Selasa, 01 November 2016

Terlalu Cepat Kau Berlalu

Anggra menundukkan pandangan dan enggan menatap empat orang teman yang berada di sampingnya. Bukan ia tidak mau untuk bertahan melanjutkan perjuangan hingga akhir seperti yang mereka janjikan. Namun, permintaan orang tua selalu saja menjadi pertimbangan baginya untuk mencoba melangkah mundur. Mala terkesima memandang temannya yang baru saja memutuskan hal terberat yang pernah ia rasakan dalam hidupnya. Harus berpisah dengan sahabat karib yang belum lama mereka bekerja di tempat yang saja. Berulang kali ia meminta Anggra mengurungkan niatnya dan memohon agar tetap bertahan, namun Anggra seperti tak mampu menolak pinta kedua orang tuanya. Seluruh isi ruang tamu itu kini terdiam seperti tak memiliki lisan dan kekuatan untuk angkat bicara. Apalagi yang mau mereka harapkan jika ternyata mereka harus terpisahkan.
“Kamu tau kan Anggra kenapa aku ada di sini saat ini? Bukankah keberadaanku di sini karena memang dulu kau pernah memintaku untuk bekerja bersama di tempat ini. Lantas? Mengapa kau mundur?” Putra berkata sambil memandang langit-langit ruangan itu dengan pandangan pilu. Jika saja semua yang terjadi bisa diatur seperti kehendak mereka, mungkin keputusan itu takkan pernah terucap. Anggra terlihat sangat terpukul dengan apa yang baru saja diungkapkan Putra, sahabatnya. Terhitung Maret di awal tahun itu, baru dua bulan mereka berkumpul bersama, tapi perpisahan tidak dapat dihindarkan. Jika itu yang harus dihadapi, untuk apa Zet, Iko, Mala, serta Putra beradu sekuat tenaga agar bisa menjadi rekan kerja Anggra selama ini.
Kantor tidak akan pernah sepi jika mereka hadir dan duduk bersama di dalamnya. Namun, hal itu kini akan berganti jika Anggra harus berlalu dan meninggalkan tempat ini terlebih dahulu. Aku menyaksikan bagaimana mereka hidup seperti terlahir dari satu ibu, penuh canda, tawa hingga mengakhiri semua beban kerja bersama. Tapi, hal itu kini akan menghilang karena satu bagian dari lima kepingan yang ada akan menghilang. Bukan berarti aku tak rela melihat hal itu terjadi. Namun, hati kecilku memahami jika tidak semua yang berjalan akan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Aku selalu memperhatikan mereka, kebersamaan itu seperti takkan hilang ketika aku melihat mereka sebulan yang lalu. Huh! Beginilah proses kehidupan, manusia hanya bisa merencanakan dan menulis banyak mimpi yang mereka inginkan. Sedangkan untuk hasil, Allahlah yang akan menentukan.
Saat memandang langit kelam begitu hitam pekat, cahaya akan hadir jika mereka berlima berkumpul dan bercengkerama dengan segala hal yang mereka perbincangkan. Hal itu akan berlalu, tidak lama lagi. Meski sejujurnya semua tidak menginginkan hal itu terjadi. Bukankah baru saja mereka merasa kesepian saat Putra meninggalkan tempat penuh tawa itu untuk beberapa hari saja. Kini, kesepian itu akan berlanjut. Mereka akan kehilangan satu pondasi untuk melewati arus panjang yang akan dihadapi. Kehangatan tawa itu akan tetap diingat, meski sudah tidak seindah dulu. Anggra, terlalu cepat kau berlalu. Empat rekanmu masih begitu mengharapkanmu menjadi pemandu mereka di tempat itu.
Sanggupkah kau bayangkan sendok tanpa garpu? Mungkin begitulah mereka jika tanpamu Anggra. Menikmati hari seolah semua baik-baik saja. Padahal, ada satu hal yang hilang di dekat mereka. Jika kau sudi, bayangkan jika malam akan hadir tanpa ditemani siang, apa yang akan terjadi? Tak sudikah kau bertahan demi mereka Anggra? Silakan kau jawab sendiri. Kemudian pikirkan jika memang gembok takkan terpisah dari kuncinya, begitu pula keempat rekanmu Anggra.
Sulit membayangkan bagaimana keempat manusia itu harus beradaptasi kembali dengan orang baru jika Anggra berlalu. Entahlah! Cerita mereka memang sudah seperti ini adanya. Biarkan saja terjadi jika sudah tidak bisa dibenahi lagi. Andai benar Anggra berlalu, semoga semua akan baik-baik saja. So? Apapun yang akan terjadi, memang sudah seharusnya terjadi dan begitulah rotasinya.
“Saat di mana kita harus bertemu, tidak berarti tanpa perjumpaan yang tidak berarti, dan ketika waktu itu telah datang, bukan perpisahan yang menjadi kenangan, namun kebersamaan itu yang akan menjadi kenangan. Untuk kemarin, saat ini, dan nanti, semua kenangan itu telah ada di dalam hati ini kawan”

Tulisan ini ada catatan perjalanan, aku tulis ketika aku menanti reda hujan. Di persimpangan jalan itu aku membayangkan, bahwa dalam setiap pertemuan, langkah, derap perjuangan, akan ada perpisahan yang tidak bisa kita hindarkan. Lalu, aku tersadar, jika perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan menjadi satu batu loncatan yang bisa menjadikan kami lebih berarti lagi dalam menyikapi dan menjalani hidup. Sekuat apapun kami meminta untuk tidak dipisahkan, untuk tetap disatukan, langkah hidup takkan berhenti di satu tempat saja. Bagai kawanan burung yang terus gigih menghinggapi satu pohon ke pohon yang lain, seperti itulah seharusnya kehidupan. Kemudian, apapun yang terbaik untuk kalian, maka perjuangkanlah sahabat, dukungan penuh akan kami berikan. Sepanjang hari menghabiskan waktu bersama kalian, telah menjadikan diri ini enggan untuk mengakhiri percakapan itu kawan. Namun, akhir masa itu telah datang, dan berharap akan menjadi akhir yang begitu mengharukan. Nikmatilah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...