Selasa, 01 November 2016

Memeluk Hujan

Tidak ada yang istimewa dari mereka ketika awal aku mengenalnya. Aku hanya menghabiskan waktu demi waktu untuk membaca pesan yang terpampang di layar hape mungilku tanpa tahu apa maksud dan arah pembicaraan mereka. Hari demi hari aku lalui dengan raut wajah datar tak bermakna. Belum lagi jika isi pembicaraan mereka tentang cinta, aku hanya akan menjadi pembaca yang diam. Tahu tanpa bersuara dan membaca tapi tak meninggalkan komentar. Tidak kusangka hal itu kemudian berubah seminggu setelah grup ramai dengan anggota baru yang datang. Malam itu satu persatu memperkenalkan diri agar saling kenal dan lebih dekat satu sama lain. Hari semakin malam, percakapan itu pun semakin panjang. Ada yang saling sadar bahwa mereka bertemu dengan teman lamanya di sana, ada juga yang sudah mendapatkan teman baik meski belum lama mengenal satu sama lain.
Adalah Ismayana Susanto, seorang mahasiswa Sastra Inggris dari Makassar yang memberikanku banyak info terbaru seputar kompetisi yang akan kami lalui. Ia banyak bercerita mengenai persiapan dan dokumen yang harus kami bawa ketika perlombaan itu digelar. Aku tahu dia seorang admin grup yang baik yang selalu mengingatkan anggotanya untuk melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi hari H. Melalui Mayo, begitu sapaan akrabnya, aku juga mengenal Alma, Fauzi, Fajar, Yasmin, Ullih, Rohman, Taufik, Rofiq, dan Vidiya. Semuanya adalah pejuang untuk mendapatkan kesempatan berlibur ke Eropa selama tiga tahun lamanya. Belum lagi Mirtha, kak Ririz, Ani, Sonia, Afrida, Dewi, Gaby, dan Rohmanto yang selalu hadir dengan teguran khas dalam setiap percakapan tentang masa depan.
“Pokoknya semua harus lulus ya,” tegas Rohman memulai percakapan saat malam Minggu menyapa. Meski malam itu hujan dan angin menyusup masuk ke ruangan, tapi kami tetap kepanasan dengan persiapan mengetahui hasil akhir. Semua harus lulus, kata itulah yang membuatku kagum dengan mereka. Bak sekumpulan dendam yang harus tersampaikan. Seperti rindu yang menghujam dan harus terbalaskan dengan saling tatap dan bertemu di kedutaan sebelum take off ke Eropa. Jika memang terpaksa ada yang tidak beruntung, aku akan menjadi saksi kejadian itu. Aku siap menggantikan apapun yang mereka inginkan. Karena bagiku mereka adalah cinta yang menjadi jembatan antara aku dan segala kenangan yang pernah hadir dan menyala. Mereka adalah penerang jalan, aku tak ingin mereka merasakan kesedihan. Jatuh cinta dengan mereka sama seperti jatuh cinta kepada seorang gadis. Aku hanya butuh waktu satu menit untuk merasakan kebersamaan dan kebaikan mereka, namun aku butuh waktu seumur hidup untuk melupakan mereka.
Ullih, Yasmin, Rohman, dan Alfi bahkan sudah merayakan apa yang akan kami rasakan dengan mengadakan pertemuan dan jalan-jalan singkat di daerah Ibukota. Vidiya, Atika, dan Andhika juga seharusnya berada di sana, namun cuaca saat itu tidak mendukung mereka bertiga untuk datang dan menemui Yasmin dengan ketiga rekannya yang lain. Semua tampak indah dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Begitu juga dengan harapan kami, semoga kabar baik akan segera kami dapatkan dan bersama-sama terbang menuju Eropa untuk merasakan atmosfer di Negara dengan dua benua, Turki. Sebelum tanggal yang kami nantikan itu tiba, mereka bahkan sudah menuliskan harapan dan impian apa yang akan kami lakukan nanti setelah sampai di sana.
Tepat setelah tiga bulan dari perkenalan singkat di grup tersebut, langit seolah runtuh. Aku tidak tahu apa yang salah dari kami. Tidak banyak dari mereka yang keluar sebagai pemenang. Rofiq bahkan mengaku bahwa dirinya tidak menerima kabar apapun terkait kompetisi itu. Aku tahu apa yang ia sembunyikan. Demi menjaga perasaan yang lain, ia dengan sengaja tampil sebagai seseorang yang sedang mengalami kegagalan. Air mata tumpah bak aliran sungai yang sudah tak terbendung. Satu sama lain saling menguatkan akan kegagalan yang baru saja kami rasakan. Sakitnya tak mampu dan takkan bisa diungkapkan dengan rangkaian kata. Banyak sekali jiwa yang menangis dan menumpahkan beban karena sudah tak mampu menerima kenyataan. Ah, akhir dari setiap percakapan selalu sabar, entah hati mereka mengiyakan atau hanya sebatas lisan saja yang berpura-pura mampu menerima kenyataan.
“Aku sudah tidak tahu lagi ini air mata yang ke berapa yang kembali tumpah, aku tahu sungguh sakit rasanya. Tapi aku punya kalian yang masih bisa menguatkan. Sudah lelah dengan sakit ini, aku tak kuasa menahannya, tapi Tuhan memberikan kabar ini karena Dia tahu kita kuat. Ya, kita semua kuat dengan hasil ini,” ungkap Mely sambil sesengukan menahan air matanya terus menetes agar tidak semakin deras.
“Percayalah, pasti ada yang lebih baik yang Tuhan siapkan untuk kalian. Entah itu di timur atau pun di barat, tujuan kita tetap satu, kita harus sukses,” timpal Pak Adhitya.
“Aku sudah merasakan penolakan seperti yang hari ini kita rasakan. Tapi, akan ada jalan lain yang kita tempuh untuk mendapatkan apa yang kita impikan. Biar sembuh dengan sendirinya semua luka yang kita rasakan sekarang. Kalian harus percaya di atas langit masih ada langit yang lain. Tetap semangat ya teman, semoga tahun depan kalian diberikan kesempatan yang sama,” lanjut Alma meyakinkan teman-temannya yang masih sendu ditemani rintik hujan yang mengalir dari sepasang mata mereka.
Hidup itu kosong, penuh, dan kembali pada kekosongan, tiada kekekalan yang abadi. Kadang kita mengawali sesuatu yang belum siap kita mulai, kadang juga kita mengakhiri sesuatu yang belum siap kita akhiri. Seperti apa yang kita rasakan hari ini, teruntuk kalian yang menang, maka kalian akan mengawali hidup baru, tapi untuk kami yang kalah, kami akan mengakhiri kisah. Begitulah seterusnya hidup. Mereka salah, ternyata kami tidak setabah daun yang bisa ikhlas begitu saja terjatuh kemudian terbang dan menghilang. Kami masih merasa begitu terjatuh, impian kami remuk, dan kini patah lalu teriris tipis-tipis. Ternyata kami semua bisa bersedih, menangis bahkan tak percaya dengan apa yang kami terima saat ini. Pahit sekali rasanya. Kami tak sekuat yang kami kira, sakit sekali saat terjatuh dan ditimpa terjangan hujan yang datang dari kedua mata kami sendiri. Tapi, bukankah hidup harus terus berjalan meski harus tertatih-tatih atas titah Tuhan karena impian dan kenyataan yang tak sejalan.
Teruntuk kisah hidup yang sudah terjadi dan terbingkai dalam balutan kanvas pecah karena jatuh berantakan, berlalulah. Pada setiap harapan yang tersusun rapi dan kini hancur, menjauhlah. Kami manusia, biarkan waktu dan redup cahaya lampu ruang tengah yang akan menemani hari-hari kami berlalu dan menyembuhkan semua luka ini. Suatu hari nanti, akan ada masa kita semua bertemu kembali dalam kesempatan yang berbeda dengan cerita yang tentunya akan lebih mengharukan dari yang telah terukir saat ini. Meski sudah dalam situasi yang berbeda, semoga canda tawa tetap sama. Kitalah pejuang kebaikan masa depan sesungguhnya. Semoga mimpi yang kita usahakan, harapan yang kita do’akan, serta kekecewaan yang hinggap ini akan menjadi kisah baik dan digantikan oleh pemilik semesta alam dengan kejutan yang tak kalah mengejutkan. Sudahi air mata kalian, jangan biarkan menetes lagi dan lagi, peluklah karena kelak Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kalian juga hujan yang telah jatuh dan kalian ciptakan. Hujan itu akan berubah menjadi suatu kebahagiaan, percayalah!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...