Selasa, 30 September 2014

Lagu Rindu Grafourni #Part 1

“Aku akan terus berdiri di sini hingga senja usai tertutup awan malam dengan sempurna. Aku akan tetap menanti mereka hingga hati ini merasa lega atas semua rindu yang aku simpan. Tidak akan lelah aku menanti mereka datang menyapaku, mereka akan tetap aku rindukan.” Kata-kata itulah yang selalu diulangi Idham sejak adzan ashar usai. Cukup lama berlalu, namun ia masih saja tetap mengulangi kata itu. Rindu terlalu dalam untuk diungkapkan, sehingga rasa lelah menanti pun sudah menjadi keharusan. Baginya tidak masalah menunggu lama, asal kepingan kenangan itu kembali tersusun. Tidak peduli seberapa lelah, ia akan menanti sahabat-sahabat karibnya datang, kemudian bersua dalam mesranya pertemuan yang sudah lama ia nantikan.
“Bagaimana kau memaknai kerinduan itu Idham,” tanyaku penasaran. Aku ingin ia menoleh dan berhenti mengulang kata-kata yang sedari tadi ia ucapkan.
“Aku hanya kembali bertemu dan mengulang masa-masa indah itu. Kau tahu bukan, terlalu banyak kenangan yang sudah kita tuliskan bersama. Ia kadang datang menghujamku, menghunusku hingga tersayat pada larutnya malam. Sungguh aku rindu hangatnya kebersamaan kita dulu,” Idham berkata sambil terus memandangi jalan raya yang ramai dilalui kendaraan dalam balutan senja sambil menanti kedatangan Vina, Herman, Deka, Andi, Yusra, dan Fatwa.
“Bagaimana kalau mereka tidak datang, apakah kau akan terus menanti mereka?”
“Tidak, aku yakin mereka pasti datang. Aku yakin mereka juga pasti merindukanku,” jawab Idham serius.
Langit senja sudah berlalu, malam sempurna pekat, kemudian mendung berawan. Bintang enggan datang dengan pijar cahaya terang. Mungkin rembulan ingin datang mendekat, namun bintang menyarankan untuk mundur. Keduanya kalah oleh rindu yang mengetuk tiap dinding hati yang dimiliki Idham. Jiwa itu sungguh merindu. Aku pun berdo’a, berharap keenam temanku itu akan datang. Saat rindu, kenangan begitu jelas datang mendekat, tumpukan tawa usil menggoda, menabur ingatan penuh suka. Bahkan, tak jarang karena rindu juga seseorang harus ikhlas ditemani air mata. Semua begitu sulit untuk diungkapkan.
“Tidakkah kalian tahu, malam ini aku mengenang setiap kepingan kenangan tentang kebersamaan kita dulu teman. Tentang tumpukan setiap benih cerita dalam setiap derap perjalanan kita. Tentang canda tawa yang dulu selalu menghiasi hari kita,” suara Idham terdengar lirih. Ia masih setia berdiri tegak di halte Trans Jakarta itu.
Aku hampir saja berpikir bahwa memang mereka tidak akan datang malam ini. Huh! Menunggu memang sesuatu hal yang tidak asyik untuk dijalani. Tapi, kali ini aku ikhlas demi Idham teman baikku. Idham mulai mondar-mandir dengan dada yang mungkin sesak dan rasa pusing yang tidak tertahan. Sedari tadi ia terus berdiri, menatap setiap angkot yang lewat. Berharap bahwa yang ditunggu akan tiba, tapi tidak. Langkah kedatangan mereka masih belum terlihat. Aku duduk termangu sambil mendekap lutut. Lelah dan panasnya ibukota membuatku tak kuat berlama-lama di tempat ini. Jika mereka tiba, ingin rasanya segera bergegas dan memasukkan badanku ke dalam kulkas agar kembali segar. Entahlah, mengapa mereka belum juga tiba. Malam semakin larut.
“Eh, beneran nih mau nungguin sampai mereka tiba? Sudah malam lho.” Aku memberanikan diri bertanya pada Idham yang masih saja bertahan menanti mereka. Perutku sebenarnya sudah lapar, seharian ini aku belum makan. Itulah alasan kenapa aku ingin cepat pulang.
“Kalau kau sudah lelah, pulang saja duluan Alunaza. Aku di sini nungguin mereka sendirian juga gapapa kok. Beneran, kalau mau pulang, pulang aja duluan.”
“Yakin gapapa diting…. Belum selesai aku bertanya, suara Vina dan Deka terdengar jelas.
“Hei Idham, Alunaza kami dataaaaaaaang…..”
Idham menyunggingkan senyumnya. Ia jauh lebih baik ketika sudah menyaksikan kedatangan teman-teman. Luapan senyum yang sepertinya sudah dari tadi ia siapkan untuk menyambut sosok yang sangat ia rindukan.
“Idhaaaaaam, kau menunggu berapa lama? Tadi macet soalnya, kau taulah bagaimana ibukota. Maafkan kami ya?” todong Andi dan Yusra yang terlihat mendekat.
“Iya gapapalah, santai aja, buat kalian apa sih yang gak?” Idham tertawa terkekeh.
“Emang becek banget kamu Idham ya? Becek, becek…” suara Vina yang khas memecah kesunyian halte tempat Idham berjam-jam menanti.
“Gimana kabar Cek yoh, jangan bicara sama mereka terus. Sama kami sesekali kenapa?” Herman tak mau ketinggalan peran.
“Iya Cek woi, hana Vina, Deka dor yoh. Kami seseger iyyyoh. Ko ni ati geh, macet,” Fatwa pun ikut ambil bagian dialog singkat di saat mereka sedang lelah malam itu. Lelah melalui perjalanan panjang dari Aceh hingga sampai di ibukota. Lelah yang seketika memudar karena pertemuan dan tawa yang begitu melegakan dada. Terutama bagi Idham yang menanti lama.
“Hahaha, kan sehat terus aku Man, Fatwa, seperti yang kalian lihat saat ini, tidak kurang suatu apapun.”
“Kau yakin Ham tidak kurang suatu apapun? Bagaimana jika tadi mereka tidak datang? Lantas kau kembali dengan jiwa sepi? Apa masih sehat?” tanyaku penasaran.
“Yoh Alunaza ni mitet wen, ni kami udah sampe woi. Jadi, mana mungkin Idham tu sedih lagi. Lagian kami pun memang pengen maen-maen kesini yoh, sekali-kali kan? Bukan begitu Abang Yusro?” Herman menjawab penuh semangat.
“Oh yaudah kalo gitu, ayo cepat naik ke mobil. Kakek sudah menunggu kalian di Bambu Apus. Nanti aja cerita lagi kalau sudah sampai rumah,” lanjutku sambil mempersilakan mereka naik ke mobil APV merah tua milik Kakek.
Saat diam waktu dirasa begitu lambat berjalan. Seolah malam mengajak semesta untuk berhenti berputar karena sedih yang belum pulih. Hening malam begitu mengusik karena tak kuasa mengusir lamunan. Mengingat bahwa kenangan adalah tulisan kerinduan mendalam. Ketika pertemuan tiba, terasa cepat waktu berlalu. Menyembunyikan sayu-sayu dekapan mesra dalam balutan tawa lepas tak terhingga. Senyum, bahagia, canda, semua datang melengkapi simfoni relung kebersamaan. Semua bak kesatuan utuh yang akan tetap riuh bahkan terasa tidak akan pernah runtuh terbuang jauh. Menanti lama tidak lagi menjadi alasan untuk kecewa. Karena dekap hangat telah menghapus segala luka yang sedari tadi menganga.
Malam itu adalah malam awal yang paling berkesan yang pernah kami alami. Berkumpul kembali setelah sekian lama terpisah oleh arus kesibukan hidup dan perjuangan dalam penggapaian mimpi.  Perjalanan menuju Bambu Apus pun tidak terasa berlalu. Tepat jam sepuluh malam, Kakek menyambut kami di ruang tamu mewah itu. Setelah bersalaman, aku mengantarkan mereka menuju kamar tidur di lantai dua. Aku juga memberitahu mereka bahwa Kakek masih di ruang tamu menunggu mereka. Itu adalah malam pertama Kakek makan terlambat. Ia ingin menanti cucu-cucunya dan menikmati makan malam bersama. Tidak lama berselang, Fatwa, Herman, Yusra, Andi, Vina dan deka sudah duduk di hadapan Kakek. Menu makan malam kali itu juga spesial, sambal Depik Gayo, Cicah Agur serta ikan laut yang dibeli Bibi dari pasar sore tadi. Itu adalah malam terspesial bagi Kakek, karena sudah lama Kakek tidak bertemu dengan teman-teman. Aku, Idham dan keenam temanku saling pandang kemudian jatuh dalam tawa lepas tak terbilang. Ini adalah kejutan Tuhan. Jarang sekali kami merasakan. Dan mereka tahu,kejutan itu selalu menyenangkan. Langit malam semakin pekat, jarum jam juga telah lelah berdetak. Malam itu berlalu…
"Pagi ini kalian mau main kemana Cu,” tanya Kakek sambil mengecilkan volume televisi yang berada tidak jauh dari tempat duduknya.
“Kami mau main ke Ancol, Dufan, sama Monas Kek. Ifan, Darman, Feri, Qamah, Izal, Udin, Hari, Iwan, Liza, Ikhwan, Icha, Kiki, Rahma, Ayu, Rika, Ela, Leli, Sofi, Soli, Masni, Puput sudah nunggu di sana. Mereka sudah menyewa dua mobil dan nanti akan singgah kesini Kek.”
“Teman-teman sudah pada siap untuk berangkat,” Nenek melanjutkan.
“Sudah Nek. Nenek sama Kakek mau ikut juga?” tanyaku.
“Tidak usah, Kakek sama Nenek di rumah saja. Ini kan waktunya kalian yang masih muda-muda. Ajak mereka keliling sampai puas ya Cu. Nanti biar Pak Ozan yang mengantarkan kalian. Biayanya sudah Kakek berikan sama Pak Ozan juga.”
“Iya Kek, kalau gitu kami berangkat dulu yaa…”
“Iya, hati-hati bilang sama teman-temannya.”
“Okee Kakek, assalamu’alaikum…”
“Waalaikumsalam…”
Mobil APV itu kini melaju kencang. Bersama Pak Ozan kami menelusi jalan panjang untuk bisa sampai di Monas, Ancol dan Dufan. Rekan yang lain sudah menanti kami di sana. “Seperti apa ya raut wajah mereka? Sudah lama sekali kami tidak bersua.”
Suasana mobil itu tidak pernah sepi. Tawa riang memecah setiap laju mobil di setiap sudut jalan raya ibukota itu. Semua yang ada di dalamnya hadir dengan sesuatu yang khas seperti dulu ketika kami masih duduk di jenjang MA. Hanya Pak Ozan saja yang terlihat diam dan sesekali tertawa menyaksikan tingkah kami yang apa adanya.
Deka membual dengan banyaknya deretan cerita yang ia punya. Mulai dari setelah lulus MA hingga sekarang sudah hampir menjadi seorang ibu rumah tangga. Vina yang bercengkrama bersama Idham dengan suara mereka yang khas juga menjadi pengisi ruang bahagia. Belum lagi Herman dan Yusra yang hadir dengan tingkah konyolnya. Sampai teringat ketika dulu Herman berkata “Item my titik titik…” Kemudian Yusro yang suka bilang “Pintutu wen, lipatkan ranjang tu, di asrama adzan sampe masjid udah muadzin, jadi ketua itu ada susah ada payahnya. Sumpah, pecahlah tawa kami, tidak tertahankan. Berulang kali kami terbahak-bahak. Berjam-jam kami melalui perjalanan namun tidak terasa, Dufan sudah di depan mata. Ketika kami turun, terlihat Ifan, Sofi, Rahma, Leli, Darman, Iwan, Ayu, Kiki, Icha, Liza yang sudah menanti kami di gerbang masuk. Saling mendekat dan berpeluk erat menggenggam tangan penuh hangat. Akhirnya Tuhan mempertemukan kami di sini. Mereka semua kini sudah tambah dewasa. Raut-raut wajah itu sudah mulai berubah menjadi sosok yang semakin matang untuk menatap masa depan.

Aku terharu memperhatikan mereka yang saling melepas rindu. Berujar tentang kata yang tidak lagi menjadi rahasia. Menikmati wahana indah Dufan dan bercengkrama seperti dulu. Masa itu memang sudah berlalu lama. Tapi, kami selalu menyimpan banyak hal untuk kami ungkapkan ketika ada waktu luang untuk saling sapa. Sesibuk apapun aktivitas kehidupan kami, selalu ada celah untuk menumpuk rindu dan meluapkannya melalui temu seperti sekarang. Tornado yang ada di Dufan itu sepertinya kaget ketika kami dekati, karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti
yang kami lakukan. Tiap langkah kami abadikan dengan potret sinar kamera. Jurus-jurus narsis seketika membuncah meminta diri untuk menemani perjalanan kami. Real Coster adalah tempat kami berteriak sekencang mungkin untuk menghadirkan kembali kisah masa silam yang telah kami lewati. Ancol menjadi saksi kisah indah yang kami alami. Tidak ada kata malu, sungkan atau jaim lagi kala itu. Semua bertingkah lepas seperti keluarga sendiri. Belum lagi Kiki, Ayu, Icha, Puput, Ifan, Darman, Ikhwan, Izal, Liza, qamah, yang berpose seperti artis papan atas di setiap pojok Ancol dengan view yang memukau.
Puncak Monas adalah tujuan terakhir dengan segala kesan dan rasa bahagia bagi kami. Rindu itu telah pergi jauh meminta diri. Kenangan kami justru semakin abadi ketika semua momen telah terabadikan.

Jarak tidak lagi menjadi sekat ketika pertemuan hadir sebagai obat mujarab. Kala senja itu tiba, kami merasa sungguh beruntung bisa bersua. Melepaskan segala kerinduan dalam gugusan bahak tawa tak terkira. Tidak akan pernah ada kesendirian. Karena kesendirian akan ditemani kenangan mendalam. Sesepi apapun kesendirian, kenangan akan datang menjadi teman. Cukuplah simpan rapi semua kenangan yang kita punya, ikat erat-erat dan jadikan bahan untuk tertawa kala kita berjumpa. Bukan seberapa tinggi posisi yang kita dapat dalam kehidupan, tapi tentang kepedulian yang takkan pernah pudar untuk sesama sahabat. Bukan seberapa jauh jarak memisahkan, tapi tentang bagaimana kita terus saling mendo’akan agar tetap tabah dalam selaksa rindu yang sesekali menjadi saksi kesepian. Ini tentang kebersamaan yang tidak akan pernah pudar meski kita saling berjauhan. Ini tentang kepedulian yang akan tetap mekar dan terjaga meski kita tidak bersama. Tidak perlu malu, tidak perlu jaim, ini dunia kita, nikmati saja. Jika perlu saling sapalah tanpa merasa sungkan, tanpa merasa gengsi. Ini tentang aku, kamu, dia, kalian, dan mereka angkatan keempat Niboards. Selesai!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...