Sabtu, 07 Mei 2016

Aceh, Medan, Jakarta, Jogja (Sebuah Catatan Perjalanan)

Terhitung untuk kali ini, di tanggal 11 April 2016 untuk kedua kalinya aku mengunjungi Banda Aceh. Tujuan utama saat itu adalah mengikuti seleksi PPAN tingkat provinsi, meski dalam hati sebenarnya sudah sadar diri bahwa selalu ada yang tidak wajar jika seleksi di tataran Aceh. Allah membenarkan itu semua, saat hari H, sebelum memasuki ruang kelas tempat tes berlangsung, kami diberi kode bahwa yang sudah pernah exchange bakal jadi pertimbangan internal panitia nantinya dalam memutuskan hasil akhir PPAN Aceh 2016. Dengan soal yang biasa, masih anak HI banget, pertanyaan seputar ASEAN, Aceh, dan pengetahuan umum lainnya, sepertinya meski tidak benar semua jawaban saat itu, tapi patut dipertimbangkan. Tapi, hasil ternyata berkata berbeda, namaku tidak ada dalam ChiYEP ketika pengumuman sudah keluar. Dengan hati yang berat meninggalkan Banda Aceh. Kecewa? Tidak. Karena meski belum lolos ke tahap selanjutnya, aku sudah mengunjungi beberapadestinasi wisata di Aceh, mesuem Tsunami, PLTD Apung, pantai dan masjid raya sembari menikmati pemandangan khas Serambi Mekkah. Menikmati makan nasi padang dengan rasa yang khas, mie Aceh, es, dan kuliner lain yang terdapat di seputaran Darussalam. Waktu berlalu, setelah beberapa hari meninggalkan Banda Aceh, aku kembali menjejakkan kaki ke Medan bergegas menuju Jakarta untuk memulai karir dan tinggal disana. Semua keperluan sudah aku persiapkan, surat pindah, dll. Kejadian aneh sempat menimpaku saat hendak bergegas mandi dan bersiap untuk meninggalkan loket bus HI. Entah salah dan dosa apa yang aku lakukan, tetiba ada dua sosok aneh yang mencoba menguji imanku saat itu. Dengan sisa nafas dan istigfar, aku meninggalkan loket dan mencari tempat yang lebih aman untuk melindungi sisa iman didalam dada ini. Take off dan landing hingga menikmati dua jam di atas taksi ibukota. Tapi ternyata nasb berkata lain, sesampainya di Jakarta, rumah yang begitu besar serasa penjara, aku tidak diperbolehkan keluar untuk menikmati Jakarta. Ada banyak hal rancu yang aku temukan disana, hal yang sudah tidak bisa lagi dinalar oleh logika. Dengan berat hati, aku pamit untuk mencari tempat terbaik dan saat itu aku memilih kembali ke Yogyakarta.  Dua jam di atas GOJEK bolak balik pasar minggu Depok, akhirnya sampai di loket bus dengan kondisi basah kuyup dan menikmati perjalanan dengan baju basah, sepatu basah, dan badan yang sudah minta disiram air. 10 jam perjalanan, mendaratlah di Jogja, ketemu lagi sama adik kos yang sudah seperti adik sendiri, masuk kamar, istirahat sebentar, langsung cabut ke Kaliurang untuk menghadiri pesta. Di saat itulah, untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian adat jawa, bak lagi mendalang bersama Mas Yogi anak Lampung dan Cah Bengkulu. Tidak tahu ada apa dengan Jogja, hati selalu nyaman untuk menikmati jalanan malam, meski macet, meski hujan, selalu ada cerita indah. Belum lagi kalau bertemu Bapak, Ibu mbak Mila, pecah suasana menceritakan sesuatu yang mengundang gelak tawa. Bapak selalu memberi kode untuk shalat berjama'ah, masya Allah. Meski har itu melelahkan, tapi seru bisa bertemu dengan anak-anak yang super pecah, baik, dan juga keluarga mbak Mila yang bikin perut selalu diputer-puter karena ketawa. Malam itu, makan di depan kamar, di atas teras, enak, nyaman, suasananya hangat, dan yang pastinya bahagia. Kalau kata orang Jogja selalu memanggil setiap pengunjungnya untuk kembali, itu benar adanya. Kegagalan di Aceh, keseraman cerita di loket bus HI Medan, susana mencekam di Jakarta, akhirnya hilang dan sirna setelah pancaran sinar mentari di Jogja. Bertemu geng lama, geng kos, geng MIHI, dan bercengkrama. Alhamdulilaah, terima kasih Tuhan. 

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Sebuah Kisah Kilas Balik

Ada seorang anak yang hidup di desa dan tinggal bersama keenam saudaranya. Anak laki-laki ini amat berbeda. Ia dibesarkan dengan lingkunga...