Kerja sama ekonomi regional yang diikuti Indonesia selalu
erat kaitannya dengan pembangunan konektivitas maritim dengan memanfaatkan laut
sebagai penghubung bagi kegiatan perdagangan internasional. Pemanfaatan tol
laut kemudian digagas dengan pembangunan koridor ekonomi baik antara provinsi
yang ada di Indonesia, maupun antar negara terutama dengan negara-negara
anggota ASEAN. Indonesia sendiri terlibat dalam kerja sama ekonomi sub-regional
(KESR) dengan maksud membangun konektivitas maritim di tengah dinamika
geopolitik dan geo-ekonomi
internasional dengan tujuan agar dapat tereintegrasi dan berperan aktif dalam
pasar global. Setidaknya terdapat tiga KESR yang diikuti Indonesia di kawasan
Asia Tenggara. Di antaranya, Indonesia Malaysia Thailand Golden Tiangle
(IMT-GT), Brunei Indonesia Malaysia Philippinnes East ASEAN Growth Area (BIMP
EAGA), Timor Leste Indonesia Australia Growth Triangle (TIA-GT)1.
Dalam konteks dokumen the master plan on ASEAN connectivity
2010, konektivitas dan pembangunan maritim di Asia Tenggara dalam dilaksanakan
dengan menggunakan tiga strategi. Pertama, pembangunan infrastruktur fisik dan
peningkatan infrastruktur yang sudah ada. Kedua, pembangunan lembaga,
mekanisme, dan proses yang efektif yang dilaksanakan dengan menyelesaikan
berbagai hambatan dalam pergerakan barang dan orang serta fasilitasi investasi
dan perdagangan intra-ASEAN. Ketiga, pembangunan masyarakat yang dapat diperdayakan
(people to people connectivity) dalam
rangka mempromosikan interaksi sosial budaya intra-ASEAN yang lebih dalam
melalui upaya mobilitas intra-ASEAN yang lebih besar.
Agar dapat berjalan dan
berhasil dan maksimal, pembangunan konektivitas dan integrasi ekonomi
regionalisme di Asia Tenggara memerlukan beberapa modalitas. Berikut 6
modalitas pembangunan konektivitas dan kerja sama ekonomi sub-regional:
1.
Peran Pemerintah Daerah. Semakin aktif dan berkomitmen
pemerintah daerahnya, semakin besar pula potensi kerja sama dan berjalanannya
program pembangunan konektivitas. Sebagai contoh adalah peran aktif Provinsi
Sulawesi Utara dalam membangun BIMP-EAGA. Demikian juga sebaliknya, semakin
tidak aktif pemerintah daerah, maka akan sangat kecil kemungkinan terbentuknya
kesepakatan kerja sama pembangunan konektivitas. Sebagai contoh adalah Provinsi
Maluku dan Papua dalam konteks BIMP-EAGA.
2.
Status Delimitasi Batas Wilayah. Bahwa pembangunan
konektivitas akan semakin mudah dicapai jika status delimitasi batas wilayahnya
sudah jelas dan selesai seperti pada perbatasan Indonesia-Malaysia di Selat
Malaka dalam konteks kerja sama IMT-GT. Sebaliknya, pembangunan konektivitas
maritim dan kerja sama sub-regional akan semakin sulit berjalan jika delimitasi
batas wilayah batasnya belum selesai. Seperti contoh kasus perbatasan laut
Indonesia –Timor Leste dalam kerangka kerja sama TIA-GT.
3.
Modal Koordinasi. Modal koordinasi yang dimaksud disini adalah
koordinasi antar pemerintah nasional dan pemerintah daerah dengan masing-masing
negara anggota. Selain itu, koordinasi lain yang dibutuhkan adalah sekretariat
nasional dan working group. Serta,
sekretariat KESR dan sekretariat ASEAN. Semakin baik koordinasi yang dihasilkan
dari ketiga modal koordinasi, semakin baik pula potensi kerja sama yang
dihasilkan oleh negara-negara anggota yang terlibat di dalam kerja sama
sub-regional.
4.
Harmonisasi Peraturan. Merupakan program pembangunan
konektivitas yang telah disepakati di tingkat sub-regional. Misalnya adalah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Bagian lain yang masuk
dalam modal harmonisasi peraturan dalam kerja sama sub-regional adalah
birokrasi sederhana yang mendukung aktivitas kerja sama. Seperti kegiatan
perdagangan internasional, impor dan ekspor serta investasi.
5.
Modal Anggaran Pendanaan. Pembangunan dalam koridor
ekonomi akan berjalan dengan baik apabila ada dukungan berupa modal dan
anggaran dana seperti bantuan anggaran dari Asian Development Bank (ABD).
6.
Potensi Ekspor Impor. Pembangunan konektivitas dan kerja
sama sub-regional akan dapat terlaksana dengan baik jika setiap negara yang
terlibat dalam kerja sama memiliki unsur penunjang seperti komoditas ekspor dan
impor sebagai komoditas yang saling melengkapi. Sebaliknya, jika dalam kerja
sama sub-regional, negara tidak memiliki komoditas unggulan yang dapat saling
ditukar, kemungkinan kerja samanya tidak akan berjalan dengan baik dan dapat
terhenti dengan sendirinya. Sebagai contoh adalah pada kasus jalur kapal Ro-Ro Davao Filipina dan Bitung Indonesia yang sudah
tidak dapat berjalan lagi pasca diluncurkan pada April tahun 2017.
Selain itu, hal yang sangat ditekankan dalam kerja sama sub-regional dan pembangunan konektivitas dapat membentuk tiga jenis regionalisme seperti yang dijelaskan oleh Asian Development Bank. Pertama, regionalisme dalam bentuk kerja sama regional. Bentuknya dapat berupa konferensi, forum regional, dan bentuk sejenis. Hasilnya adalah perjanjian, deklarasi, dan strategi kerja sama. Kedua, penyediaan layanan regional. Ketiga, integrasi pasar regional. Hal lain yang menjadi penentu keberhasilan kerja sama sub-regional adalah rendahnya tendensi persaingan kepentingan negara-negara yang ada di Kawasan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan letak Indonesia dan ASEAN yang berada di tengah kawasan Indo-Pasifik, dimana terdapat persaingan dua kekuatan besar dan rivalitas antara AS dan China2.
Daftar Rujukan
Kartini,
Indriana, dkk. (2020). Penguatan Konektivitas Lintas Batas dalam Kerja Sama
Ekonomi Sub-regional. Jurnal Penelitian Politik Vol 17 (1). Hal 117-139.
Alunaza,
Hardi. (2020). Diplomasi dan Pembangunan Konektivitas Maritim Indonesia dalam
Konstelasi Politik Global. Jurnal Penelitian Politik Vol 17 (2). Hal 295-303.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar