Selasa, 30 September 2014

Wira dan Iwana (Buat Yang Tersayang Jangan Coba-coba)

“Kamu ingat kan sudah berapa lama kita berjalan bersama sayang? Ingat gak kapan pertama kali kamu memutuskan untuk menerima aku sebagai kekasihmu? Sudah lama sekali kan? Maukah kamu memberitahuku, kenapa kamu tidak memilih lelaki yang lain Iwana,” tanya Wira yang sedang duduk manis di sampingnya terlihat penasaran. Sambil menyunggingkan senyum kecil merekah indah, Iwana tersipu malu ingin menjawab pertanyaan itu.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu my Prince? Sudah lama sekali kejadian itu, kok baru tanya sekarang? Terus dari dulu kamu gak tau kenapa aku memilihmu? Huhuhu, kamu ini ya,” Iwana malah menodong Wira dengan pertanyaan baru. Iwana masih terlihat malu menjawab beberapa poin pertanyaan yang diungkapkan Wira lebih awal. Wajahnya tertunduk sambil memainkan bolpoin yang ia genggam.
Wira tampak canggung ingin berbicara. Tapi ia takut jika kekasihnya itu marah. Ia jarang sekali menundukkan pandangannya. Mungkin Iwana malu karena ada banyak pasang mata yang sedang menyaksikan mereka. Tempat rindang di bawah pohon kelapa itu adalah tempat favorit yang mereka pilih untuk menikmati waktu bersama jika waktu libur tiba.  Heran saja siang ini, mengapa mereka tiba-tiba membicarakan awal pertemuan itu. Peristiwa 06-07-08 itu sudah sangat lama berlalu. Seperti ada kerinduan yang hinggap, melekat kemudian tidak ingin terpisahkan dari keduanya.
“Sayang, kok gak dijawab sih,” pinta Iwana manja sambil mengambil pasir dan melemparkannya ke arah lelaki berkulit sawo matang itu.
“Punya aku juga tadi belumdijawab kan?” Balas Wira.
“Jawab punya aku dulu sayang, setelah itu akan aku jawab panjang lebar pertanyaanmu, jujur!”
“Iya deh, aku yang jawab duluan. Biar senang hati dokter mudaku ini. Tapi, senyum dulu donk, jangan murung gitu ah.”
Seraya Iwana mengembangkan senyumnya. Kecil tapi sangat bernilai bagi Wira.
“Udah buruan jawab sayang, ngambek lagi ntar akunya, mau kamu tanggung jawab?”
“Tuh kan mulai deh dia nih. Aku bingung lho mau jawabnya kayak gimana ini.”
“Gak pake lama, titik.”
“Aku gak nyangka aja kalau kita bisa bersama terus dari dulu sampai sekarang. Masih banyak to lelaki yang lebih baik dari aku, tapi aku merasa istimewa karena kamu mau menerima cintaku. Aku rasa kamu juga pasti mengerti bagaimana teman-teman sekolah kita memandang hubungan kita ini. Kamu yang anak kesayangan dulu di sekolah, terus tiba-tiba memiliki hubungan sama aku yang tidak terpandang sama sekali kala itu. Sadar gak gimana orang lain memandang kita saat itu. Pastinya, dulu itu kita jauh berbeda lah sayang, tapi rasa cinta yangmenjadikan kita bisa seperti sekarang ini kan? Sudah lama sekali itu, tapi rasanya kalau kamu gak ada, kok aku jadi rindu ya?”
“Huh, paling juga cuma gombal doang di depan aku, bilangnya rindu, kangen bla bal bla.”
“Nah kan, kamu kalau dibilangin mesti gak percayaan. Minta dicubit nih kayaknya.”
“Bukan gak percaya sayang, aku juga pengen denger langsung lah dari kamu. Kan biasanya kita cuma lewat BBM aja. Sekarang aku udah denger langsung nih, hehehe.”
Wira menyeruput es kelapa muda itu. Dahaga dan lelahnya seketika hilang setelah mendengarkan ungkapan Iwana, kekasihnya itu.
“Terus, punya aku gak dijawab nih pertanyaannya? Beneran?”
“Hehehe, gak usah aja ya sayang, kan sudah jelas semuanya.”
“Apanya yang jelas? Pake semuanya lagi. Aku pengen tau juga dokter mudaku, jawab yaa,” pinta Wira sambil merayu Iwana.
“Mungkin kamu pernah terasingkan dalam kehidupan kita dulu sayang. Mencari satu arah kebahagiaan tapi tidak kunjung kamu temukan. Menatap langit biru yang seolah hampir runtuh karena pintamu itu tak terkabulkan. Mengalami masa-masa sulit yang merajai keseharian dengan penuh gundah gulana yang memuncak. Di saat itulah, Tuhan memintaku menjadi teman dari sepimu. Menjadi arah kebahagiaan yang kau impikan. Menjadi pelengkap dari kekurangan yang kita miliki. Saat itulah pintamu telah dikabulkan. Masa-masa sulit itu telah usai sayangku. Sepi itu perlahan mati dengan canda yang kita ciptakan bersama. Memilihmu, adalah kebahagiaan tersendiri yang aku rasakan saat itu hingga kini. Mungkin bosan, tapi tanpamu hari-hari berlalu seperti tak memiliki dimensi. Kamu yang terindah. Tidak peduli orang lain berkata apa tentang kisah kita, toh yang menjalaninya kita, bukan mereka. Biarlah mereka memberikan komentar, yang terpenting kita selalu bahagia bersama.”
Wira terdiam, ia tak menyangka jawaban Iwana begitu membuatnya istimewa kala itu. Ibarat sedang merasakan dingin di musim penghujan, Iwana datang dengan selimut tebal untuk menghangatkan kekasihnya itu. Seperti malam yang gelap tanpa bintang, Iwana hadir menjadi rembulan yang selalu menjadi penerang. Iwana hadir menepis semua keraguannya selama ini. Berhentilah mencinta jika masih ragu. Leraikanlah segala rasa bahagia yang sederhana tanpa tapi yang harus selalu muncul membayangi setiap kisah yang ada. Ketakutan adalah lumrah, romansa cinta akan selalu indah jika dibangun dengan rasa percaya dan berusaha untuk saling setia. Tumpukkan pasir halus itu menjadi saksi cerita singkat mereka hari ini. Iwana Anny Rakhmawati, sempurnalah segala cinta dan anganmu bersamanya, Wira Utama Putra. Berjalanlah bahagia, berdampingan hingga akhir cerita dari alam semesta ini menyapa. End!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...