Selasa, 19 April 2022

Untuk Segala Lebih dan Kurangmu, Kami Rindu (Ibu)

Tak seorang pun dalam hidup ini yang sangat kuat. Semua orang pasti pernah merasakan kesedihan, tapi terkadang dia mampu untuk berpura-pura tersenyum (anonim).

Pontianak tiba-tiba hujan beberapa hari terakhir. Deras sekali. Bahkan orang-orang sampai mengeluh. Pun tentang aku yang hari ini sedang merindukan almarhumah Ibu. Puasa pertama tanpa sosok seorang Ibu. Berat tapi ini bagian dari hal yang tidak bisa dihindarkan. Takdir Allah.

Biasanya kalau ada Ibu, selalu ada yang telpon minta cepat diisikan pulsa. Minta dikirimi uang untuk ini itu. Aku kira kehilangan almarhum Bapak adalah kesedihan yang sangat mendalam. Ternyata kehilangan sosok Ibu justru seperti kiamat. Jalan tol menuju surga yang sudah pergi jauh dan tidak akan kembali. Aku rindu sekali sosok Ibu. Meski mungkin kami sering berselisih, tapi aku sangat menyayangi Ibu. Aku tau, baktiku sebagai anak belum banyak untuknya. Karena di 5 tahun terakhir, aku sibuk dengan urusan kerjaan. Sementara Ibu jauh di rumah. Itulah sakitnya menjadi seorang perantau.

Setelah lulus, aku tau Ibu juga menyimpan banyak harap untuk anaknya ini. Seperti was-was melihat anaknya yang belum menemukan pekerjaan. Pernah juga dua kali aku ikut seleksi beasiswa, Ibu memberikan lampu merah. Artinya aku tidak akan lulus tanpa ridhonya. Alasannya simple sekali. Aku masih sendiri alias belum menikah kala itu. Ketakutan Ibu mungkin benar. Untuk seorang anak lelaki yang lajang akan sangat berbahaya jika melanjutkan pendidikan doktor berdurasi 3-4 tahun tanpa keluarga.

Sementara dari sisi aku yang masih dalam proses bertumbuh, masa-masa memutuskan untuk menikah, melanjutkan kehidupan di Pontianak yang jauh dari orang tua adalah keputusan sulit. Pun ditambah lagi setelah dua tahun pernikahan kami dikaruniai putri kecil. Adalah masa sulit untuk mengurus anak, bekerja dengan 3 profesi sekaligus dalam satu waktu, memberikan seluruh tenaga yang dimiliki demi anak dan istri. Jangankan untuk berleha-leha, buat ngurus diri sendiri aja kadang udah kurang waktunya. Itu yang aku benci dari proses bertumbuh, ketika aku hampir matang menjadi dewasa, ada Ibu yang semakin hari semakin menua. Berat sekali membayangkan proses ini. Karena tidak ada satu pun anak yang ingin hidup jauh dari orang tuanya.

Biasanya Ibu telpon, “Hari ini Ibu beli pecel untuk menu berbuka. Di sana buka puasanya pake apa? Atau kadang sekedar mengeluhkan kaki Ibu yang sakit. Termasuk sering Ibu mengabarkan perihal baru diantar berobat oleh anaknya yang ini dan yang itu. Tidak jarang Ibu juga mengeluh karena baru dimarahi oleh anak-anaknya. Aku yang merasa mengurus satu anaknya seperti kaki di kepala, kepala di kaki sulitnya, apalagi jika aku membayangkan Ibu. Sulit? Jelas.

Apalagi kami sekandung ada tujuh bersaudara dengan satu anak perempuan yang sangat baik. Kakak perempuanku adalah permata Ibu. Anak perempuan yang nomor 3 tapi dewasa dan bijaknya melebihi anak pertama. Meski sudah menikah, dia masih punya waktu untuk hampir setiap hari menjenguk Ibu di rumah. Membelikan Ibu beras, minyak, dan perlengkapan dapur lainnya. Maka tidak jarang kalau kakakku ini jauh lebih sukses dari yang lain. Baktinya untuk Ibu luar biasa. Bahkan sampai Ibu berpulang, baktinya tidak pernah kurang. Kadang aku merasa iri sekali padanya, tak jarang juga malu. Iri karena bakti yang sangat luar biasa. Malu karena sebagai anak laki-laki yang sudah menikah, aku justru tidak terlalu dekat dengan Ibu.

Aku bangga sama Ibu. Mengurus tujuh anak dengan sangat lihai. Bangga yang tidak pernah tergantikan oleh apapun. Alasan untuk segala bahagia dan sakit yang pernah dialami Ibu di dalam perjalanan hidupnya sampai ia berpulang. Ya, Ibu pasti bangga punya anak begini begitu, sebagai sumber bahagia. Pun juga Ibu pasti kadang sedih karena anaknya begini karena anaknya begitu, sebagai sumber nestapa dalam hidupnya.

Aku tau menjadi seorang Ibu seperti Ibuku sangatlah tidak mudah. Delapan tahun ditinggal Almarhum Bapak dan Ibu hidup seorang diri di rumah. Sedangkan anaknya hanya beberapa bulan singgah, kemudian melanjutkan hidup di rantau untuk bersekolah. Hidup sendiri selama sebulan saja sudah sangat sepi, apalagi sampai bertahun-tahun lamanya. Kadang aku bertanya, apakah Ibu tidak takut tinggal sendiri di rumah. Ibu justru mengatakan bahwa hidup sendiri sudah menjadi keharusan. Bahkan Ibu sudah tidak takut bangun sendiri larut malam. Mungkin yang ada di pikiran Ibu adalah perihal menjalani sisa hidup tanpa harus mengeluhkan banyak hal.

Seperti kata pepatah, secinta apapun dengan pasangan, kelak kita akan dipisahkan oleh kematian. Sebaik dan seburuk apapun yang kita kerjakan, kelak semua akan mendapatkan balasan. Perjalanan kisah hidup orang tua kami sudah membuktikan itu semua. Banyak harta yang dimiliki Bapak, itu tidak menemani beliau di liang lahat. Begitu juga Ibu. Maka mungkin petuah terbaik adalah dengan menjadi dermawan. Sebab amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak amal sholeh lah yang kelak akan menjadi pahala tanpa terputus.

Tapi jujur, aku merasa Ibu masih ada. Tiap kali buka hp dan memandang fotonya aku seperti tersadar, Ibu masih ada di sekitar kami. Seperti sulit percaya Ibu sudah pergi dan tidak sakit lagi. Hanya bisa berusaha menerima kepergian Ibu dan semoga dimudahkan segala hisab, diampuni segala dosa, dan kami yang masih tertinggal bisa menjadi petuah untuk kebaikan-kebaikan yang sudah Ibu ajarkan.

Kebahagiaan dalam hidup ini adalah perihal mencintai dunia, bagaimana pun bentuknya. Berharap mendapatkan cita dan harapan sekuat apapun berusaha untuk mendapatkannya. Dicintai dan mencintai orang yang kita sayangi. Serta segala hal yang kita harapkan bisa kita dapatkan di dunia ini.

Sedihnya, kita tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menolak takdir. Perihal jodoh, rejeki, dan kematian. Termasuk segala hal yang membuat kita sedih, kecewa, terluka. Itulah takdir Allah.

Ibu, kami merindukanmu. Untuk segala lebih dan kurangmu. We love you.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...