Pasca berakhirnya Perang Sipil China di tahun 1949, kini tercipta dua
entitas politik yang berbeda kepentingan di wilayah China. Entitas pertama
muncul dari Partai Komunis China yang dikenal menguasai daratan utama,
sedangkan entitas yang kedua lahir dari Partai Kuomintang yang berada di
wilayah selatan atau yang dikenal dengan nama Taiwan. Kedua belah entitas
politik ini kini melahirkan babak baru terkait sengketa kedaulatan. Melalui
kebijakan satu daratan China, kedua entitas berbeda ini terus terlibat dalam
kompetisi guna melawan satu sama lain sebagai upaya agar mendapatkan dukungan
dan pengakuan dari negara lain. Tujuannya adalah agar masing-masing mendapatkan
pengakuan sebagai pemerintahan yang sah untuk menguasai wilayah kedaulatan
masing-masing.
Kompetisi antara kedua entitas ini
berasal dari keinginan China untuk menggeser Taiwan dari sistem perpolitikan
internasional. Sampai dalam lima dekade terakhir, China dan Taiwan masih berada
dalam tensi politik yang memanas. Tensi kedua negara ini dikenal dengan sebutan
enduring rivalry yang dinilai akan
mengarah kepada hubungan yang berlarut-larut dan konfrontasi yang akan terus
berulang. Diketahui, sejak pemilihan Presiden Taiwan di tahun 1996, China aktif
melakukan konfrontasi terhadap Taiwan melalui berbagai tindakan ancaman,
kecaman, hingga tes misil.
China hingga kini masih kokoh pada
pendiriannya bahwa Taiwan secara administratif merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari wilayah daratan China. Padahal keduanya memiliki ikatan
sejarah, budaya, bahasa yang sangat dikenal oleh dunia internasional. Akan
tetapi, Taiwan terus menolak justifikasi One
China Policy. Taiwan tetap percaya bahwa negara tersebut berdiri sebagai
negara yang berdaulat dan juga bukan bagian dari One China, Two Systems. Akibat dari pandangan berbeda ini, hubungan
antara keduanya hanya terjadi pada skala terbatas yakni dalam sektor
perdagangan. Volume perdagangan antara China dan Taiwan mencapai angka USD 198
miliar di tahun 2014. Angka ini menempatkan Beijing sebagai mitra dagang utama
bagi Taipei.
PBB pada tahun 1971 hanya mengakui China
dan tidak mengakui kedaulatan Taiwan. Akibat dari kebijakan One China Policy, banyak negara di dunia
yang memilih menjalin satu hubungan diplomatik yakni antara Beijing dan Taipei.
Namun Taiwan gencar melakukan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan secara
internasional oleh negara lain. Di sisi lain, China sering kali mengecam aksi
Taiwan dan berusaha menghentikan segala bentuk kemerdekaan Taiwan.
Meskipun tidak mendapatkan pengakuan
internasional, Taiwan tidak serta merta menyerah. Hal tersebut dibuktikan bahwa
Taiwan mampu memenuhi lima standar negara berdaulat berdasarkan Konvensi
Montevideo 1993, yakni berpenduduk tetap, memiliki wilayah, terdapat
pemerintahan, adanya kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain, dan
pengakuan dari negara lain. Bagi Taiwan, poin terakhir adalah berhubungan
dengan legitimasi, hak, kekebalan diplomatik, serta persamaan kedudukan dalam
institusi internasional. Akan tetapi, dari perspektif China, terus berusaha
mempertahankan wilayah Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan China
dengan berbagai aksi serius. Seperti menyediakan misil yang mengarah kepada
Taiwan dan mengecam dukungan Taiwan atas demonstrasi Hong Kong pada tahun 2019.
Taiwan menggunakan pendekatan dalam
bentuk infrastruktur kecil dan menengah ketika menjamin hubungan diplomatik
dengan negara lain. Sementara China lebih menggunakan pembangunan dan
modernisasi infrastruktur masif. Kebijakan lain yang digunakan Taiwan adalah
dengan berfokus pada isu lingkungan hidup dan perlindungan bumi dengan
menerapkan metode smart agriculture
dalam kerangka Taiwan International
Cooperation and Development Fund. Sementara China menggunakan kebijakan
Belt Road Initiative yang berhubungan dengan pembangunan masif dan investasi
hijau yang dinilai oleh dunia internasional cukup jauh berbeda dengan kebijakan
Taiwan. Investasi hijau yang digagas oleh China lebih mengedepankan ekonomi
hijau dan pembangunan dalam sektor industri yang ramah lingkungan. Investasi
hijau yang digagas oleh China memiliki tujuan untuk mencapai kondisi ramah
lingkungan yang sejalan dengan Agenda Paris dan agenda PBB tahun 2020 terkait
pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan lain yang diterapkan oleh
China adalah prioritas kegiatan finansial dan perdagangan yang berbeda dengan
Taiwan yang lebih sedikit. Sehingga dengan pendekatan tersebut, China
ditempatkan sebagai mitra dagang krusial bagi banyak negara di dunia. China
juga mementingkan pendekatan diplomasi dalam bidang pendidikan. Sedangkan
Taiwan kurang memberikan prioritas dalam bidang diplomasi melalui pendidikan.
Taiwan dinilai lebih fokus kepada penyebaran nilai budaya melalui penghormatan
terhadap HAM dan demokrasi yang dikenal sebagai identitas kuat Taiwan. Taiwan
sering kali menggunakan pendekatan government
to person atau yang dikenal dengan pendekatan pemerintah kepada masyarakat.
Sedangkan China lebih memilih untuk menggunakan pendekatan person to person dan business
to business.
Setelah memperhatikan pendekatan dan
kebijakan yang digunakan oleh Taiwan, apakah China akan menggunakan tindakan
militer untuk dapat menguasai wilayah Taiwan? Mengingat Presiden China Xi
Jinping kerap memberikan lampu merah akan merebut wilayah tersebut secara
paksa. Setidaknya ada empat skenario yang bisa dilakukan oleh China. Pertama,
melakukan aneksasi terhadap Pulau Kitmen dan Matsu yang terletak hanya 10 km
dari lepas pantai daratan. China juga dapat membidik kepentingan Taiwan di Laut
China Selatan. Kedua, China dapat memberlakukan karantina bea cukai yang
dipandang penting sebagai upaya untuk memaksa Taiwan menerima kehilangan
kendali. Ketiga, China juga dapat melakukan blokade penuh terhadap Selat
Taiwan. Terakhir, China dapat menggunakan kekuatan mereka yang dipandang
superior di udara untuk menyerang Taiwan agar tunduk terhadap kepentingan
China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar