Gerimis turun menemani pagiku, menjelajahi satu
persatu ruang yang masih gelap tanpa terpaan cahaya. Rumah masih sepi, aku
duduk terdiam dalam lamunan. Tubuhku masih lelah, tak terhitung sudah berapa
kali aku rebahkan di atas ranjang. Sepertinya aku memang butuh istirahat. Pagi
ini tiada suara kicauan burung, kokok ayam pun sepi karena mentari belum juga
terbit. Yang tersisa hanya suara reruntuhan rintik hujan yang membuat mata
merasa sangat dimanjakan. Entah kepada siapa hujan ini menceritakan pilu,
mendera satu jiwa yang susah untuk ditebak, gumpalan kabut asap masih setia
menghinggapi atap rumah. Cuaca dingin membuatku malas keluar rumah untuk
beraktivitas.
Hidup memang penuh misteri, rasanya baru kemarin
bercengkrama bersama, hari ini aku sudah merasa sepi karena jiwa yang masih
dirundung kegelisahan mendalam. Rona bahagia yang membuat hati selalu merasa
senang, bisa begitu saja berubah menjadi lamunan panjang dan menyisakan
keraguan, apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk bisa merasakan ketenangan
hidup? Rahasia alam sungguh penuh kejutan, tanpa terpikirkan manusia bisa saja
tersenyum penuh rona bahagia, namun dalam waktu singkat, itu semua bisa berubah
menjadi nestapa. Aku masih ingat jelas, beberapa waktu lalu, ketika Dila
mengajakkku ke rumah temannya, tak lama waktu bersela, aku menemukan
kebahagiaan baru disana. Menunduk sambil mangut-mangut tersipu bahagia hingga
tersadar saat Difa menepuk pundakku.
Pada suatu siang yang tak terasa terik, saat
matahari masih bersembunyi dan terlihat malu-malu untuk menampakkan diri, masih
dengan ditemani laju rindu dan asa ingin bertemu, aku termangu duduk tak
bersila dengan setia menunggu hadirmu. Meski sesekali aku merasa terbata-bata
mengharap kau hadir, namun batinku masih setia. Yakinku bahwa lelah itu akan
mempertemukan kita. Dalam dekap sederhana, tak lelah aku menengadahkan kedua
tanganku dan terus berharap bahwa kau akan hadir didepanku. Berharap setelah
melihat wajahmu, akan menjadi memori indah penuh rona dalam hatiku. Aku rindu
tutur sapamu, aku rindu tatapan matamu, hingga aku benar-benar rindu untuk bisa
sekedar bertemu denganmu, meski hanya untuk melepas rindu. Aku rindu dengan
semua cerita-cerita yang pernah kau beberkan saat kita bertemu, hingga aku
benar-benar merindu untuk bisa menyandarkan semua bebanku di pundak gagahmu, Rangga.
Apakah aku terlalu berani merindukan sosok
sepertimu, yang mungkin tak pernah terlintas dalam benakmu dan memikirkan hal
yang sama seperti apa yang masih kupikirkan hingga saat ini. Apakah hanya aku
yang berharap akhir kisah yang indah? Masihkah kau mengingat bayangan angan
yang bersama kita hias dan kita sematkan dalam hati kita, aku semakin tak kuasa
menahan tangisku. Memikirkanmu, berujar tentang seorang pendamping hidup yang
hingga saat ini tak memberiku kabar, jauh hilang dibawa segudang kesibukan. Aku
cemas dengan pikiran yang terkadang begitu rumit, mencari-cari alasan hingga
kutemukan alasan untuk bertahan menantimu, menanti jawabanmu atas goresan
noktak-noktah hitam yang akan menjadi hiasan masa depan kita. Meski sering
kurasakan letih tak berkesudahan, namun bayanganmu tak bisa aku hapuskan, aku
masih percaya kau akan menjawab semua mimpi-mimpi kita. Kadang hati kecilku
merasa terendam terabaikan olehmu, namun aku tak bisa berbohong, jika aku masih
saja setia menantimu datang kembali dengan jawaban yang sama, dengan takdir
hidup yang bahagia. Jiwaku sungguh penuh lara, namun seketika ia hilang karena
kau telah melukiskan noktah rasa indah yang menari-nari didalamnya. Sebahagia
dan serumit inikah perasaan cinta?
“Sudahlah Anin, jangan kau aduk bahagia dan sedihmu,
tidak baik. Biarkan saja dia berlalu, atau kau akan lebih menderita jika terus
berharap padanya.” Suara Dila mengagetkanku saat masih duduk diam termangu
tanpa ekspresi di ruang tamu. Entah sudah berapa jam aku melamun, mengingat
lambaian kenangan masa lalu. Seperti tak cukup usia jika aku membayangkan itu
semua.
“Salahkah jika aku berharap?” aku mencoba memberikan
pembelaan diri.
“Tidak Anin, tidak ada yang salah.”
“Lalu, kenapa berkata demikian?”
“Aku ingin kau lebih dewasa dan terbuka dalam
bersikap Anin. Tidak perlu kau rangkai kata-kata manis untuk menunjukkan kau
sedang bahagia, bahagiamu jelas terlihat. Namun, kau harus lebih membuka
matamu, lihat siapa yang kau harapkan. Bersandarlah pada pilihan yang
realistis, ini bukan dunia dongeng Anin, bangun!”
“Maksudmu?!”
“Kau hanya perlu membaca setiap kemungkinan yang
terjadi, jangan berharap lebih pada yang tak pasti. Itu justru akan melukai
hatimu.”
“Tapi, aku berharap dia yang terbaik Dil, apa tidak
boleh?”
“Mengharapkan yang terbaik akan selalu diikuti
dengan usaha perbaikan diri, bukan melamun, tersenyum sendiri sepanjang hari.
Apa kau sudi waktumu berlalu percuma?”
“Aku ingin dia akan menjadi pendamping yang baik,
lantas mengapa itu terlalu diragukan. Salahkah jika tautan cinta ini
dilanjutkan?”
“Haaah, harus berapa kali lagi aku bersaksi
dihadapanmu Nin, jika ia memang milikmu, ia akan datang memberimu kabar baik,
atau justru kau yang akan terluka dan terus menangisinya dalam diammu. Jangan
terlalu berharap atas jawaban iya, karena takdir Tuhan, tak satu pun makhluk
bisa menebaknya Nin.”
Nyessss, kalimat yang baru diutarakan Dila
menghancurkan benteng pertahananku. Ia bisa menebak apa yang aku rasakan. Aku
merasa tak kuat jika harus menunggu lebih lama. Sementara, kau masih saja
terdiam, tak ada kabar yang kau berikan. Ornamen lampu indah dalam ruangan itu
seolah jatuh berserakan saat mendengarkan apa yang diucapkan Dila. Beberapa
kursi saling berlarian menyembunyikan diri dari keheningan. Semua yang ada
disana diam, hanya aku yang masih setia dengan penantian dan sesekali berlirih
hening dengan cucuran air mata tanpa suara. Harapan indah yang aku lukis dalam
kanvas masa depan seolah hancur. Dekapan balutan rindu yang ingin kusampaikan
padanya saat bersua mati secara tiba-tiba. Sayup-sayup rindang pohon dengan
tiupan nakal membunuh satu persatu kerinduan yang aku simpan.
Sebulan sudah percakapanku dengan Dila berlalu,
ternyata benar, tidak ada kabar baik yang aku tunggu. Kau justru menghilang
tanpa bayangan. Semua harapanku sirna saat aku sadar jika penantian panjang
yang kutempuh adalah sebuah kesalahan. Memikirkanku adalah sebuah luka yang
akan terus menyiksa hingga nanti aku benar-benar bisa melupakanmu. Sering aku
berpikir untuk menghapus semua anganku, namun hati ini tak bisa berbohong jika
kau memang sosok yang masih aku harapkan. Dila, mungkin ia adalah sahabat yang
sudah bosan mengingatku, tapi masih tetap pada pendirianku yang tak berasalan.
Ia memintaku untuk membuka mata, aku justru tak menghiraukan permintaannya.
Kini aku sadar, semakin aku jauh berharap, akan semakin sakit jika itu hanya
sebuah keinginan yang tak mungkin terwujudkan.
Langit biru menutup mata, kabut tebal masih saja menjadi
hiasan keabadian hari itu. Bumi tak lagi bersikap mesra, saat aku merasakan
kehilangan dan sakit yang mendera waktuku berlalu. Namun, aku masih saja
berujar dengan alasan sederhana, menghantui kehidupan seorang lelaki yang aku
kira ia mencintaiku sepenuh hatinya. Semerbak harum mawar merah yang ia berikan
seketika jatuh begitu saja. Janji-janjinya kini berguguran dan menyisakan sedikit
rasa sakit dan pedihnya kecewa. Ah, misteri langit yang sulit kutebak dan
kubahasakan dengan rangkaian kata memang selalu menusukku. Hingga, aku lupa
bagaimana rasanya bahagia jika ia benar-benar datang memenuhi semua petuah
hidupnya. Aku memang merasa sulit untuk melabuhkan cinta dengan sederhana,
hingga tangisan tak bisa lagi kulerai. Meski terus berusaha menanti, namun aku
sadar yang aku tunggu tak kunjung tiba. Sisa tawa itu kini berlalu, memberikan
jejak baru berupa rasa sakit yang tak lagi kuhiraukan. Aku sudah terbiasa
tergores luka dan tersadar bahwa pertemuan dengannya adalah sebuah ilusi
belaka. Hasrat masa lalu yang begitu hangat dan memikat kini menyisakan air
mata dalam catatan hidupku. Aku menghela nafas panjang. Aku sudah ikhlas dengan
takdir Tuhan, meski harus melanjutkan kesedihan, meski harus tetap menangis
dalam diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar