Jumat, 22 Desember 2017

Perihal Cinta, Jarak yang melipat, Hujan di Bulan Juni, dan Mengulang Rasa

*Malam tadi kau hadir begitu jelas dalam mimpiku, duduk lama dan berucap tentang rasa. Tentang rindu yang melipat jarak hingga kita merasa dipisahkan oleh semesta. Setelah bangkit dari tidurku, kau tidak hanya tinggal, tapi membekas di sudut ruang kosong pada sanubari yang kemudian kita, satu sama lain saling mengungkit masa dan perjalanan rasa. Katamu perjumpaan pasti akan selalu berjodoh dengan perpisahan, sakit atau menyakitkan atau disakiti hingga tersakiti. Karena balutan kebersamaan yang ada tergunting oleh sekat yang begitu kejam menghancurkan timbunan rasa yang pernah kita sulam bersama. Tapi, aku menunggumu, menunggu apapun yang akan kau sampaikan. Maka ucapkanlah, apa saja tentang rasa. Perihal rasa yang pernah kuberi atau rasa yang pernah kau tulis di dalam hati ini. Jika kau kecewa dengan rasa itu telah telah mati, mari kutemani langkahmu dan menunjukkan padamu sesuatu yang berwarna merah yang kau bungkus dalam plastik merah. Kau menyebutnya hujan di Bulan Juni. Lalu aku berusaha memastikan rasa itu dan kembali bertanya, Juni atau Juli? Kau memilih Juni. Sebab apa, karena Juni itu genap sedang Juli itu ganjil, ucapmu. Maksudnya? Aku tidak mengerti apa beda ganjil dan genap dalam ungkapanmu tentang rasa. Ya, Juni itu genap dan Juli itu ganjil. Jika aku boleh memilih, aku akan menjadi Juli untukmu hingga kita menjadi Juni dalam bait puisi cinta. Begini, Juli itu ganjil, sama sepertiku, aku adalah ganjil yang dicipta semesta untuk menjadikanmu genap. Aku, kamu sama dengan kita, artinya berdua. Sebab aku kamu hakikatnya adalah cinta.

Sebuah perjalanan panjang yang belum usai dan takkan pernah selesai. Karena cinta kita ada, sebab cinta kita bersama, dan karena cinta adalah kata yang tak pernah habis untuk dipikir apalagi untuk ditafsir. Selalu saja ada alasan mengapa aku dan kamu dipertemukan. Begitu kan? Meski mungkin dalam perjalanan cinta kita, satu sama lain pernah merasakan luka, namun bagiku itu bukanlah kerana kesengajaan. Tetaplah begini jangan pergi, jangan kemana-mana. Cinta sejati akan bertahan apapun alasannya. Cinta sejati itu merah merekah, indah dipandang oleh mata karena tersusun oleh rasa dan tumpukkan nirwana yang tak biasa. Cinta sejati itu takkan pernah tega melihat kekasihnya terluka apalagi hingga memainkan perasaan, sebab ia mengerti bahwa perasaan itu bukan mainan.
Oiya, aku masih menyimpan semua gambar tentangmu. Tentang kebiasaan baik dan burukmu. Tentang lelapnya tidurmu dibalik selimut tebal yang bertemankan bantal berwarna biru muda dan guling kuning serta seprei berwarna kelabu. Aku hanya ingin berucap bahwa sebagus apapun handphone mu itu, masih bagus alaminya gambarmu yang kutangkap dengan lensa mataku. Sebab, gambarmu selalu ada dan terabadikan dengan indah di setiap hasta tatapanku untukmu. Pernahkah kau berpikir bahwa kita ini insan biasa, yang terlalu riang dengan rasa dan cinta namun suka mendadak terguncang dan hilang kala ditimpa oleh sebuah perpisahan. Ya, seperti itulah manusia, sering lupa bahwa pertemuan itu tidak pernah kekal dan sering tidak percaya bahwa perpisahan itu adalah sebuah kepastian yang abadi. Sebagaimana fajar akan pamit pada malam, juga seperti senja yang melambaikan tangan pada sore untuk bersembunyi. Mentari, bulan, bintang, siang, dalam malam akan pergi, mereka tidak bisa selalu ada. Maka, begitu pun kita. Kita tidak akan pernah kekal bersama. Sebab, tatkala pertemuan itu kita rasa, maka setelah itu akan ada perpisahan yang menjadikan kita saling sesengukan. Seperti nyawa dalam diri kita yang akan berpisah dengan raga, bukan?
Ah, maaf. Aku tidak ingin menakutimu dengan kalimat pisah, sebab aku tahu kau memang mencintaiku seperti aku mencintai senja dan diriku sendiri. Aku tidak menakutimu, ini perihal cinta. Sebab kini, kita sedang berada di ruang tunggu. Menunggu masa menjemput aku atau kau yang terlebih dulu pergi. Andai aku yang pergi lebih awal, maka kau akan temukan tumpukkann kenangan dan jarak yang menyita air mata dari masa demi masa yang kau lalui. Jika kau yang dijemput lebih awal, maka pelangi akan hadir di kotaku dan menumpahkan rintik hujan di akhir senja sambil bergumam bahwa itu adalah hujan terindah dari cinta yang kau basahi di Bulan Juni. Namun jika kita berdua saling lupa dan berusaha pergi, ijinkanlah jarak itu bisa kita lipat untuk saling menyulam rindu di ruang tunggu yang kita punya, cinta. Biarkan kita bertemu di sana dan saling berbisik untuk tinggal lebih lama demi sekedar mengulang rasa yang pernah ada. Bisikkan pada debu, bahwa cinta kita bukan berupa bunga kertas yang akan sirna jika terkena air hujan, tapi cinta kita akan tetap berbentuk lintasan angka-angka yang tak pernah mati, redup apalai sirna. Rasa itu akan tetap menyala semakin besar dan semakin berbekas. Aku, kau, dan serupa sepotong rasa yang selalu bersikeras untuk abadi. Untuk tetap tinggal meski terpisahkan jarak. Untuk tetap bersama meski diserang ribuan rintik hujan. Untuk tetap bersatu mengulang rasa dan berucap tentang hidup kita dan cinta.
(Ditulis untuk menghindari tidur setelah sholat shubuh dan semoga yang membaca juga suka. Selamat berhari selasa, hidupku selalu selasa, selasa di sulga kalau ada kamu, cinta!)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...