Apa yang menjadi kekhawatiran dunia internasional kini terjadi. Setelah mengalami pergolakan panjang, Rusia akhirnya melakukan serangan militer terhadap Ukraina. Setelah sebelumnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy memberikan tanda-tanda serangan militer. Pada pernyataannya, Presiden Ukraina meminta kepada seluruh warga untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan mengibarkan bendera pada Rabu 16 Februari 2022. Pasca kejadian tersebut, mulai 24 Februari 2022 Rusia akhirnya mengerahkan bala tentara mereka untuk menyerang sejumlah kota di Ukraina. Serangan senjata militer Rusia seperti membumi hanguskan sejumlah kekuatan militer milik Ukraina.
Seperti diketahui bahwa Vladimir Putin sudah berulang kali melakukan klaim bahwa Rusia dan Ukraina adalah merupakan satu wilayah. Bagi Rusia, wilayah yang saat ini dikenal sebagai Ukraina adalah bagian dari negaranya termasuk Belarusia yang dipahami Putin sebagai sebuah peradaban yang tidak terpisahkan. Sementara, Ukraina menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa Ukraina mengalami dua proses revolusi pada tahun 2005 dan tahun 2014. Dari kedua revolusi ini, keduanya menolak supremasi Rusia. Ukraina, justru mencari cara dan jalan lain agar dapat bergabung ke dalam Uni Eropa dan NATO atau yang dikenal luas sebagai Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Putin tidak setuju dengan usaha Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Mengingat bahwa NATO merupakan aliansi pertahanan keamanan yang sudah berhasil didirikan karena adanya pergolakan dan persaingan Blok Barat dengan Uni Soviet dan sekutunya setelah berakhirnya perang dunia kedua. Jika Ukraina bergabung ke dalam keanggotaan NATO, maka akan terjadi pergolakan kepentingan yang semakin panjang.
Konflik antara kedua negara ini sudah dikenal dan terjadi pada tahun 2014. Pada saat itu, Ukraina berhasil menjatuhkan kepemimpinan sosok presiden yang pro terhadap Rusia yakni Viktor Yanukovych. Berakhirnya Viktor menjadi penyebab konflik karena membagi Ukraina menjadi dua golongan antara yang pro Uni Eropa dan pendukung Rusia. Pada saat kekosongan kepemimpinan, Putin berusaha melakukan klaim atas wilayah Krimea dan mendukung penuh pemberontakan dari kaum separatis. Oleh banyak pengamat politik internasional, campur tangan Rusia atas wilayah Krimea ini didasarkan karena alasan kepentingan politik dan ekonomi. Mengingat bahwa Krimea memiliki letak yang cukup strategis dan dapat dimanfaatkan oleh Rusia sebagai alat untuk memperkuat hegemoni di kawasan Timur Tengah dan Eropa Timur. Konflik yang sudah terjadi sejak tahun 2014 ini seketika berubah menjadi perang panas yang juga oleh banyak kalangan disebut sebagai perang dunia ketiga.
Ketika konflik terjadi di tahun 2014, Ukraina dinilai lemah dari sisi pertahanan keamanan, sementara Rusia memiliki persenjataan yang lebih memadai. Namun, dalam invasi yang terjadi saat ini Ukraina dinilai jauh lebih siap dan kuat secara militer dengan dilengkapi ribuan relawan yang siap untuk mengusir separatis yang datang. Ukraina juga sudah membeli persenjataan canggih dari Barat dan Turki termasuk didalamnya ada Rudal Javelin yang terbukti dapat menghancurkan dan mematikan tank dari kelompok separatis. Termasuk adanya Drone Bayraktar yang terkenal sangat berpengaruh dalam perang yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan tahun lalu.
Terlepas dari permasalahan kekuatan militer, sebenarnya ada dimensi politik dan ekonomi yang menjadikan konflik ini semakin memanas. Hal ini terlihat dari usaha Putin yang berusaha mati-matian mengajak Ukraina untuk bergabung menjadi bagian dari Blok Perdagangan Bebas atau yang dikenal dengan Uni Ekonomi Eurasia yang sangat didominasi penuh oleh Pemerintahan Rusia. Adapun hal yang menjadi perhatian dalam Uni Ekonomi Eurasia adalah menyatukan beberapa negara bekas Republik Soviet yang secara luas dikenal sebagai langkah untuk menghidupkan kembali Uni Soviet.
Ukraina terkenal dengan hasil industri dan pertanian dan populasi sekitar 43 juta, Rusia berharap penuh bahwa Ukraina akan memenuhi permintaan untuk bergabung dalam keanggotaan tersebut. Akan tetapi, Ukraina justru menolak untuk bergabung menjadi bagian Uni Ekonomi Eurasia tersebut. Hal ini yang diyakini oleh dunia internasional sebagai penyebab dan pemicu konflik antara Rusia dan Ukraina yang berakhir dengan adanya invasi. Meskipun sebelumnya ekonomi Ukraina pernah tenggelam pasca pemutusan hubungan dengan Rusia sebagai mitra terbesarnya. Namun, beberapa tahun pasca konflik di tahun 2014, ekonomi Ukraina kian meningkat dan meroket yang kembali dipandang sebagai penyebab konflik ini muncul kembali ke permukaan di tahun ini.
Mengingat Rusia adalah negara dengan jumlah aliansi yang sangat diperhitungkan dalam konstelasi perpolitikan global karena aliansi strategisnya dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Hal ini dapat menjadi pijakan terkait perimbangan kekuatan baru dalam tatanan politik dan perekonomian global juga regional. Terkait krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, ada hal-hal yang menjadi perhatian untuk dapat dicermati bersama.
Terkait perpecahan suara dalam memandang perhormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah dari suatu negara pada negara-negara anggota PBB. Poin pertama ini memperlihatkan bahwa konsep kedaulatan yang diakui selama ini adalah tetap bergantung kepada perspektif kekuatan yang berkuasa dan dapat memutuskan hal tersebut secara sepihak. Permasalahan penyelesaian krisis yang diakui di dalam piagam PBB masih cenderung bias dan memihak. Beberapa bahkan banyak negara belum menyampaikan sikap dan posisi perpolitikan nasionalnya sehingga terkesan adanya dilema prioritas dalam kerangka hubungan bilateral dengan major powers yang terlibat dalam krisis antara Rusia dan Ukraina.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah terkait permasalahan keamanan dan perdamaian dunia. Seperti krisis dan konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini terlalu didominasi oleh negara besar yang bersikap tidak demokratis dan mengancam perdamaian dunia. Padahal kalau dilihat kembali, masing-masing negara tahu bagaimana prinsip perdamaian dunia yang terdapat di dalam piagam PBB. Termasuk peran yang diberikan negara berkembang hanya akan dinilai sebatas pemain figuran bukan aktor utama atau pemain kunci dalam menentukan sikap politik secara independen. Apalagi seperti Indonesia yang saat ini menjabat sebagai presidensi G20 yang sudah seharusnya Jokowi menentukan sikap politik atas konflik antara Rusia dan Ukraina.
Serta, resolusi dari PBB dapat digunakan bukan sebagai
solusi, melainkan sebagai propaganda dari major powers untuk memudahkan
tindakan pemerasan politik dan juga ancaman terhadap kepentingan ekonomi untuk
kiranya dapat menekan negara anggota PBB menyetujui solusi apa yang ditawarkan
oleh major powers. Dalam artian yang lebih luas, sebenarnya terdapat
kecenderungan dari major powers untuk berusaha menjadi terlihat dominan di
antara yang lain agar dapat melakukan dikte aturan yang mereka buat terhadap
negara lain dan mengatur segalanya dalam tatanan perpolitikan global. Semua hal
yang disebutkan di atas merujuk kepada konsep geopolitik yang menjelaskan
hubungan antara faktor geografi, strategi, dan perpolitikan negara-negara di
dunia. Konsep ini juga menjelaskan bahwa permasalahan strategis dalam
pertarungan kekuatan antara negara dalam struktur sistem internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar