sulit bagi Novan untuk mengakhiri masa-masa kelam itu. Seperti masih begitu jelas semua itu terekam dalam memori hidupnya hingga saat ini. Teramat sukar baginya untuk menghapus segala yang telah tertulis itu.

Semuanya sudah berlalu, terhitung sejak Ayah tiada, semuanya sudah berubah. Novan hanya melewati hari dengan membesarkan hati dan pengharapan agar semua dapat kembali seperti dulu. Kanvas kenangan yang dulu terukir, kini balutannya sudah mulai pudar. Mungkin waktu yang sangat tajam telah menghunusnya menjadi kepingan kenangan yang sulit untuk disatukan. Berusaha dengan angan yang perkasa agar seluruh isinya dapat terjaga dengan baik, mungkinkah? Sudah tak mungkin mengemas rasa bahagia yang dulu pernah tercipta agar terlihat apik, padahal hujan berkali-kali datang menghanyutkan wujud kenangan itu. Semuanya hanya berharap dengan rasa yang penuh, sementara balutan kanvas kenangan itu jatuh mengecewakan dan sulit untuk dapat dikembalikan. Kanvas kenangan itu kini mulai pudar dan berharap pelukan masa lalu datang berjanji untuk saling membahagiakan. Semua menahan dekapan rindu dalam angan, tak satu pun berani melukiskannya dalam balutan kanvas itu. Berharap semua akan bersabar menjalani hari dengan kesetiaan, meski tak sedikit yang berusaha untuk jauh meninggalkan. Kanvas kenangan itu kini berbalut luka, tanpa hangatnya dekapan karena pengabaian rindu dan benih-benih pertemuan yang menggigil sendirian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...