Minggu, 23 Juni 2013

SPNFZTR (South Pacific Nuclear Free Zone Treaty of Ratoronga) sebagai Respon Negara-Negara di Kawasan Asia Pasifik Selatan atas Uji Coba Senjata Nuklir



Introduction
 Salah satu kawasan regional yang seringkali diabaikan oleh para pengamat politik internasional, bahkan dianggap sebagai kawasan “tidak penting” adalah Asia Pasifik Selatan (selanjutnya akan disebut dengan Pasifik Selatan). Minimnya sumber daya alam yang menguntungkan secara ekonomi untuk dilakukan eksplorasi, jumlah penduduk yang relatif sedikit serta ketidakstabilan kondisi sosiopolitik yang mereka alami menjadikannya “tersingkir” dari pentas perpolitikan internasional. Meskipun begitu, bukan berarti kawasan ini tidak layak untuk dijadikan kajian studi Hubungan Internasional. Futurolog kelas dunia seperti Theodore Rosevelt, Mohammad Hatta, John Hay, Welliam Seward, Friedrich Engels, Alfred Thayer, dan Doktor Ratu Langie pernah menyatakan bahwasannya pada abad ke-21 kawasan Asia Pasifik Selatan akan menjadi perhatian dunia (Abriyanto, 1990, p. 68).
Kondisi geografis, sosial, ekonomi dan politik di kawasan Pasifik Selatan tersebut berpengaruh terhadap bagaimana para pemimpin negara-negara kepulauan mengambil sikap atas berbagai isu global, terutama berbagai isu yang mengancam eksistensi mereka sebagai sebuah negara yang berdaulat. Para pemimpin negara di Pasifik Selatan yang tergabung dalam South Pacific Forum (SPF) sadar, bahwa negaranya jauh terpisah dari pusat pertarungan politik kekuasaan dunia dan bahwa suatu invansi atau serangan dari luar adalah sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya. Mereka cukup puas dan pragmatik mempercayakan keamanannya pada Australia dan Selandia Baru. Pemerintah negara-negara pulau itu, kecuali Papua New Guinea (PNG), Fiji dan Tonga, memilih tidak membentuk angkatan perang atau menggabungkan diri ke dalam aliansi-aliansi militer (Steve Hoadley, 1992, p. 22).
Meskipun begitu, bukan berarti para pemimpin negara-negara di Pasifik Selatan tidak memiliki perhatian terhadap isu keamanan. Tantangan utama terhadap keamanan di Pasifik Selatan bukanlah dalam bentuk ancaman keamanan tradisional seperti invasi dari luar atau terdapatnya klaim  territorial dari luar maupun dalam kawasan. Dengan kata lain, fokus perhatian para pengambil keputusan di kawasan itu tidak tertuju pada hubungan antar negara besar atau isu-isu keamanan tradisional, melainkan ancaman terhadap perdamaian yang muncul dari konflik-konflik internal, kejahatan lintas negara, penyelundupan manusia, isu lingkungan, penangkapan ikan ilegal, bencana alam, dan tantangan ekonomi serta sosial karena kecilnya negara-negara di kawasan tersebut dan secara fisik terisolasi dari rute perdagangan internasional (Ikrar Nusa Bhakti, 2002, p. 1).     
Makalah ini berupaya untuk menjelaskan bagaimana upaya yang dilakukan oleh para pemimpin di Pasifik Selatan yang lebih fokus pada isu-isu keamanan non-tradisional. Terutama  upaya untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh radiasi nuklir, sebagai akibat dari uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Perancis. Dengan konsep Perimbangan Kekuatan, makalah ini mencoba mengulas bagaimana negara-negara kecil di kawasan Pasifik Selatan melakukan aliansi sebagai bentuk penolakan mereka atas uji coba senjata nuklir di Pasifik Selatan serta seberapa efektif upaya yang mereka lakukan tersebut untuk  membangun kawasan Pasifik Selatan sebagai salah satu zona bebas nuklir dunia.

Tinjauan Konseptual
Dalam artikelnya yang berjudul ‘Introduction: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance’, T. V. Paul membagi tiga bentuk Balance of Power. Pertama, Hard Balancing yaitu cara yang digunakan untuk mencapai perimbangan kekuatan dengan mempertahankan dan menambah kekuatan militer. Kedua, Soft Balancing yaitu negara-negara menaikkan intensitas kekuatannya bersama dengan negara kuat lain sehingga dapat meredam adanya negara rising power baru yang dapat mengancam dan menimbulkan ketakukan. Ketiga, Asymmetric Balancing yaitu keadaan dimana terapat usaha yang dilakukan negara bangsa untuk bisa mencapai keseimbangan namun terdapat gejala tak langsung dari aktor di luar negara itu sendiri seperti teroris yang dapat mengancam keamanan.
Rasionalisme                                                 
Proyek utama kaum rasionalis adalah menjelaskan tingkat tatanan yang sangat tinggi yang ada diantara kesatuan-kesatuan politik. Pada subjek sistem negara, rasionalisme menjelaskan bahwa sebuah sistem negara karena kontak yang cukup intern di antara mereka dan memiliki dampak yang cukup besar bagi keputusan satu sama lain hingga menyebabkan mereka menunjukkan reaksi. Sedangkan untuk masyarakat yang merupakan bagian dari negara, dinyatakan bahwa masyarakat negara tersebut ada manakala ada sekelompok negara yang sadar akan adanya kepentingan umum tertentu, membentuk suatu lembaga dan menempatkan diri sehingga adanya mereka meyakini adanya serangkaian peraturan umum mengenai hubungan mereka dengan negara lain[1].
Analisis rasionalisme menekankan pada beberapa kesamaan khusus yang dimiliki antara masyarakat dalam lingkup domestik. Dalam lingkup negara kawasan, negara dikendalikan oleh aturan yang mereka susun bersama yang berkaitan dengan sikap dan menentukan bagaimana aturan tersebut harus disusun dan dijalankan. Keyakinan bahwa kedaulatan negara kawasan harus dipertahankan juga menunjukkan keunikan himpunan negara. Rasionalisme menyatakan bahwa negara-negara dalam suatu kawasan bisa bergabung dalam perhimpunan negara karena mereka memiliki tujuan utama yang sama. Rasionalisme juga menjelaskan keyakinan mereka pada diplomasi sebagai tindakan yang bisa merubah apa yang berbeda, yang curiga dan yang bertentangan dengan prinsip mereka.[2]
Collective Security
Collective Security ialah konsep yang menjelaskan perilaku negara-negara untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan yang beriorientasi pada keamanan regional bahkan global. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meminta negara-negara untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa melanggar hukum internasional dan melakukan agresi terhadap negara lain.
Pembahasan
Gerakan Denuklirisasi di Kawasan Asia Pasifik Selatan
            Kemunculan gerakan masyarakat yang menginginkan terciptanya suatu tatanan dunia yang damai, tenang serta terhindar dari berbagai ancaman, baik ancaman terorisme, isu lingkungan seperti global warming, bencana alam, hingga bahaya yang diakibatkan oleh sampah nuklir tidak hanya di negara-negara maju. Gerakan masyarakat tersebut juga terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk di antaranya terjadi di negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik Selatan. Adapun yang termasuk dalam kawasan ini meliputi kepulauan Micronesia (Mariana, Guam, Saipan, Tinian,  rota, Carolina, Yap, Babelthuap, Koror, Peleliu, Angaur, Truk, Ponape, Kusae, Marshall, Kwajelein, Bikini, Majuro, Jalaut dan Enewetok). Sementara yang termasuk kepulauan Melanesia (kepulauan Maluku, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, Salomon, Vanuatu, Kaledonia Baru dan Fiji). Polenesia (Tonga, Samoa Barat, Samoa Amerika, Cook, Polenesia Prancis, Pitcairn, Norfolk, Nauru, Kiribati, Tuvalu, Tokelau, Wallis, Futuna, Niue, Rapanui, Hawaii ditambah Papua Nugini, Australia dan Selandia Baru).
            Strategisitas Pasifik Selatan menjadi salah satu fokus kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bahkan pada masa Perang Dunia II Pasifik Selatan telah digunakan AS sebagai buffer zone dalam menghadapi agresi yang dilancarkan Jepang. Dominasi Amerika Serikat terus berlanjut meskipun Perang Dingin telah berakhir yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada 3 Oktober 1990 (Vivanews.co.id, 2012). Dengan berakhirnya Perang Dingin, tatanan dunia menjadi multipolar dengan kemunculan negara-negara dengan kekuatan armada militer kuat yang dilengkapi dengan tekhnologi paling mutakhir, terutama dengan kekuatan nuklir.
             Kondisi yang seperti ini memacu Amerika Serikat yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia untuk terus mengembangkan kekuatan persenjataannya, terutama senjata berbasis kekuatan nuklir. Pada titik inilah AS memiliki alasan yang kuat, mengapa Presiden Reagan pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa abad  ke-21 adalah abad Pasifik (Hamid, 1992, p. 66). Untuk terus mengembangkan senjata nuklirnya, AS membutuhkan arena yang dapat dijadikan tempat uji coba persenjataan pemusnah massal tersebut yang tentunya harus jauh dari daratan AS sehingga mereka terhindar dari bahaya radiasi nuklir yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit serius seperti kanker.
            Sayangnya, Amerika Serikat dan beserta negara maju lainnya seperti Perancis dan Inggris tidak memperhitungkan bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan oleh uji coba nuklir yang mereka lakukan terhadap kesehatan masyarakat Pasifik Selatan pada umumnya serta rusaknya lingkungan alam sekitar. Tercatat, Amerika Serikat merupakan pelopor pertama kali yang melakukan uji coba nuklirnya di Pasifik Selatan pada 1946, kemudian disusul Inggris pada 1957, bahkan Perancis dalam kurun waktu 1966 sampai 1986 telah melakukan uji coba nuklirnya sebanyak 86 kali (Frey, 1983, p. 11). Hal yang demikian memunculkan keprihatinan dari masyarakat sekitar untuk menyuarakan hak mereka kepada dunia, bahwa mereka (masyarakat Pasifik Selatan) juga termasuk menjadi bagian dari masyarakat dunia yang berhak untuk hidup sebagaimana mestinya.
            Sementara Australia dan Selandia Baru sebagai dua negara besar terdekat di kawasan tersebut yang diandalkan sebagai opinion leader ternyata juga tidak dapat diandalkan untuk meredam aksi negara-negara besar dalam uji coba nuklirnya. Dalam kondisi yang seperti inilah para aktivis anti nuklir dari berbagai negara seperti Thailand, Korea Selatan, Filiphina ikut terlibat untuk membebaskan Pasifik Selatan dari nuklir. Para pemimpin Pasifik Selatan pun akhirnya menyadari bahwa mereka harus melakukan penyelamatan terhadap masyarakat  sekitar dari bahaya radiasi limbah nuklir yang mampu membinasakan manusia maupun alam sekitar. Mereka sadar, hanya dengan melakukan aliansi-lah maka Pasifik Selatan akan ‘sedikit’ diperhitungkan keberadaannya. Hal ini mendorong terbentuknya sebuah perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Ratoronga pada 6 Agustus 1985 di kepulauan Cook.
            Perjanjian Ratoronga merupakan sebuah prestasi yang dicapai oleh negara-negara di kawasan Pasifik Selatan untuk membebaskan kawasan mereka dari senjata nuklir yang ditandatangani oleh Australia, Selandia Baru, Kepulauan Cook, Fiji, Niue, Samoa Barat, Kiribati, Tavalu, Kepulauan Salomon, serta Papua Nugini (Abriyanto, p. 77). Isi dari perjanjian Ratoronga adalah  larangan pembuatan, percobaan dan penempatan senjata nuklir serta pembuatan sampah nuklir. tercantum pula larangan untuk mengekspor  bahan material nuklir (Uranium) yang bukan untuk tujuan damai. Dilihat dari perspektif Realis, perjanjian tersebut merupakan upaya untuk menghimpun kekuatan dari negara-negara sekawasan yang merasa terancam akan adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh zat radioaktif nuklir. Dimana pada prinsipnya, terdapat tiga akibat radiasi yang dapat berpengaruh pada tubuh manusia, yakni: 1. sel akan mati, 2. terjadinya penggandaan sel yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya sel kanker, dan 3. kerusakan dapat timbul pada sel telur atau testis, yang akan memulai proses bayi-bayi cacat sejak dalam kandungan.
Bahkan Prof. Dr. T. Jacob (1988:46) pernah menyatakan bahwa akibat dari uji coba nuklir, kondisi kepulauan Marshall dan Mikronesia sangat memprihatinkan, dimana debu radioaktifnya menyebar hingga pulau Rongelap yang menyebabkan penduduk sekitar terkena penyakit radiasi dan terpaksa diungsikan. Pada tahun 1968, pengujian persenjataan di kawasan tersebut menyebabkan  tiga buah pulau tenggelam ke dasar laut dan beberapa pulau di sekitar Makronesia tidak dapat dihuni selama 30 tahun (Grand Howard, 1981, p. 128-136). Penduduk di kepulauan Rongelap juga banyak yang menderita tumor thyroid serta kanker yang diakibatkan oleh radiasi nuklir tersebut.
            Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam perjanjian Ratoronga membuatnya tidak terlalu efektif untuk menekan negara-negara seperti AS, Inggris dan Perancis agar tidak  menjadikan Pasifik Selatan sebagai kawasan uji coba nuklir. Meskipun dalam traktat pelarangan menyeluruh uji coba nuklir pasal pertama tentang kewajiban dasar menyatakan bahwa “Setiap negara pihak tidak melakukan segala uji coba ledakan senjata nuklir atau ledakan nuklir lainnya, dan melarang serta mencegah semua ledakan nuklir semacamnya yang berada di semua tempat di bawah yuridiksinya atau pengawasannya” (Kemenlu RI, 2012). Namun, efektifitas hukum internasional sangat bergantung pada kadar ketaatan suatu negara terhadap kewajiban hukum yang timbul dari hukum internasional tersebut. Hukum internasional pada intinya menekankan pada pengendalian yang efektif terhadap negara. Keberadaannya tidak hanya ditunjukkan oleh keberadaan prinsip hukum tersebut tetapi juga kesediaan negara untuk menjalankannya. Oleh sebab itulah sistem hukum internasional dapat dikatakan tidak tertata dengan baik karena setiap bangsa yang berdaulat tidak dapat diatur oleh wewenang seperti warga negara diatur oleh lembaga-lembaga kemasyarakatannya (Soegiyono, p. 1).
            Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya: pertama, dengan tidak dicantumkannya setiap Negara untuk menolak hadirnya kapal asing yang membawa senjata nuklir (sehingga tergantung setiap negara apakah mereka mau menolak atau menerimanya). Kedua, dalam perjajnjian tersebut jenis senjata nuklir hanya  ditujukan untuk nuclear warheads saja, sementara untuk rudal bertenaga nuklir tidak tercantum di dalamnya. Ketiga, Guam sebagai basis kegiatan militer Amerika Serikat yang sebenarnya masih dalam jangkauan Pasifik Selatan juga tidak dimasukkan dalam jangkauan wilayah. Keempat, tidak adanya lembaga berwewenang yang mengawasi ekspor-impor bahan dasar nuklir meskipun hal itu untuk tujuan perdamaian.
             Penolakan masyarakat Pasifik Selatan terhadap segala bentuk uji coba nuklir terutgama yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris dan juga Perancis merupakan suatu upaya yang jauh daripada perimbangan kekuatan. Namun lebih mendekati  disebut sebagai alat politis untuk menunjukkan eksistensi mereka kepada dunia luar bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk dunia yang memiliki hak yang patut untuk dihargai dan disejajarkan dengan penduduk dunia lainnya. Mereka juga ingin menunjukkan bahwa meskipun sebagai kumpulan dari negara kecil, bukan berarti negara-negara  adikuasa seperti Amerika Serikat, Inggris dan Perancis bisa seenaknya saja melakukan segala tindakannya tanpa memperhatikan  dampak negatif yang ditimbulkannya tersebut. 

Kesimpulan

Referensi
Abriyanto, M., 1990, Gerakan Perdamaian Zona Bebas Nuklir dan Militerisasi di Pasifik Selatan: Pengalaman dan Porspek, Jurnal Politik Internasional, VOl. II, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Bhakti, Ikrar N., 2002, Keamanan Kawasan Pasifik Selatan, makalah disampaikan dalam seminar “Keamanan Regiona Indonesia: Tantangan, Peluang dan Respon” yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan,Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Hotel Meiridien Jakarta pada 17 Desember 2002.  
Frey, Greg, 1983, A Nuclear Free Zone for The Southwest Pacific prospects and significance, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, the Research School of Pacific Studies, the National University
            Hamid, Zulkifli, 1992, Perkembangan Politik di Negara-Negara Pasifik Selatan, Jurnal Politik Internasional, Vol. III. FISIP-UI, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
            Soegiyono & Mardianis, Analisis Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang mungkin Diterapkan dalam Pengaturan Penggunaan Geostationary Orbit (GSO), Bidang Pengkajian bahan teknis, Jurnal LAPAN diakses dari http://jurnal.lapan.go.id/index.php/warta_lapan/article/viewFile/1072/961 pada (008/05/2013, 04:14 WIB)
T. Jacob, 1988, Manusia Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana

 Vivanesw.co.id edisi (Rabu, 3 Oktober 2012), 3-10-1990: Jerman Kembali Bersatu, Reunifikasi Jerman itu sekaligus simbol berakhirnya era Perang Dingin, diakses dari http://dunia.news.viva.co.id/news/read/356226-3-10-1990--jerman-kembali-bersatu  pada (9/05/2013, 0:00 WIB)

Kemenlu.go.id. Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir, 2012, diakses dari  http://pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/Lampiran%20II%20UU%201%20Tahun%202012.pdf  pada (09/05/2013, 03:50)

Paul, T.V. n. d. “Introduction : The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance”
Hoadley, Steve, 1992, The South Pasific Foreign Affairs Handbook, Sidney: Allen and Unwin


[1] Scoot Burchill. 1996. Teori-teori Hubungan Internasional, Bandung : Nusa Media. Hal : 131
[2] Ibid hal 133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Krisis Hubungan Diplomatik Meksiko – Ekuador

Krisis diplomatik antara Meksiko dan Ekuador yang baru saja terjadi merupakan peristiwa yang memperlihatkan kompleksitas hubungan antarneg...