Pengalaman masa lalu mengajarkanku bagaimana bertahan.
Menatap kedepan bersama balutan asa yang masih tersisa. Menjalani hari berlalu
seperti biasa. Aku tidak ingin ada yang terluka. Biarlah kejadian yang telah
berlalu sebagai pelajaran dalam memaknai hidup. Bukankah berdamai dengan waktu
adalah hal terindah? Lantas, kenapa harus mempermasalahkan apa yang sudah
lewat? Di setiap waktu yang terus berdetak dengan lajunya, aku takut jiwa ini
terlalu gundah dalam memaknai hidup. Terlalu banyak waktu yang terlewatkan
dengan sia-sia. Mencoba terus meyakinkan diri bahwa sukses, derita, serta
segala pahitnya masa lalu itu sudah lewat dan tidak mungkin terulang. Aku terus
mencoba memotivasi diri, kegagalan itu adalah hal yang wajar. Ibarat ranting
yang tidak akan terpisahkan dari pohon yang masih berdiri tegak.
Ingatanku terus merongrong sejadi-jadinya, masih banyak
sekali hal yang aku ingat. Tentang cacian yang sudah lewat dan kulalui dengan
lapang dada. Aku mencoba menerima semuanya dengan dalih karena memang aku tak
mampu menghindari itu semua. Tentang hinaan yang sering aku terima dari mereka
ketika aku masih polos dan lugu menurut mereka. Terlalu banyak kenangan
berwarna hitam kelabu yang sudah aku rasakan. Lagi-lagi aku terdiam, mencoba
menenangkan diri dan meyakini bahwa itu adalah bagian dari proses kehidupan.
Tidak mungkin menghindari semuanya, itu adalah takdir Tuhan. Dibalik cercaan
yang dulu aku dapatkan, kini hadirlah sesosok manusia yang bisa diharapkan. Insan
yang memiliki masa depan cemerlang, kehidupannya diisi dengan segala hal yang
positif, tidak terlalu resah seperti mereka para penghina masa lalu.
Aku tertawa terbahak mengingat itu semua. Kejadian itu
bak cahaya yang tidak akan pernah padam. Jujur aku tidak membenci mereka, hanya
saja aku tidak suka dengan tingkah laku yang mereka layangkan dulu terhadapku. Laksana
pijar sinar mentari yang tidak pernah padam, selalu hadir setiap fajar
menjelang. Begitulah benih kebencian itu datang mendekat, meniupkan kembali
lara yang pernah ada. Meski itu sudah berlalu, namun aku masih merasakan sakit
yang amat sangat di lubuk hatiku terdalam. Meski kini langkah indah sudah mampu
aku ciptakan. Keluar dari batas hitam kehidupan yang dulu pernah menganga penuh
jeritan. Jeritan duka akan perihnya cobaan hidup yang mungkin memang harus aku
rasakan.
Huh, masa bodoh dengan segala tindakan mereka. Kini aku
berdiri di garis putih kehidupan yang telah Tuhan goreskan. Aku berdiri di
bawah kuasa Tuhan. Aku memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka, itu
adalah suatu kebanggaan. Meski dulu pernah terpojokkan dengan segala tindakan
mereka. Biarlah itu berlalu, aku sudah ikhlas segalanya terjadi. Sekat hitam
itu kini sudah aku hapuskan. Biarlah mereka berlalu dengan segala keusilan dan
perbuatan kurang terpuji itu. Aku yakin bahwa Tuhan maha adil. Jika dulu aku
tersudutkan dengan hinaan mereka, kini semua berbanding terbalik. Aku masih
percaya hukum aksi reaksi alam semesta.
“Kau kenapa Diwa? Kenapa harus mengungkit masa lalu yang
telah lewat?” Idham menodongku dengan pertanyaan singkat. Ia adalah teman
baikku yang selalu hadir menemani setiap senyum maupun sedih perjalanan
hidupku. Seperti Frand yang tidak pernah absen terus memotivasi dan menguatkan
setiap langkah ketika semangat itu mulai pudar. Mereka selalu ada untuk
mengayun langkah kepastian hidup yang akan terus berputar. Mengajarkan banyak
makna dalam setiap kejadian serta hikmah di balik setiap cobaan.
“Aku baik-baik saja Idham, hanya saja di senja ini aku
teringat beberapa kejadian memilukan yang dulu pernah aku rasakan. Kau tahu
bukan bagaimana sakitnya ketika terjatuh dalam langkah yang sudah bulat serta
tekad yang tak tergoyahkan? Tapi, di balik itu semua ternyata ada kehendak lain
dari Tuhan yang tidak bisa kita hindarkan.”
“Kejadian memilukan? Sakitnya ketika terjatuh? Maksudmu?
Aku tidak paham dengan jalan perkataanmu Diwa, sungguh!”
“Tidakkah kau ingat bagaimana masa laluku yang begitu
kelam? Hadir dengan sejuta cercaan yang hampir setiap hari aku alami. Mereka
menghinaku bahkan mempermalukanku di depan banyak orang Idham. Sungguh sakit
itu masih berbekas hingga kini. Hinaan, ocehan mereka juga yang membuatku
seperti sekarang.”
“Mereka? Siapa mereka yang kau maksudkan?” Idham masih
terlihat penasaran dengan apa yang baru aku tuturkan padanya. Aku terdiam,
enggan melanjutkan apa yang ia tanyakan. Aku yakin bahwa sekuat apapun berjuang
dalam jalan yang salah, itu semua akan berakhir. Kebaikan akan selalu hadir
setelah banyaknya kebohongan yang terungkap. Hingga kini aku bersyukur dapat
bertahan dari terjangan arus yang pernah hampir membunuhku. Bertahan dari sikap
hidup yang menyerah karena hinaan sekelompok orang yang sudah tidak aku ketahui
dimana mereka kini berada. Berjuang demi menegakkan keyakinan moral yang sempat
tertindas dengan segala peluh yang dulu terurai di depan mereka.
“Sudahlah Diwa, kau harus berdamai dengan segala keadaan
yang dulu pernah menyisihkanmu. Relakan apa yang sudah terjadi, jangan kau
ungkit kembali gumpalan noktah hitam yang dulu menyakitimu. Berdamailah dengan
segala kebencian yang menggerogoti jiwamu,” ungkap Frand di sela-sela aku
menghirup udara lepas tanpa ada lagi sekat dan sesak yang tersisa. Frand, sosok
yang mengerti bagaimana harus berbuat dan menyikapi segala kepedihan itu. Ia
hadir dengan tawaran bahwa masa depan tidak bergantung pada masa lalu yang
kelam. Masa depan masih bisa diperjuangkan.
Ya, aku berterima kasih kepada mereka yang dulu sudah
mengucilkanku. Menjadikanku buronan untuk meluapkan segala emosi dan sumpah serapah
yang mereka punya. Mungkin jika itu tidak terjadi, aku tidak bisa menjadi
manusia seperti sekarang. Senja ini aku memeluk erat dekapan langkahku. Aku
tidak akan mundur untuk melintasi batas hitam itu. Ruangan kecil mungil ini
akan menjadi saksi segala langkah menggapai asa. Bahkan, sepeda tua itu adalah
teman setiaku menempuh segala asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar