“Malam, sedang apa
yang di sana? Sudah makan belum?” Ali mengirimkan pesan singkat itu. Seketika
yang terbayang di pikirannya adalah wajah orang yang ia cinta. Di seberang
sana, tidak terlalu jauh. Namun, malam ini rindu itu datang mendekat. Masih mendekap,
tidak berkenan pergi. Bayangan wajahnya yang manis begitu merasuki relung qalbunya.
Ali masih menanti ada SMS balasan. Jarum jam sudah menunjukkan angka satu.
Sudah dini hari, Ali mengerutkan dahinya seraya menarik selimut. Beberapa menit
kemudian, HP itu bergetar,ada SMS masuk.
Duduk tegak sambil tersenyum memandangi layar HP. Ali yakin itu adalah
balasan SMS dari kekasihnya, Erna. Memencet keypad HP, ia terkejut. Itu bukan
SMS dari Erna, melainkan SMS dari operator.
“Huh, sudah malam
begini masih belum ada balasan. Kemana kamu sayang?”
Mengharapkan menerima
sapaan dari yang tersayang, malah SMS operator tidak tahu diri yang ia terima.
Segera ia hapus pesan itu. Kembali ke tempat tidurnya. Malam itu berlalu…
“Maaf sayang, semalam
pulang kuliah langsung tidur, capek banget. Maaf ya? Sayang lagi ngapain?”
Ali senang, SMS yang
baru ia baca adalah SMS dari orang terkasihnya. Ternyata semalam ia lelah
setelah seharian di kampus. Ali memaklumi hal itu.
“Gak ada, cuma
duduk-duduk aja di kamar nih. Sudah sarapan belum?”
“Sudah sayang. Kamu
juga jangan lupa sarapan ya…”
“Iya, sebentar lagi
aku juga sarapan kok. Nanti sore aku pulang. Mau pesen apa Dinda?”
“Gak usah deh, aku
pesen kamu aja sama pak sopirnya. Tolong dijagaian sampe rumah. Kamu pulang aja
aku udah seneng banget. Ntar aja kalo udah di rumah kita main ya sayang.”
“Siap Ibu bosss”*
“Sayang, bulan depan
kan hari jadi kita. Kita mau ngerayain di mana?” Erna bertanya sambil duduk di
belakang, memperhatikan Ali yang sedang menyetir motornya. Seperti pasangan
yang lain, tanggal itu akan menjadi momen teristimewa sebagai waktu untuk
menggantungkan pinta agar semua berjalan seperti yang diharapkan.
“Di rumah aja gimana?
Gapapa kan sayang?” tanya Ali sambil memberhetikan motor ber-plat AE itu ketika
sampai di parkiran Mall besar dengan empat lantai itu. Setelah berjalan
beberapa saat, Ali berhenti dan memalingkan wajah kearah kekasihnya seraya
berkata “Aku sungguh mencintaimu sayang. Maukah kau berjanji untuk selalu
menemaniku menghabiskan sisa waktu dalam hidup kita? Apakah aku salah jika
berharap dirimu menjadi yang terakhir dalam pencarian panjangku? Mengapa kau
mau menjadi milikku?”
“Kamu kenapa sayang,
kok seperti ada yang aneh nih. Gak biasanya kamu bicara seperti ini.”
“Aku pernah merasakan
kesedihan yang mendalam ketika dulu aku ditinggalkan oleh orang yang aku
sayangi. Pernahkah kau merasakan hal yang sama sayangku? Tersayat kesedihan
mendalam ketika masih berharap ia akan datang kembali. Sendu melekat terlalu
lama. Kemudian kamu datang menjadi obat penawar lukaku. Berjanjilah untuk tetap
setia bersamaku sayang. Menjadikanku yang teristimewa meski aku pernah
menggoreskan luka di hatimu. Dalam pejam mataku, aku pernah meratap terlalu
dalam. Menginginkan mentari datang menghangatkan. Kemudian itu menjelma dengan
hadirnya dirimu sayang. Pekat malam menjadikanku sadar bahwa luka itu tidak
selamanya ada, karena kamu hadir untuk menyeka setiap goresan luka yang pernah
aku rasakan.”
“Sayang, kamu kenapa
lho. Kok tumben kamu kayak gini? Ada apa sayang, ceritalah sama aku. Ntar aku
jadi sedih lho kalo kamu kayak gini. Sudah yuk nyari tempat dulu. Gak enak kan
diliatin banyak orang yang lewat. Ntar mereka mengira kita sedang berantem
lagi.”
Erna menuntun
kekasihnya menuju pelataran Mall besar itu, menaiki eskalator dan memandang ke
setiap arah yang nyaman untuk mereka berbicara kala itu. Erna bingung, entah
apa yang terjadi pada Ali. Sungguh tidak seperti biasanya Ali berbicara panjang
lebar seperti yang ia ungkapkan tadi. Malam ini Ali berbeda dari malam-malam
yang telah lalu.
“Ada apa to sayang,
kamu kenapa sebenarnya malam ini? Gak biasanya lho kamu begini.”
“Maukah kamu menjawab
tanyaku sayang, kenapa kamu mau menerimaku sampai sejauh ini? Apa yang kamu
harapkan dari aku. Bukankah banyak insan yang lebih dari aku?”
“Tak perlu mencela
kesepian yang telah berlalu, jalani saja. Pernahkah kamu sadar sayang bahwa
kamu tidak pernah sendiri. Cobalah lirik sekitar, tidak akan ada lagi sepi
mengantarkan nestapa dalam hidupmu. Sadarlah, kamu tidak pernah sendirian
sayang. Ada aku di sini untukmu. Bukalah matamu sayang, sungguh kesepian tidak
akan pernah datang menghampirimu lagi. Ijinkan aku menjadi bagian canda tawa
yang akan selalu ada untukmu. Menemani hari panjang yang akan kita lalui
bersama. Ijinkan akau menguatkan langkahmu, menjadi sendi yang kuat untuk
setiap lelah yang datang mendekatimu. Percayalah, aku akan selalu ada di sini
untukmu, menemani harimu berlalu dengan senyum dan tawa bahagia.”
“Benarkah semua itu
sayang, untuk apa kamu melakukan semuanya?” Ali tak henti menatap mata
kekasihnya dengan pandangan yang begitu dalam. Tak lelah ia menanti Erna
memberikan jawaban untuk setiap pertanyaan singkat yang ia utarakan
dihadapannya.
“Biarkan aku menjadi
awan yang akan menjadi pelindung panasnya harimu sayang, menjadi puisi-puisi
indah yang selalu hadir di balik kesedihanmu, menjadi teman dalam segala
aktivitasmu. Tak perlu kamu ragu, aku akan menjaga setiap kepingan hati yang
aku punya hanya untuk dirimu seorang pujanggaku. Kamulah yang tersayang dan
begitu aku harapkan penjadi pendamping hidupku. Teguklah setiap momen terindah
dari perjalanan kisah ini agar kamu yakin bahwa aku tidak akan pernah
berpaling, lari meninggalkanmu sayang.”
Cinta, menghilangkan
arus keheningan. Mengugurkan desiran embun gelisah kehidupan. Cinta, berkisar
antara rindu dan kesepian yang terobati sempurna. Cinta menjadikan Ali Ashad
berbenah. Bersama Erna Dwi Astuti lah cinta mengajarkan hidup untuk tabah. End!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar