Introduction
Salah satu kawasan regional yang seringkali
diabaikan oleh para pengamat politik internasional, bahkan dianggap sebagai
kawasan “tidak penting” adalah Asia Pasifik Selatan (selanjutnya akan disebut
dengan Pasifik Selatan). Minimnya sumber daya alam yang menguntungkan secara
ekonomi untuk dilakukan eksplorasi, jumlah penduduk yang relatif sedikit serta
ketidakstabilan kondisi sosiopolitik yang mereka alami menjadikannya
“tersingkir” dari pentas perpolitikan internasional. Meskipun begitu, bukan
berarti kawasan ini tidak layak untuk dijadikan kajian studi Hubungan
Internasional. Futurolog kelas dunia seperti Theodore Rosevelt, Mohammad Hatta,
John Hay, Welliam Seward, Friedrich Engels, Alfred Thayer, dan Doktor Ratu
Langie pernah menyatakan bahwasannya pada abad ke-21 kawasan Asia Pasifik
Selatan akan menjadi perhatian dunia (Abriyanto, 1990, p. 68).
Kondisi geografis, sosial,
ekonomi dan politik di kawasan Pasifik Selatan tersebut berpengaruh terhadap
bagaimana para pemimpin negara-negara kepulauan mengambil sikap atas berbagai
isu global, terutama berbagai isu yang mengancam eksistensi mereka sebagai
sebuah negara yang berdaulat. Para pemimpin negara di Pasifik Selatan yang
tergabung dalam South Pacific Forum (SPF) sadar, bahwa negaranya jauh
terpisah dari pusat pertarungan politik kekuasaan dunia dan bahwa suatu
invansi atau serangan dari luar adalah sesuatu yang sangat kecil
kemungkinannya. Mereka cukup puas dan pragmatik mempercayakan keamanannya pada
Australia dan Selandia Baru. Pemerintah negara-negara pulau itu, kecuali Papua
New Guinea (PNG), Fiji dan Tonga, memilih tidak membentuk angkatan perang atau
menggabungkan diri ke dalam aliansi-aliansi militer (Steve Hoadley, 1992, p.
22).
Meskipun begitu, bukan berarti
para pemimpin negara-negara di Pasifik Selatan tidak memiliki perhatian
terhadap isu keamanan. Tantangan utama terhadap keamanan di Pasifik Selatan
bukanlah dalam bentuk ancaman keamanan tradisional seperti invasi dari luar
atau terdapatnya klaim territorial dari
luar maupun dalam kawasan. Dengan kata lain, fokus perhatian para pengambil
keputusan di kawasan itu tidak tertuju pada hubungan antar negara besar atau
isu-isu keamanan tradisional, melainkan ancaman terhadap perdamaian yang muncul
dari konflik-konflik internal, kejahatan lintas negara, penyelundupan manusia,
isu lingkungan, penangkapan ikan ilegal, bencana alam, dan tantangan ekonomi
serta sosial karena kecilnya negara-negara di kawasan tersebut dan secara fisik
terisolasi dari rute perdagangan internasional (Ikrar Nusa Bhakti, 2002, p.
1).
Makalah ini berupaya untuk
menjelaskan bagaimana upaya yang dilakukan oleh para pemimpin di Pasifik
Selatan yang lebih fokus pada isu-isu keamanan non-tradisional. Terutama upaya untuk meminimalisir dampak yang
ditimbulkan oleh radiasi nuklir, sebagai akibat dari uji coba senjata nuklir
yang dilakukan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Perancis. Dengan
konsep Perimbangan Kekuatan, makalah ini mencoba mengulas bagaimana
negara-negara kecil di kawasan Pasifik Selatan melakukan aliansi sebagai bentuk
penolakan mereka atas uji coba senjata nuklir di Pasifik Selatan serta seberapa
efektif upaya yang mereka lakukan tersebut untuk membangun kawasan Pasifik Selatan sebagai
salah satu zona bebas nuklir dunia.
Tinjauan Konseptual
Dalam artikelnya yang berjudul ‘Introduction:
The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary
Relevance’, T. V. Paul membagi tiga bentuk Balance of Power.
Pertama, Hard Balancing yaitu cara yang digunakan untuk mencapai
perimbangan kekuatan dengan mempertahankan dan menambah kekuatan
militer. Kedua, Soft Balancing yaitu negara-negara menaikkan
intensitas kekuatannya bersama dengan negara kuat lain sehingga dapat meredam
adanya negara rising power baru yang dapat mengancam dan menimbulkan
ketakukan. Ketiga, Asymmetric Balancing yaitu keadaan dimana terapat
usaha yang dilakukan negara bangsa untuk bisa mencapai keseimbangan namun
terdapat gejala tak langsung dari aktor di luar negara itu sendiri seperti
teroris yang dapat mengancam keamanan.
Rasionalisme
Proyek utama kaum rasionalis
adalah menjelaskan tingkat tatanan yang sangat tinggi yang ada diantara
kesatuan-kesatuan politik. Pada subjek sistem negara, rasionalisme menjelaskan
bahwa sebuah sistem negara karena kontak yang cukup intern di antara mereka dan
memiliki dampak yang cukup besar bagi keputusan satu sama lain hingga menyebabkan
mereka menunjukkan reaksi. Sedangkan untuk masyarakat yang merupakan bagian
dari negara, dinyatakan bahwa masyarakat negara tersebut ada manakala ada
sekelompok negara yang sadar akan adanya kepentingan umum tertentu, membentuk
suatu lembaga dan menempatkan diri sehingga adanya mereka meyakini adanya
serangkaian peraturan umum mengenai hubungan mereka dengan negara lain[1].
Analisis rasionalisme menekankan
pada beberapa kesamaan khusus yang dimiliki antara masyarakat dalam lingkup
domestik. Dalam lingkup negara kawasan, negara dikendalikan oleh aturan yang
mereka susun bersama yang berkaitan dengan sikap dan menentukan bagaimana
aturan tersebut harus disusun dan dijalankan. Keyakinan bahwa kedaulatan negara
kawasan harus dipertahankan juga menunjukkan keunikan himpunan negara.
Rasionalisme menyatakan bahwa negara-negara dalam suatu kawasan bisa bergabung
dalam perhimpunan negara karena mereka memiliki tujuan utama yang sama.
Rasionalisme juga menjelaskan keyakinan mereka pada diplomasi sebagai tindakan
yang bisa merubah apa yang berbeda, yang curiga dan yang bertentangan dengan
prinsip mereka.[2]
Collective
Security
Collective
Security ialah
konsep yang menjelaskan perilaku negara-negara untuk mewujudkan perdamaian dan
keamanan yang beriorientasi pada keamanan regional bahkan global. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan meminta negara-negara untuk tidak melakukan sesuatu yang
bisa melanggar hukum internasional dan melakukan agresi terhadap negara lain.
Pembahasan
Gerakan
Denuklirisasi di Kawasan Asia Pasifik Selatan
Kemunculan gerakan masyarakat yang menginginkan
terciptanya suatu tatanan dunia yang damai, tenang serta terhindar dari
berbagai ancaman, baik ancaman terorisme, isu lingkungan seperti global warming, bencana alam, hingga
bahaya yang diakibatkan oleh sampah nuklir tidak hanya di negara-negara maju.
Gerakan masyarakat tersebut juga terjadi di negara-negara Dunia Ketiga,
termasuk di antaranya terjadi di negara-negara yang berada di kawasan Asia
Pasifik Selatan. Adapun yang termasuk dalam kawasan ini meliputi kepulauan
Micronesia (Mariana, Guam, Saipan, Tinian,
rota, Carolina, Yap, Babelthuap, Koror, Peleliu, Angaur, Truk, Ponape,
Kusae, Marshall, Kwajelein, Bikini, Majuro, Jalaut dan Enewetok). Sementara
yang termasuk kepulauan Melanesia (kepulauan Maluku, Nusa Tenggara Timur, Irian
Jaya, Salomon, Vanuatu, Kaledonia Baru dan Fiji). Polenesia (Tonga, Samoa
Barat, Samoa Amerika, Cook, Polenesia Prancis, Pitcairn, Norfolk, Nauru,
Kiribati, Tuvalu, Tokelau, Wallis, Futuna, Niue, Rapanui, Hawaii ditambah Papua
Nugini, Australia dan Selandia Baru).
Strategisitas Pasifik Selatan menjadi salah satu
fokus kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bahkan pada masa Perang Dunia II
Pasifik Selatan telah digunakan AS sebagai buffer
zone dalam menghadapi agresi yang dilancarkan Jepang. Dominasi Amerika
Serikat terus berlanjut meskipun Perang Dingin telah berakhir yang ditandai
dengan runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989 serta menyatunya Jerman
Barat dan Jerman Timur pada 3 Oktober 1990 (Vivanews.co.id, 2012). Dengan
berakhirnya Perang Dingin, tatanan dunia menjadi multipolar dengan kemunculan
negara-negara dengan kekuatan armada militer kuat yang dilengkapi dengan
tekhnologi paling mutakhir, terutama dengan kekuatan nuklir.
Kondisi yang seperti ini memacu Amerika
Serikat yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia untuk terus mengembangkan
kekuatan persenjataannya, terutama senjata berbasis kekuatan nuklir. Pada titik
inilah AS memiliki alasan yang kuat, mengapa Presiden Reagan pada tahun 1981
mengungkapkan bahwa abad ke-21 adalah
abad Pasifik (Hamid, 1992, p. 66). Untuk terus mengembangkan senjata nuklirnya,
AS membutuhkan arena yang dapat dijadikan tempat uji coba persenjataan pemusnah
massal tersebut yang tentunya harus jauh dari daratan AS sehingga mereka terhindar
dari bahaya radiasi nuklir yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit serius
seperti kanker.
Sayangnya,
Amerika Serikat dan beserta negara maju lainnya seperti Perancis dan Inggris
tidak memperhitungkan bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan oleh uji coba
nuklir yang mereka lakukan terhadap kesehatan masyarakat Pasifik Selatan pada
umumnya serta rusaknya lingkungan alam sekitar. Tercatat, Amerika Serikat
merupakan pelopor pertama kali yang melakukan uji coba nuklirnya di Pasifik
Selatan pada 1946, kemudian disusul Inggris pada 1957, bahkan Perancis dalam
kurun waktu 1966 sampai 1986 telah melakukan uji coba nuklirnya sebanyak 86
kali (Frey, 1983, p. 11). Hal yang demikian memunculkan keprihatinan dari
masyarakat sekitar untuk menyuarakan hak mereka kepada dunia, bahwa mereka
(masyarakat Pasifik Selatan) juga termasuk menjadi bagian dari masyarakat dunia
yang berhak untuk hidup sebagaimana mestinya.
Sementara
Australia dan Selandia Baru sebagai dua negara besar terdekat di kawasan
tersebut yang diandalkan sebagai opinion
leader ternyata juga tidak dapat diandalkan untuk meredam aksi
negara-negara besar dalam uji coba nuklirnya. Dalam kondisi yang seperti inilah
para aktivis anti nuklir dari berbagai negara seperti Thailand, Korea Selatan,
Filiphina ikut terlibat untuk membebaskan Pasifik Selatan dari nuklir. Para
pemimpin Pasifik Selatan pun akhirnya menyadari bahwa mereka harus melakukan
penyelamatan terhadap masyarakat sekitar
dari bahaya radiasi limbah nuklir yang mampu membinasakan manusia maupun alam
sekitar. Mereka sadar, hanya dengan melakukan aliansi-lah maka Pasifik Selatan
akan ‘sedikit’ diperhitungkan keberadaannya. Hal ini mendorong terbentuknya
sebuah perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Ratoronga pada 6 Agustus 1985
di kepulauan Cook.
Perjanjian
Ratoronga merupakan sebuah prestasi yang dicapai oleh negara-negara di kawasan
Pasifik Selatan untuk membebaskan kawasan mereka dari senjata nuklir yang
ditandatangani oleh Australia, Selandia Baru, Kepulauan Cook, Fiji, Niue, Samoa
Barat, Kiribati, Tavalu, Kepulauan Salomon, serta Papua Nugini (Abriyanto, p.
77). Isi dari perjanjian Ratoronga adalah
larangan pembuatan, percobaan dan penempatan senjata nuklir serta
pembuatan sampah nuklir. tercantum pula larangan untuk mengekspor bahan material nuklir (Uranium) yang bukan
untuk tujuan damai. Dilihat dari perspektif Realis, perjanjian tersebut
merupakan upaya untuk menghimpun kekuatan dari negara-negara sekawasan yang
merasa terancam akan adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh zat radioaktif
nuklir. Dimana pada
prinsipnya, terdapat tiga akibat radiasi yang dapat berpengaruh pada tubuh
manusia, yakni: 1. sel akan mati, 2. terjadinya penggandaan sel yang pada
akhirnya dapat memicu timbulnya sel kanker, dan 3. kerusakan dapat timbul pada
sel telur atau testis, yang akan memulai proses bayi-bayi cacat sejak dalam
kandungan.
Bahkan Prof. Dr. T. Jacob
(1988:46) pernah menyatakan bahwa akibat dari uji coba nuklir, kondisi
kepulauan Marshall dan Mikronesia sangat memprihatinkan, dimana debu radioaktifnya
menyebar hingga pulau Rongelap yang menyebabkan penduduk sekitar terkena
penyakit radiasi dan terpaksa diungsikan. Pada tahun 1968, pengujian
persenjataan di kawasan tersebut menyebabkan
tiga buah pulau tenggelam ke dasar laut dan beberapa pulau di sekitar
Makronesia tidak dapat dihuni selama 30 tahun (Grand Howard, 1981, p. 128-136).
Penduduk di kepulauan Rongelap juga banyak yang menderita tumor thyroid serta kanker yang diakibatkan
oleh radiasi nuklir tersebut.
Kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam perjanjian Ratoronga membuatnya tidak terlalu efektif untuk
menekan negara-negara seperti AS, Inggris dan Perancis agar tidak menjadikan Pasifik Selatan sebagai kawasan
uji coba nuklir. Meskipun dalam traktat pelarangan menyeluruh uji coba nuklir
pasal pertama tentang kewajiban dasar menyatakan bahwa “Setiap negara pihak
tidak melakukan segala uji coba ledakan senjata nuklir atau ledakan nuklir
lainnya, dan melarang serta mencegah semua ledakan nuklir semacamnya yang
berada di semua tempat di bawah yuridiksinya atau pengawasannya” (Kemenlu RI,
2012). Namun, efektifitas hukum internasional sangat bergantung pada kadar
ketaatan suatu negara terhadap kewajiban hukum yang timbul dari hukum
internasional tersebut. Hukum internasional pada intinya menekankan pada
pengendalian yang efektif terhadap negara. Keberadaannya tidak hanya
ditunjukkan oleh keberadaan prinsip hukum tersebut tetapi juga kesediaan negara
untuk menjalankannya. Oleh sebab itulah sistem hukum internasional dapat
dikatakan tidak tertata dengan baik karena setiap bangsa yang berdaulat tidak
dapat diatur oleh wewenang seperti warga negara diatur oleh lembaga-lembaga
kemasyarakatannya (Soegiyono, p. 1).
Kelemahan-kelemahan
tersebut diantaranya: pertama, dengan tidak dicantumkannya setiap Negara untuk
menolak hadirnya kapal asing yang membawa senjata nuklir (sehingga tergantung
setiap negara apakah mereka mau menolak atau menerimanya). Kedua, dalam
perjajnjian tersebut jenis senjata nuklir hanya
ditujukan untuk nuclear warheads
saja, sementara untuk rudal bertenaga nuklir tidak tercantum di dalamnya.
Ketiga, Guam sebagai basis kegiatan militer Amerika Serikat yang sebenarnya
masih dalam jangkauan Pasifik Selatan juga tidak dimasukkan dalam jangkauan
wilayah. Keempat, tidak adanya lembaga berwewenang yang mengawasi ekspor-impor
bahan dasar nuklir meskipun hal itu untuk tujuan perdamaian.
Penolakan masyarakat Pasifik Selatan terhadap
segala bentuk uji coba nuklir terutgama yang dilakukan oleh Amerika Serikat,
Inggris dan juga Perancis merupakan suatu upaya yang jauh daripada perimbangan
kekuatan. Namun lebih mendekati disebut
sebagai alat politis untuk menunjukkan eksistensi mereka kepada dunia luar
bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk dunia yang memiliki hak yang patut
untuk dihargai dan disejajarkan dengan penduduk dunia lainnya. Mereka juga
ingin menunjukkan bahwa meskipun sebagai kumpulan dari negara kecil, bukan
berarti negara-negara adikuasa seperti
Amerika Serikat, Inggris dan Perancis bisa seenaknya saja melakukan segala
tindakannya tanpa memperhatikan dampak
negatif yang ditimbulkannya tersebut.
Kesimpulan
Referensi
Abriyanto, M., 1990, Gerakan Perdamaian Zona Bebas Nuklir dan
Militerisasi di Pasifik Selatan: Pengalaman dan Porspek, Jurnal Politik
Internasional, VOl. II, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Bhakti, Ikrar N., 2002, Keamanan Kawasan Pasifik Selatan, makalah
disampaikan dalam seminar “Keamanan
Regiona Indonesia: Tantangan, Peluang dan Respon” yang diselenggarakan oleh
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan,Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia di Hotel Meiridien Jakarta pada 17 Desember 2002.
Frey, Greg, 1983, A Nuclear Free Zone for The Southwest
Pacific prospects and significance, Canberra:
Strategic and Defence Studies Centre, the Research School of Pacific Studies,
the National University
Hamid, Zulkifli, 1992, Perkembangan Politik di Negara-Negara
Pasifik Selatan, Jurnal Politik Internasional, Vol. III. FISIP-UI, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Soegiyono & Mardianis, Analisis Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
yang mungkin Diterapkan dalam Pengaturan Penggunaan Geostationary Orbit (GSO), Bidang
Pengkajian bahan teknis, Jurnal LAPAN diakses dari http://jurnal.lapan.go.id/index.php/warta_lapan/article/viewFile/1072/961 pada (008/05/2013, 04:14 WIB)
T. Jacob, 1988, Manusia Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta:
Tiara Wacana
Vivanesw.co.id edisi (Rabu, 3 Oktober 2012), 3-10-1990: Jerman Kembali Bersatu, Reunifikasi Jerman itu sekaligus simbol berakhirnya era Perang Dingin, diakses dari http://dunia.news.viva.co.id/news/read/356226-3-10-1990--jerman-kembali-bersatu pada (9/05/2013, 0:00 WIB)
Kemenlu.go.id. Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir, 2012, diakses dari http://pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/Lampiran%20II%20UU%201%20Tahun%202012.pdf pada (09/05/2013, 03:50)
Paul, T.V. n. d. “Introduction
: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary
Relevance”
Hoadley, Steve, 1992, The
South Pasific Foreign Affairs Handbook, Sidney: Allen and Unwin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar