Kamis, 17 Maret 2016

Menangis Dalam Diam

Gerimis turun menemani pagiku, menjelajahi satu persatu ruang yang masih gelap tanpa terpaan cahaya. Rumah masih sepi, aku duduk terdiam dalam lamunan. Tubuhku masih lelah, tak terhitung sudah berapa kali aku rebahkan di atas ranjang. Sepertinya aku memang butuh istirahat. Pagi ini tiada suara kicauan burung, kokok ayam pun sepi karena mentari belum juga terbit. Yang tersisa hanya suara reruntuhan rintik hujan yang membuat mata merasa sangat dimanjakan. Entah kepada siapa hujan ini menceritakan pilu, mendera satu jiwa yang susah untuk ditebak, gumpalan kabut asap masih setia menghinggapi atap rumah. Cuaca dingin membuatku malas keluar rumah untuk beraktivitas.
Hidup memang penuh misteri, rasanya baru kemarin bercengkrama bersama, hari ini aku sudah merasa sepi karena jiwa yang masih dirundung kegelisahan mendalam. Rona bahagia yang membuat hati selalu merasa senang, bisa begitu saja berubah menjadi lamunan panjang dan menyisakan keraguan, apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk bisa merasakan ketenangan hidup? Rahasia alam sungguh penuh kejutan, tanpa terpikirkan manusia bisa saja tersenyum penuh rona bahagia, namun dalam waktu singkat, itu semua bisa berubah menjadi nestapa. Aku masih ingat jelas, beberapa waktu lalu, ketika Dila mengajakkku ke rumah temannya, tak lama waktu bersela, aku menemukan kebahagiaan baru disana. Menunduk sambil mangut-mangut tersipu bahagia hingga tersadar saat Difa menepuk pundakku.
Pada suatu siang yang tak terasa terik, saat matahari masih bersembunyi dan terlihat malu-malu untuk menampakkan diri, masih dengan ditemani laju rindu dan asa ingin bertemu, aku termangu duduk tak bersila dengan setia menunggu hadirmu. Meski sesekali aku merasa terbata-bata mengharap kau hadir, namun batinku masih setia. Yakinku bahwa lelah itu akan mempertemukan kita. Dalam dekap sederhana, tak lelah aku menengadahkan kedua tanganku dan terus berharap bahwa kau akan hadir didepanku. Berharap setelah melihat wajahmu, akan menjadi memori indah penuh rona dalam hatiku. Aku rindu tutur sapamu, aku rindu tatapan matamu, hingga aku benar-benar rindu untuk bisa sekedar bertemu denganmu, meski hanya untuk melepas rindu. Aku rindu dengan semua cerita-cerita yang pernah kau beberkan saat kita bertemu, hingga aku benar-benar merindu untuk bisa menyandarkan semua bebanku di pundak gagahmu, Rangga.
Apakah aku terlalu berani merindukan sosok sepertimu, yang mungkin tak pernah terlintas dalam benakmu dan memikirkan hal yang sama seperti apa yang masih kupikirkan hingga saat ini. Apakah hanya aku yang berharap akhir kisah yang indah? Masihkah kau mengingat bayangan angan yang bersama kita hias dan kita sematkan dalam hati kita, aku semakin tak kuasa menahan tangisku. Memikirkanmu, berujar tentang seorang pendamping hidup yang hingga saat ini tak memberiku kabar, jauh hilang dibawa segudang kesibukan. Aku cemas dengan pikiran yang terkadang begitu rumit, mencari-cari alasan hingga kutemukan alasan untuk bertahan menantimu, menanti jawabanmu atas goresan noktak-noktah hitam yang akan menjadi hiasan masa depan kita. Meski sering kurasakan letih tak berkesudahan, namun bayanganmu tak bisa aku hapuskan, aku masih percaya kau akan menjawab semua mimpi-mimpi kita. Kadang hati kecilku merasa terendam terabaikan olehmu, namun aku tak bisa berbohong, jika aku masih saja setia menantimu datang kembali dengan jawaban yang sama, dengan takdir hidup yang bahagia. Jiwaku sungguh penuh lara, namun seketika ia hilang karena kau telah melukiskan noktah rasa indah yang menari-nari didalamnya. Sebahagia dan serumit inikah perasaan cinta?
“Sudahlah Anin, jangan kau aduk bahagia dan sedihmu, tidak baik. Biarkan saja dia berlalu, atau kau akan lebih menderita jika terus berharap padanya.” Suara Dila mengagetkanku saat masih duduk diam termangu tanpa ekspresi di ruang tamu. Entah sudah berapa jam aku melamun, mengingat lambaian kenangan masa lalu. Seperti tak cukup usia jika aku membayangkan itu semua.
“Salahkah jika aku berharap?” aku mencoba memberikan pembelaan diri.
“Tidak Anin, tidak ada yang salah.”
“Lalu, kenapa berkata demikian?”
“Aku ingin kau lebih dewasa dan terbuka dalam bersikap Anin. Tidak perlu kau rangkai kata-kata manis untuk menunjukkan kau sedang bahagia, bahagiamu jelas terlihat. Namun, kau harus lebih membuka matamu, lihat siapa yang kau harapkan. Bersandarlah pada pilihan yang realistis, ini bukan dunia dongeng Anin, bangun!”
“Maksudmu?!”
“Kau hanya perlu membaca setiap kemungkinan yang terjadi, jangan berharap lebih pada yang tak pasti. Itu justru akan melukai hatimu.”
“Tapi, aku berharap dia yang terbaik Dil, apa tidak boleh?”
“Mengharapkan yang terbaik akan selalu diikuti dengan usaha perbaikan diri, bukan melamun, tersenyum sendiri sepanjang hari. Apa kau sudi waktumu berlalu percuma?”
“Aku ingin dia akan menjadi pendamping yang baik, lantas mengapa itu terlalu diragukan. Salahkah jika tautan cinta ini dilanjutkan?”
“Haaah, harus berapa kali lagi aku bersaksi dihadapanmu Nin, jika ia memang milikmu, ia akan datang memberimu kabar baik, atau justru kau yang akan terluka dan terus menangisinya dalam diammu. Jangan terlalu berharap atas jawaban iya, karena takdir Tuhan, tak satu pun makhluk bisa menebaknya Nin.”
Nyessss, kalimat yang baru diutarakan Dila menghancurkan benteng pertahananku. Ia bisa menebak apa yang aku rasakan. Aku merasa tak kuat jika harus menunggu lebih lama. Sementara, kau masih saja terdiam, tak ada kabar yang kau berikan. Ornamen lampu indah dalam ruangan itu seolah jatuh berserakan saat mendengarkan apa yang diucapkan Dila. Beberapa kursi saling berlarian menyembunyikan diri dari keheningan. Semua yang ada disana diam, hanya aku yang masih setia dengan penantian dan sesekali berlirih hening dengan cucuran air mata tanpa suara. Harapan indah yang aku lukis dalam kanvas masa depan seolah hancur. Dekapan balutan rindu yang ingin kusampaikan padanya saat bersua mati secara tiba-tiba. Sayup-sayup rindang pohon dengan tiupan nakal membunuh satu persatu kerinduan yang aku simpan.
Sebulan sudah percakapanku dengan Dila berlalu, ternyata benar, tidak ada kabar baik yang aku tunggu. Kau justru menghilang tanpa bayangan. Semua harapanku sirna saat aku sadar jika penantian panjang yang kutempuh adalah sebuah kesalahan. Memikirkanku adalah sebuah luka yang akan terus menyiksa hingga nanti aku benar-benar bisa melupakanmu. Sering aku berpikir untuk menghapus semua anganku, namun hati ini tak bisa berbohong jika kau memang sosok yang masih aku harapkan. Dila, mungkin ia adalah sahabat yang sudah bosan mengingatku, tapi masih tetap pada pendirianku yang tak berasalan. Ia memintaku untuk membuka mata, aku justru tak menghiraukan permintaannya. Kini aku sadar, semakin aku jauh berharap, akan semakin sakit jika itu hanya sebuah keinginan yang tak mungkin terwujudkan.
Langit biru menutup mata, kabut tebal masih saja menjadi hiasan keabadian hari itu. Bumi tak lagi bersikap mesra, saat aku merasakan kehilangan dan sakit yang mendera waktuku berlalu. Namun, aku masih saja berujar dengan alasan sederhana, menghantui kehidupan seorang lelaki yang aku kira ia mencintaiku sepenuh hatinya. Semerbak harum mawar merah yang ia berikan seketika jatuh begitu saja. Janji-janjinya kini berguguran dan menyisakan sedikit rasa sakit dan pedihnya kecewa. Ah, misteri langit yang sulit kutebak dan kubahasakan dengan rangkaian kata memang selalu menusukku. Hingga, aku lupa bagaimana rasanya bahagia jika ia benar-benar datang memenuhi semua petuah hidupnya. Aku memang merasa sulit untuk melabuhkan cinta dengan sederhana, hingga tangisan tak bisa lagi kulerai. Meski terus berusaha menanti, namun aku sadar yang aku tunggu tak kunjung tiba. Sisa tawa itu kini berlalu, memberikan jejak baru berupa rasa sakit yang tak lagi kuhiraukan. Aku sudah terbiasa tergores luka dan tersadar bahwa pertemuan dengannya adalah sebuah ilusi belaka. Hasrat masa lalu yang begitu hangat dan memikat kini menyisakan air mata dalam catatan hidupku. Aku menghela nafas panjang. Aku sudah ikhlas dengan takdir Tuhan, meski harus melanjutkan kesedihan, meski harus tetap menangis dalam diam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...