Dulu, saat masih
duduk di bangku SD, aku pernah bercerita bersama Alm. Bapak, bahwa ia memintaku
untuk sekolah yang tinggi. Mungkin itu adalah percakapan terindah yang pernah
aku lalui bersama beliau. Sebab, Bapakku adalah seseorang yang dingin, ia
jarang sekali memuji anaknya, tapi soal pendidikan, ia tidak pernah main-main.
Saat itu aku berjanji bahwa aku akan menjadi seorang sarjana dan akan
melanjutkan kuliah hingga S2. Kembali lagi kuingatkan bahwa Bapak tidak pernah
main-main dengan pendidikan anaknya, aku pernah dikunci di gudang karena tidak
belajar, aku juga pernah dimarahi saat kelas 4 SD karena mendapatkan rangking
2. Bapak selalu ingin aku menjadi yang terbaik, aku tahu itu. Ketika duduk di
bangku MTS, beliau berulang kali memastikan bahwa aku selalu menjadi siswa
nomor satu di kelas. Seingatku, semasa MTS hingga Aliyah, dua kali aku
mendapatkan juara umum tingkat sekolah dan ia diminta untuk maju ke
depan menerima penghargaan di depan
banyak orang, tapi ekspresinya biasa saja. Begitulah Bapak, kalau aku gak dapat
rangking pertama, pasti dia merasa kecewa, tapi ketika aku menjadi yang
terbaik, ia bersikap dingin. Aku sampai hapal betul, setiap kali dapat
peringkat dibelikan hadiah sama kakak, tapi Bapak diam saja. Ketika kuliah juga
demikian, berulang kali ikut lomba dan mendapatkan juara, tapi Bapak kecewa
saat aku menjadi juara kedua atau ketiga, ia selalu berharap aku menjadi yang
terbaik. Ada yang berbeda tiap kali aku menerima telpon darinya dan bertutur
bahwa aku bukan yang terbaik. Didikan tidak main-main dengan pendidikan itulah
membuatku terus berusaha memberikan yang terbaik, aku takut ia kecewa. Tapi,
Tuhan berkata lain, sejak aku duduk di semester 4 jenjang sarjana, ia sudah
berkali-kali berkata bahwa tubuhnya sudah lelah, ia ingin aku segera pulang.
Berkali-kali juga ia bertanya kapan aku akan diwisuda. Hiruk-pikuk kehidupan
kampus dan sibuknya berorganisasi serta pekerjaan membuatku lupa bahwa
perkataan Bapak ternyata adalah sebuah tanda bahwa ia akan pergi ke
alam berikutnya. Setelah mendaftarkan
diri untuk mengikuti kegiatan KKN, Bapak kembali bertanya, “Kapan kamu diwisuda
Nak, Bapak sudah lelah, cepat pulang.” Aku yang tidak paham tanda dan kode
hanya berkata bahwa kurang lebih setahun lagi aku akan diwisuda. Di pertengahan
KKN berlangsung, setelah sholat shubuh aku menerima telpon dari rumah bahwa
Bapak sudah tiada, Bapak telah pergi. Padahal baru sehari sebelumnya beliau
mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Yang ada hanyalah penyesalan, perasaan
sedih, sayapku sudah tak sepasang lagi, satu sayap itu telah patah dan berlalu
lebih awal. Hari dan bulan berlalu, 31 Mei 2014 saat prosesi wisuda, terasa
sekali saat Bapak tak lagi bisa menyaksikanku dikukuhkan menjadi sarjana. Ia
memang telah pergi jauh, tapi aku yakin ia menyaksikan anaknya yang sudah
sampai di garis finish pertama, anaknya sudah menjadi sarjana. Dan setelah
melewati proses panjang, Ibu akhirnya merestui anaknya ini untuk melanjutkan
studi S2. Tepat di tanggal 20 Februari 2016, prosesi wisuda pun berlangsung,
akhirnya janjiku untuk Alm. Bapak sudah aku tunaikan. Semua karena restu dan
cinta keduanya, terutama Ibu. Di antara berbagai
kebahagiaan dan rasa haru yang ada, bayangan Bapak dan Ibu yang selalu hadir
dalam mimpi dan perjalanan panjang untuk merampungkan studiku. Betapa aku tak
mungkin sampai di momen dan fase ini jika tanpa cinta dan restu keduanya.
Betapa do’a Ibu selalu mengiringi langkah-langkah ini. Ibu memang hanya gadis
kampung yang pendidikan formalnya tidak tinggi, tapi do’a dan cintanya untuk
anaknya begitu mulia. Ia bahkan kadang nyaris lupa berdo’a untuk dirinya demi
mendoakan anak-anaknya. Bagiku, Ibu adalah sosok inspiratif yang selalu ada dan
menjadi pendukung paling setia untuk anaknya ini. Sosoknya adalah bintang
paling terang di hati ini, hingga tak terhitung berapa kali air matanya jatuh
saat menuturkan bahwa ia masih terus merestuiku untuk melangkah. Jika ada
pujian dan penghargaan serta ucapan selamat untuk apa yang sudah aku raih
selama ini, maka ucapan itu layak diberikan kepada kedua pahlawanku, Alm. Bapak
dan Ibu.
Jika bisa bermanfaat di usia muda, lalu mengapa menunggu tua? Kita adalah apa yang kita kerjakan, kita dengarkan, dan kita katakan berulang-ulang. Don't be same, be better! Blog ini berisi mengenai keilmuan HI, motivasi perjalanan hidup, pengalaman, dan tulisan cerpen. Semoga bermanfaat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Krisis Hubungan Diplomatik Meksiko – Ekuador
Krisis diplomatik antara Meksiko dan Ekuador yang baru saja terjadi merupakan peristiwa yang memperlihatkan kompleksitas hubungan antarneg...
-
Diplomasi koersif merupakan salah satu dari banyak jenis diplomasi yang masih terus eksis hingga saat ini. Karakter dari diplomasi ini a...
-
Negosiasi merupakan suatu proses komunikasi dimana terdapat dua pihak dengan sudut pandang yang berbeda yang berusaha menyamakan persepsi da...
-
Konflik merupakan tindakan yang menghalangi, mengganggu, dan menghambat pihak lain. Konflik bisa terjadi di kelompok masyarakat atau pun l...
-
Salah satu kegunaan dari teori dalam studi hubungan internasional adalah untuk pengetahuan kontemplatif yang diturunkan dari tatanan dasar d...
-
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang selalu dalam keadaan baik-baik saja. Setiap orang yang masih bernafas, mereka hidup dan berjuan...
-
Agar dapat memetakan fenomena mengenai subjek dan objek analisis dalam studi hubungan internasional, diperlukan adanya indikator yang dija...
-
Tidak perlu resah ketika keluarga dan sanak kerabat tidak mendapatkan ranking satu, tapi resahlah ketika mereka justru telat bangun untuk sh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar