Kamis, 17 Maret 2016

Pesona Cinta Muslim Traveller

Siang yang begitu terik, panasnya sinar matahari membakar kulit, jalanan macet parah. Kami hanya bisa maju perlahan karena sesaknya jalanan yang dipadati kendaraan. Terdengar raungan klakson mobil saling bersahutan. Para pengemudi tidak sabar untuk bisa lepas dari jebakan antrian motor dan mobil yang begitu panjang. Beberapa pejalan kaki terlihat melemparkan senyum ramah saat melewati kawanan becak yang juga terdampar dalam sengitnya macet di pusat kota siang itu. Entah sudah berapa kali lampu hijau menyala, tapi mereka belum bisa menghindar. Ada yang setia menunggu untuk melaju, tidak sedikit juga yang berbalik arah mencari jalan lain untuk bisa selamat dari ancaman kemacetan. Begitu juga dengan kami, aku dan Chandra yang saat itu merupakan bagian dari manusia-manusia yang harus sabar menanti ruang jalan sepi untuk bisa sampai di rumah Ayu, tempat berkumpulnya kami para muslim traveler. Kami akan berlibur bersama lima dara jelita selain Ayu, ada Mila, Titan, Yunis, Anis, dan juga Zora. Mereka berenam adalah saudara, Ayu, Anis, dan Zora adalah mahasiswa MIPA yang terkenal dengan aksi olah data dan bahasa ilmiah yang kuliah di kampus unggulan. Mila, ia adalah lulusan fakultas ekonomi dari Negeri Jiran. Sementara Titan dan Yunis adalah mahasiswa manajemen yang menempuh studi di perguruan tinggi ternama di kotaku. Sementara aku dan Chandra adalah duo perjaka yang menghabiskan usia untuk belajar ilmu sosial dan sains. Dua puluh menit menunggu, akhirnya kami selamat dari kepungan macet yang sangat menyita tenaga. Keringat bercucuran, kami terus mencari celah untuk meneruskan perjalanan.
“Hai Ayu, gimana sudah siap berangkat?” Mila memastikan rekan sepupunya itu sudah bersiap saat kami baru saja memasuki rumah mewah berukuran mini yang tertata rapi itu.
“Belum, ini masih bersih-bersih rumah, yang lain sudah siap?”
“Kami sudah siap meluncur menghabiskan sisa waktu liburan. Ini cuma nungguin kamu aja,” ujar Mila yang menatap ke arah televisi sambil menodong makanan yang tersedia dalam beberapa toples di lantai.
“Anis sama Zora mana, kok belum keliatan?”
“Nah, itu dia, mereka masih ada rapat paripurna di kampus. Setelah selesai mereka akan langsung menyusul kita kesini,” Yunis angkat suara sambil mengecek list barang dan memastikan tidak ada yang tertinggal.
“Baiklah, aku berkemas dulu, sebentar.”
“Buruan, kami juga masih mau ngabisin makanan ini dulu,” teriak Mila diikuti gelak tawa anak-anak. Mila memang rajanya makan, selalu saja ia mendapatkan waktu untuk bisa menikmati cemilan yang tersedia. Baginya, diet akan selalu dimulai esok hari. Yunis melempar tawa, Titan menatapnya tak percaya. Para wanita itu memang akan berlaku konyol jika sudah berkumpul. Selalu saja tidak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan dan berakhir dengan tertawa lebar diantara mereka.
Tidak lama berselang, semua anggota sudah lengkap. Setelah mengecek semua perlengkapan, kami pun berangkat menyusuri keramaian jalanan kota dan berbelok arah menuju pantai Drini. Mobil yang kami kendarai memang terbilang kecil tapi bisa menampung delapan manusia super konyol. Di depan ada aku yang menemani Chandra sang driver. Di barisan kedua ada Mila, Yunis, dan Ayu. Sementara Titan, Anis, dan Zora duduk di bagian belakang. Sama seperti sebelumnya, Mila akan selalu memulai canda, bahkan kali ini sepanjang perjalanan jurusnya begitu ampuh memancing pecahnya tawa dari kami semua. Titan, Anis, dan Zora cenderung lebih diam, mereka bisa berubah menjadi insan pendengar yang baik. Aku bisa menebak, ada dua kemungkinan mengapa mereka terdiam, karena mereka lebih junior atau karena ketiganya mulai diserang angin jahat yang mengundang rasa kantuk dan mabuk yang tak berkesudahan. Sesekali terdengar suara Anis yang memberikan petunjuk jalan yang akan kami tempuh menuju pantai. Ia sudah sangat hapal akan kondisi medan yang akan kami lalui, sebab ia sering melakukan perjalanan menyisir pantai untuk keperluan praktikum Biologi.
Hampir dua jam menikmati hijaunya pemandangan menuju pantai, mata kami seolah tak bosan menyaksikan kebesaran Tuhan. Betapa luar biasa nikmat yang telah Tuhan berikan dengan kehadiran alam yang memanjakan sepasang mata yang lelah dengan kehidupan perkuliahan. Bila kantuk mulai tiba, aba-aba sang pengemudi mobil dan penunjuk arah akan membangunkan kami. Mereka akan memberitahun bahwa sebentar lagi kami akan tiba di pantai yang indah, eksotik, dan juga tawaran tampilan sunset yang sangat dinanti-nanti oleh banyak manusia. Saat mobil belum terparkir sempurna, kami sudah berhamburan keluar, memandangi kawanan manusia yang melewati area pantai dan para juru parkir yang dengan telaten terus menata kendaraan yang memasuki daerah pantai.
“Kita mau mendirikan tenda dimana teman-teman,” Anis mencoba menarik perhatian kami yang masih sibuk dengan perlengkapan masing-masing.
“Ngikut aja deh, dimana yang bagus.” Teriak anak-anak kompak.
“Gimana kalau di atas sana aja, ada bukit yang bagus dan hijau,” aku menawarkan tempat sambil menunjuk kea rah perbukitan yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri saat itu.
Semua dara itu mengangguk. Aku membiarkan mereka menikmati pasir dan menanti sunset di pinggiran pantai. Sementara aku dan Chandra terus berjalan menaiki bukit melihat keadaan dan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Tidak lebih dari hitungan sepuluh menit, kami sepakat akan mendirikan tenda di sekitar bukit yang dekat dengan bibir pantai. Meski terletak agak jauh dari pusat keramaian, namun hal tersebut akan memberikan suasana yang berbeda. Sementara keenam dara itu asyik menikmati sunset yang begitu menawan mata, duo perjaka pun terus mendirikan tenda. Sebelum sunset berlalu sempurna, kami pun berkesempatan mengabadikan momen dalam balutan sinar mentari yang akan pergi menghilang. Cahayanya indah tak terkira saat terbalut dengan hijaunya pepohonan dan deburan ombak yang memang megah dipandang mata. Waktu maghrib tiba, tenda sudah berdiri, kami pun bergegas untuk menunaikan kewajiban dengan bergegas turun dari area bukit yang sudah semakin gelap karena ditinggal oleh sang surya. Hari berubah menjadi begitu sendu, saat bacaan fatihah menusuk kalbu, hening dalam balutan pengharapan. Titah Tuhan memang selalu menenangkan. Malam itu indah.
Tidak hanya berhenti sampai disitu. Keindahan malam kembali berlanjut saat kami berdelapan berbagi cerita sambil menanti hidangan santap makan malam tiba. Tidak ada kata malu unntuk mengeluarkan candaan dan diikuti oleh senyum dan tawa ramah. Kadang saling tatap karena sudah saling mengerti satu sama lain. Bahkan tidak ada kecanggungan untuk saling hina diikuti dengan pujian. Bak lagu Tulus, memuji teman tapi selalu diawali dengan hinaan. Karena bagi kami, saling puji itu biasa, bisa menghina tapi tak merasa direndahkan dan membuat orang lain bahagia adalah sebuah keharusan. Malam semakin gelap, dunia sudah tertutup sempurna dengan pekatnya malam tanpa cahaya. Bulan seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya, malam itu tiada bintang, karena kami berdelapan adalah bintang. Saat hari akan berlalu, tepat jam dua belas malam, mata kami dimanjakan aksi saling lempar kembang api. Tanda bahwa liburan kali ini menjadi awal yang indah untuk memulai aktivitas dan menatap masa depan. Sulit membendung gelak tawa saat itu, semua kata seolah terlempar dengan sempurna tepat mengenai sasaran. Kami saling berucap tentang profesi dan pengalaman untuk melanjutkan sisa catatan mimpi yang masih kami simpan. Kami bahagia memandang langit malam yang sepi tanpa pantulan cahaya rembulan. Binar-binar sayatan kilau kembang api masih menjadi tampilan terindah langit malam itu. Pantai Drini yang sepi berubah menjadi lautan mercon dan cahaya api mungil yang saling bersahutan satu sama lain. Tak berhenti kami mengucap syukur untuk setiap keindahan yang kami rasakan. Saat malam berlalu sempurna, setiap pasang mata sudah terlelap dengan alunan lagu merdu dari alam dan pantai yang tak bisa diam dengan deburan ombak yang meniupkan rasa dingin dan menuntut mata untuk terlelap lebih lama. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan kami dustakan, malam itu berlalu.

“Tolong fotoin kami dong, di sebelah sini, menghadap kesana,” terdengar suara para dara jelita yang sudah berjalan menyusuri pantai meski rintik hujan masih setia melaju menemani pagi tanpa sinar mentari itu berlalu.  Aku menyaksikan jiwa-jiwa itu bersinar bahagia melewati menit demi menit sebelum kami berbalik arah kembali menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa. Beberapa kali Chandra mengabadikan momen terbaik, ia memang photographer yang handal. Ditambah lagi dengan enam bidadari cantik yang siap menjadi model terbaik yang akan diabadikan dibalik kanvas hitam dalam catatan singkat sebuah perjalanan. Aku mengakui mereka memang sosok yang luar biasa, anggun dalam balutan rok dan naungan jilbab yang menjadikan mereka cocok diberi julukan muslim traveler. Mereka memberikan banyak warna, banyak cerita, dan juga banyak pelajaran dalam perjalanan ini. Kebahagiaan adalah saat bisa mengenal dan melihat mereka tertawa lepas. Saat keenam dara itu merasa lelah, kami berkemas, liburan singkat telah usai, kami berbalik arah, kembali!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...