Rembulan telah sirna dengan sempurna, fajar menyingsing
di ufuk timur bersamaan dengan heningnya suasana langit tanpa rekaman suara
kokok ayam. Tidak lama itu bertahan, kicau burung datang saling bersahutan,
bernyanyi menyambut hari nan cerah bersama kilauan cahaya mentari pagi. Keindahan
hari itu tidak bersahabat baik dengan Novan yang masih saja duduk terdiam,
tertunduk dan enggan memandang wajah-wajah saudaranya yang sedari tadi
mengajaknya untuk berbicara. Sikap Novan masih dingin, ia tak ingin mengangkat
sedikit pun bagian dari wajahnya. Hembusan sisa-sisa awan subuh tadi masih saja
dipeluknya dengan erat, enggan untuk melepaskannya. Rona wajahnya mendung,
seperti tak berkenan menyambut hari datang. Suara yang ia dengar seperti
menyesakkan telinga. Tak biasanya Novan bersikap seperti itu di depan
keluarganya.
Ia masih duduk di bawah lampu pijar yang belum
dipadamkan, kemudian berlalu sesaat setelah tersorot bayangan lampu remang
berukuran besar itu. Keluarganya hanya diam, mereka tidak mengerti apa yang
terjadi pada Novan. Akhir-akhir ini tingkah lakunya sangat susah untuk ditebak.
Ia kembali menuju balkon rumah yang berada di lantai rumah paling atas. Lantas
duduk termangu, kadang mondar-mandir mengikuti jalur lantai, seketika ia pun kembali
terhenti dan memperbaiki posisi duduknya. Sepuluh menit berlalu tanpa suara
yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap bangunan yang berdiri megah itu
dengan tatapan tak biasa, sambil sesekali menutup kemudian membuka kembali
sepasang mata yang dihiasi kacamata itu.
“Seharusnya sekokoh itulah aku sekarang berdiri bersama
kalian semua di sini,” Novan mengeluarkan kata, dadanya seperti sesak kemudian
membuncah memaksa jiwa itu mengeluarkan segala emosinya. Ia melipat kakinya dan
memejamkan mata untuk menghindari kenangan buruk masa lalu yang selalu hadir
dalam memori pikirannya.
“Sepuluh tahun yang lalu, saat keadaan rumah masih
rindang dengan pesona dan pancaran senyum setiap anggota keluarga yang hadir di
sana, semuanya terasa begitu indah. Tak satu pun dari mereka yang bertindak
seperti yang terjadi sekarang. Tak bisakah kalian sejenak mengingatnya?
Kemudian mengembalikan semua keindahan itu? Mengapa kalian kini sudah berubah?
Tolong jelaskan padaku, apa yang salah dari semua ini?” ucap Novan lirih.
“Apa maksud ucapanmu itu Novan?” terdengar suara Fatma
yang datang melangkah mendekati posisi duduknya. Ia tidak menyangka langkah
kaki saudaranya itu datang begitu cepat. Novan kemudian terdiam. Ia enggan
berbicara di depan wanita bertubuh cukup tinggi itu.
“Hei kenapa kau terdiam? Jelaskan padaku apa maksud
ucapanmu tadi?” Fatma terus meminta penjelasan dari adiknya dengan wajah
memelas sembari menatap adiknya.
“Sepuluh tahun lalu, ketika Ayah masih sehat dan kita
semua masih berkumpul bersama, aku merasakan bahagia yang begitu lengkap kak.
Tidak ada satu pun dari kita yang berusaha menyakiti satu sama lain, seperti
sekarang. Apakah kakak tidak merasakan hal itu berjalan berdampingan dengan
kehidupan kita saat ini?” Novan mulai berkata panjang lebar.
“Saling menyakiti bagaimana maksudmu, aku masih belum
paham dengan kalimat itu.”
“Sejak ditinggal pergi oleh Ayah, kita saling menjatuhkan
satu sama lain. Semuanya hanya mencari kebahagiaan untuk masing-masing saja.
Adakah yang tumbuh subur lantas bersikap seperti filosofi padi kak? Tidak ada!”
Suara Novan seperti tercekik untuk mengutarakan segalanya.
Fatma terdiam mendengar penjelasan dari adiknya, ia tidak
bisa berkutik dengan apa saja yang baru disampaikan Novan. Dengan perasaan
takut, Novan mencoba menyampaikan apa yang tersimpan di dalam benaknya. Ia
tidak ingin semuanya berlalu dengan luka dan linangan air mata. Sosok yang
terkenal manja itu seketika menginginkan perubahan dari keluarganya. Novan tak
ingin larut dalam sedihnya masa lalu yang sudah hilang ditelan zaman. Ia ingin
semuanya menjadi tenteram seperti dulu. Tidak ada hati yang dilanda resah dan
gelisah dalam mengarungi perjalanan waktu berlalu.
“Maafkan aku jika selama ini mata ini terlalu silau
memandang segalanya Van, sebenarnya aku pun memiliki pengharapan yang sama
dengan apa yang kamu pikirkan,” suara Fatma tak lagi tersekat. Dengan lambat
air matanya meleleh membasahi jilbab biru laut yang ia kenakan. Entah mengapa,
sulit bagi Novan untuk mengakhiri masa-masa kelam itu. Seperti masih begitu
jelas semua itu terekam dalam memori hidupnya hingga saat ini. Teramat sukar
baginya untuk menghapus segala yang telah tertulis itu.
Semuanya sudah berlalu, terhitung sejak Ayah tiada,
semuanya sudah berubah. Novan hanya melewati hari dengan membesarkan hati dan
pengharapan agar semua dapat kembali seperti dulu. Kanvas kenangan yang dulu
terukir, kini balutannya sudah mulai pudar. Mungkin waktu yang sangat tajam
telah menghunusnya menjadi kepingan kenangan yang sulit untuk disatukan. Berusaha
dengan angan yang perkasa agar seluruh isinya dapat terjaga dengan baik,
mungkinkah? Sudah tak mungkin mengemas rasa bahagia yang dulu pernah tercipta
agar terlihat apik, padahal hujan berkali-kali datang menghanyutkan wujud
kenangan itu. Semuanya hanya berharap dengan rasa yang penuh, sementara balutan
kanvas kenangan itu jatuh mengecewakan dan sulit untuk dapat dikembalikan. Kanvas
kenangan itu kini mulai pudar dan berharap pelukan masa lalu datang berjanji
untuk saling membahagiakan. Semua menahan dekapan rindu dalam angan, tak satu
pun berani melukiskannya dalam balutan kanvas itu. Berharap semua akan bersabar
menjalani hari dengan kesetiaan, meski tak sedikit yang berusaha untuk jauh
meninggalkan. Kanvas kenangan itu kini berbalut luka, tanpa hangatnya dekapan
karena pengabaian rindu dan benih-benih pertemuan yang menggigil sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar