Kamis, 11 Maret 2021

Kudeta Myanmar dan Dilema Intervensi ASEAN

Myanmar kini menjadi sorotan dunia internasional akibat kekalahan Tadmadaw Union Solidarity and Development Party pada pemilu Myanmar November 2020 silam. Partai ini kalah dengan hanya mengantongi 8% suara, sementara sisanya sebanyak 82% suara dimenangkan oleh Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi yang dikomando oleh Aung San Suu Kyi. Kekalahan Tadmadaw berujung pada kudeta militer dan jatuhnya korban dari aksi demonstran yang menuntut pemerintahan dikembalikan kepada pemenang pemilu. Kudeta militer menyebabkan bentrokan yang terjadi antara warga Myanmar dan militer yang menimbulkan korban jiwa.

Myanmar sendiri dikenal sebagai negara dengan kepemimpinan politis dan kepemimpinan militer. Parlemen Malaysia menilai ASEAN sebagai organisasi regional seharusnya memahami bahwa kudeta yang dilakukan militer Myanmar adalah sebagai rencana pemilu ulang yang tidak disepakati dan tidak dapat diterima oleh masyarakat Myanmar. Perhimpunan negara di Asia Tenggara ini harusnya dapat bersikap dan memberikan masukan untuk menekan Myanmar dan mengambil sikap tegas dengan mengeluarkan Myanmar dari blok ASEAN jika pemimpin militer di negara tersebut tidak dapat mengakhiri kudeta yang saat ini terjadi.

Selain melanggar prinsip hak asasi manusia, ASEAN seharusnya bisa memiliki kekuasaan dan delegasi tingkat tinggi dalam upaya mengunjungi Myanmar dan berupaya mengembalikan pemerintahan kepada Aung San Suu Kyi. Sebab kudeta yang terjadi adalah hal yang tidak dapat diterima dunia internasional dan juga melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Meski ketiga negara di ASEAN yakni Kamboja, Thailand, dan Filipina memiliki sejarah kudeta, perhimpunan negara di Asia Tenggara ini tidak boleh terpecah belah dalam menyikapi permasalahan yang saat ini terjadi di Myanmar.

Di sini lain, kudeta yang terjadi di Myanmar merupakan polemik bagi ASEAN. Sebab negara-negara organisasi regional ini tidak memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan intervensi situasi politik yang terjadi di Myanmar. Hal itu didasarkan pada prinsip dan budaya ASEAN yang mengatur penghormatan terhadap urusan politik internal negara anggota. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selama kudeta Myanmar dan permasalahan politik internal Myanmar tidak memberikan dampak secara langsung kepada negara lain, maka kewajiban negara anggota ASEAN adalah menghormati permasalahan tersebut tanpa memberikan intervensi. Seperti kejadian ketika ada pertemuan tingkat tinggi ASEAN dan membahas mengenai Rohingya, Myanmar meninggalkan pertemuan tersebut karena merasa negara lain tidak menghormati permasalahan internal negara mereka.

Meski kudeta militer yang terjadi di Myanmar mengakibatkan korban berjatuhan, negara anggota ASEAN juga harus memperhatikan isi Piagam ASEAN pasal 2 ayat 2 huruf e yang menyebutkan bahwa negara-negara yang menjadi anggota ASEAN tidak akan melakukan intervensi dalam masalah domestik suatu negara. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota ASEAN harus tetap bersikap tegas dalam memantau kondisi masyarakat Indonesia yang berada di Myanmar. Di balik itu, Indonesia dipandang tidak perlu mengeluarkan official statement yang membuat munculnya persepsi dari negara di regional dan internasional yang merugikan Indonesia.

Meski tidak dapat dibantah, sebenarnya prinsip dan kebijakan non-intervensi di Piagam ASEAN itu tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di Myanmar saat ini. Sebab, proses ambil alih pemerintahan oleh militer Myanmar memiliki konsekuensi regional yang akan terus meluas apabila tidak ditanggapi dan ditangani oleh negara-negara anggota Blok ASEAN. Sebagai contoh, karena kudeta militer yang terjadi, akan semakin banyak pengungsi yang berdatangan ke Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Tentu kedatangan pengungsi ini akan menjadi masalah baru bagi stabilitas keamanan negara-negara tersebut.

Selain masih dalam belenggu prinsip non-intervensi, kudeta militer yang terjadi di Myanmar memperlihatkan fakta bahwa ruang tumbuh bagi demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di ASEAN kini semakin sempit. Terlebih lagi, bagi negara demokratis seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia ingin lebih fokus pada urusan dalam dimensi ekonomi dan dipandang kurang memperhatikan dan mendesak urusan demokrasi dan HAM apalagi di luar batas teritori negara. Meski memang memiliki negara dengan julukan penjunjung tinggi HAM dan demokrasi, faktanya ketiga negara tidak mampu memberikan sikap yang jelas dan harus bergerak sesuai dengan pijakan politik luar negeri masing-masing negara. Kondisi ini menyebabkan ruang terbuka untuk manuver non-demokratis seperti yang terjadi di Myanmar saat ini. Selain terbelenggu prinsip non-intervensi, mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan konsensus bersama juga pada akhirnya menjadikan masing-masing negara anggota menyatakan sikapnya secara lebih diplomatis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Krisis Hubungan Diplomatik Meksiko – Ekuador

Krisis diplomatik antara Meksiko dan Ekuador yang baru saja terjadi merupakan peristiwa yang memperlihatkan kompleksitas hubungan antarneg...