Kamis, 17 Maret 2016

Atas Restu dan Cinta Mereka

Dulu, saat masih duduk di bangku SD, aku pernah bercerita bersama Alm. Bapak, bahwa ia memintaku untuk sekolah yang tinggi. Mungkin itu adalah percakapan terindah yang pernah aku lalui bersama beliau. Sebab, Bapakku adalah seseorang yang dingin, ia jarang sekali memuji anaknya, tapi soal pendidikan, ia tidak pernah main-main. Saat itu aku berjanji bahwa aku akan menjadi seorang sarjana dan akan melanjutkan kuliah hingga S2. Kembali lagi kuingatkan bahwa Bapak tidak pernah main-main dengan pendidikan anaknya, aku pernah dikunci di gudang karena tidak belajar, aku juga pernah dimarahi saat kelas 4 SD karena mendapatkan rangking 2. Bapak selalu ingin aku menjadi yang terbaik, aku tahu itu. Ketika duduk di bangku MTS, beliau berulang kali memastikan bahwa aku selalu menjadi siswa nomor satu di kelas. Seingatku, semasa MTS hingga Aliyah, dua kali aku mendapatkan juara umum tingkat sekolah dan ia diminta untuk maju ke depan menerima penghargaan di depan banyak orang, tapi ekspresinya biasa saja. Begitulah Bapak, kalau aku gak dapat rangking pertama, pasti dia merasa kecewa, tapi ketika aku menjadi yang terbaik, ia bersikap dingin. Aku sampai hapal betul, setiap kali dapat peringkat dibelikan hadiah sama kakak, tapi Bapak diam saja. Ketika kuliah juga demikian, berulang kali ikut lomba dan mendapatkan juara, tapi Bapak kecewa saat aku menjadi juara kedua atau ketiga, ia selalu berharap aku menjadi yang terbaik. Ada yang berbeda tiap kali aku menerima telpon darinya dan bertutur bahwa aku bukan yang terbaik. Didikan tidak main-main dengan pendidikan itulah membuatku terus berusaha memberikan yang terbaik, aku takut ia kecewa. Tapi, Tuhan berkata lain, sejak aku duduk di semester 4 jenjang sarjana, ia sudah berkali-kali berkata bahwa tubuhnya sudah lelah, ia ingin aku segera pulang. Berkali-kali juga ia bertanya kapan aku akan diwisuda. Hiruk-pikuk kehidupan kampus dan sibuknya berorganisasi serta pekerjaan membuatku lupa bahwa perkataan Bapak ternyata adalah sebuah tanda bahwa ia akan pergi ke alam berikutnya. Setelah mendaftarkan diri untuk mengikuti kegiatan KKN, Bapak kembali bertanya, “Kapan kamu diwisuda Nak, Bapak sudah lelah, cepat pulang.” Aku yang tidak paham tanda dan kode hanya berkata bahwa kurang lebih setahun lagi aku akan diwisuda. Di pertengahan KKN berlangsung, setelah sholat shubuh aku menerima telpon dari rumah bahwa Bapak sudah tiada, Bapak telah pergi. Padahal baru sehari sebelumnya beliau mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Yang ada hanyalah penyesalan, perasaan sedih, sayapku sudah tak sepasang lagi, satu sayap itu telah patah dan berlalu lebih awal. Hari dan bulan berlalu, 31 Mei 2014 saat prosesi wisuda, terasa sekali saat Bapak tak lagi bisa menyaksikanku dikukuhkan menjadi sarjana. Ia memang telah pergi jauh, tapi aku yakin ia menyaksikan anaknya yang sudah sampai di garis finish pertama, anaknya sudah menjadi sarjana. Dan setelah melewati proses panjang, Ibu akhirnya merestui anaknya ini untuk melanjutkan studi S2. Tepat di tanggal 20 Februari 2016, prosesi wisuda pun berlangsung, akhirnya janjiku untuk Alm. Bapak sudah aku tunaikan. Semua karena restu dan cinta keduanya, terutama Ibu. Di antara berbagai kebahagiaan dan rasa haru yang ada, bayangan Bapak dan Ibu yang selalu hadir dalam mimpi dan perjalanan panjang untuk merampungkan studiku. Betapa aku tak mungkin sampai di momen dan fase ini jika tanpa cinta dan restu keduanya. Betapa do’a Ibu selalu mengiringi langkah-langkah ini. Ibu memang hanya gadis kampung yang pendidikan formalnya tidak tinggi, tapi do’a dan cintanya untuk anaknya begitu mulia. Ia bahkan kadang nyaris lupa berdo’a untuk dirinya demi mendoakan anak-anaknya. Bagiku, Ibu adalah sosok inspiratif yang selalu ada dan menjadi pendukung paling setia untuk anaknya ini. Sosoknya adalah bintang paling terang di hati ini, hingga tak terhitung berapa kali air matanya jatuh saat menuturkan bahwa ia masih terus merestuiku untuk melangkah. Jika ada pujian dan penghargaan serta ucapan selamat untuk apa yang sudah aku raih selama ini, maka ucapan itu layak diberikan kepada kedua pahlawanku, Alm. Bapak dan Ibu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...